05 Maret 2010

opini musri nauli : Mario Teguh dan Wajah Kita


Beberapa waktu yang lalu, dunia internet dihebohkan pernyataan salah satu Motivator kondang Indonesia, Mario Teguh yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia yang suka merokok, dubbing, mabuk dan sering pulang malam tidak baik dan direncanakan menjadi istri. 

 Pernyataan itu spontan memantik reaksi yang beragam di tengah masyarakat. Kelompok yang mendukung pernyataan Mario Teguh dengan tegas menyatakan bahwa pernyataan itu tepat dan sudah seharusnya perempuan yang disebutkan Mario Teguh itu tidak pantas dijadikan istri. 

Sementara kelompok yang menentang menyatakan bahwa pernyataan Mario Teguh sama sekali tidak tepat, diskriminasi, rasial dan yang penting merendahkan harkat dan martabat perempuan. 

Berangkat dari perdebatan itu, maka ada beberapa argumentasi yang hendak penulis sampaikan untuk melihat persoalan ini secara obyektif, jernih dan tidak bias. 

Argumentasi yang menyatakan bahwa perempuan yang suka merokok sama sekali tidak tepat disandingkan apakah perempuan itu pantas atau tidak dijadikan istri. 

Dalam pergaulan sehari-hari, alasan perempuan merokok adalah alasan semata-mata didasarkan berbagai faktor. 

Faktor yang paling dominan tentu saja pergaulan, gaya hidup, suasana, iklim dan sebagainya. Dalam pengamatan Mario Teguh, tentu saja pengamatan yang dilakukan oleh Mario Teguh didasarkan kepada perempuan yang ditemui yang tentu saja sebagian besar hidup di kota yang merokok dianggap sebagai gaya hidup. Dari titik inilah sebenarnya, Mario Teguh memaparkan pendapatnya. 

Padahal di sebagian besasr daerah lain, karena cuaca yang sangat dingin, perempuan merokok semata-hata hanya untuk mengusir hawa dingin. Perempuan yang merokok karena cuaca inilah yang hidup di desa-desa yang tidak menjadi pengamatan dari Mario Teguh. 

Padahal perempuan ini sama sekali tidak menganggap bahwa merokok adalah gaya hidup. 

Namun, yang pasti, peremupuan yang suka merokok karena cuaca sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai perempuan apakah baik atau tidak dijadikan istri. Norma adat sama sekali tidak melarang ataupun merendahkan perempuan yang suka merokok itu. Namun yang pasti perempuan yang suka merokok tidak sebanding dengan jumlah perempuan yang tidak merokok. Dari data manapun, yang pasti jumlah perempuan yang merokok tidak sebesar jumlah laki-laki yang merokok. 

Dari data-data yang ditemui, sangat sulit menyatakan apakah perempuan yang lebih sedikit merokok dari jumlah laki-laki yang merokok. Data-data ini sekedar menggambarkan bahwa persoalan perempuan yang merokok tidak dapat dijadikan kualifikasi untuk menentukan sikap apakah kita menjadi suka atau tidak akan dijadikan istri. 

 Mengapa kita memberikan porsi yang cukup untuk membahas pernyataan Mario Teguh. 

Ada beberapa alasan mengapa penulis memberikan porsi tersebut. Pertama. Bahwa tidak relevan membandingkan apakah perempuan yang merokok tidak bisa dijadikan istri. 

Tidak ada alasan norma, etika, pantas atau tidak bahwa perempuan yang suka merokok tidak bisa dijadikan istri. Didalam norma agama yang dilarang adalah tidak boleh merokok. 

Dalam ajaran islam konvensional, merokok merupakan perbuatan yang makruh. Tidak ditemukan didalam ajaran islam, apakah perempuan yang suka merokok tidak bisa dijadikan syarat untuk menjadikan istri. Islam hanya mengatur tentang “seiman” untuk mencari istri dan suami. 

Di lapangan budaya masyarakat, perempuan yang akan dijadikan istri juga tidak menjadikan persoalan etika adat dan budaya yang dianggap tidak pantas. Dengan demikian maka dari ranah norma agama dan budaya, sama sekali tidak ditemukan hal-hal yang prinsip yang menganggap bahwa perempuan yang suka merokok tidak baik dijadikan istri. 

 Namun dari pernyataan yang disampaikan oleh Mario Teguh menggambarkan sesat pikir dari masyarakt awam yang merendahkan perempuan. 

Kita masih ingat dengna peristiwa dalam “perkawinan sehari” dari Farid Harja, seorang penyanyi tenar. Farid Harja yang menikahi seorang perempuan kemudian keesokan harinya menceraikan dengan alasan bahwa istrinya terbukti tidak perawan. 

Alasan “terbukti tidak perawan” sebenarnya melambangkan pola pikir sesat terhadap ‘selaput dara” perempuan yang dimiliki seorang perempuan sebelum menikah. 

Sesat pikir ini kemudian melambangkan pola pikir masyarakat ‘patriakis. Secara umum terjemahan sederhana masyarakat patriakis sebenarnya menganggap bahwa laki-laki merupakan seorang pemimpin yang berhak mengatur segala-galanya termasuk menentukan perempuan yang akan dijadikan istri. Dalam terjemahan lain sebenarnya pola pikir ini menempatkan laki-laki yang berhak menguasai. 

 Dalam kultur budaya timur, status yang menempatkan laki-laki sebagai orang yang menguasai, mengatur segala-galanya termasuk menentukan perempuan disimbolkan seperti ungkapan “perempuan bagian dari tulang rusuk laki-laki”. 

Perumpamaan ini kemudian berkembang yang kemudian menganggap bahwa perempuan merupakan subkordinat dari laki-laki. Paragdima ini kemudian terwujud dalam lapangan hukum. 

Hubungan perdata tidak bisa dilakukan seorang istri tanpa persetujuan dari suaminya. (lihat Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW). Walaupun ketentuan ini kemudian dicabut, tapi setidak-tidaknya menggambarkan posisi perempuan yang tidak bisa bertindak dimuka hukum dalam kapasitas individual (naturalijk person). 

BW yang merupakan peninggalan kolonial Belanda (1884) kemudian diteruskan didalam Hukum Modern (lihat UU Perkawinan). 

UU Perkawinan kemudian menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Paradigma yang salah kemudian masih menghinggapi otak orang Indonesia. Kekerasan Rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi.

Lahirnya UU KDRT sama sekali tidak mampu menyelesaikan persoalan KDRT. 

Masih sering terjadinya KDRT bukan berarti UU tersebut tidak memberikan sanksi yang berat, namun didasarkan kepada budaya yang masih menganggap perempuan sebagai subkoordinat dari laki-laki. 

UU KDRT ternyata tidak effektif bukan karena disebabkan tidak memberikan sanksi yang tegas namun didasarkan kepada budaya yang masih subkoordinat tersebut. 

Berangkat dari pemikiran itulah, maka pernyataan Mario Teguh menggambarkan gunung es dari paradigma masyarkat Indonesia. 

Pernyataan ini sekali lagi membuktikan bahwa masih banyak pekerjaan kita didalam membenahi pemikiran kultur budaya yang masih menganggap perempuan sebagai subkoordinat dari laki-laki. 

Pernyataan ini menggambarkan wajah kita didalam melihat persoalan perempuan. Dan catatan ini disampaikan sebagai wujud dari kontra pernyataan yang disampaikan oleh Mario Teguh.