06 Maret 2010

opini musri nauli : Penyertaan dalam Kasus Pidana (Studi Kasus Antasar Azhar)


Beberapa waktu yang lalu, konsentrasi nasional ditujukan persidangan AA (mantan Ketua KPK) yang didakwa melakukan perbuatan pidana pembunuhan berencana terhadap Nas (Direktur PT. Rajawali Banjaran Negara). 


Konsentrasi nasional ini ditujukan untuk melihat keterkaitan antara AA dengan terbunuhnya Nas. Pandangan publik terbelah. Sebagian kalangan menduga bahwa adanya upaya rekayasa terhadap AA yang berhasil mengggegerkan belantara nasional dengan sepak terjangnya di KPK. Sebagian meyakini bahwa AA terlibat dalam rangkaian pembunuhan tersebut bersama dengan WW dan Sgt. 


Hingga putusan dibacakan, reaksipun masih beragam. Kalangan yang meyakini ada upaya rekayasa tetap berpatokan kepada fakta-fakta persidangan yang menganggap bahwa AA tidak terlibat.


Selain tuduhan jaksa penuntut umum terhadap AA tidak didukung fakta-fakta yang mempunyai hubungan langsung dengan peran AA dalam kasus itu, juga didukung adanya upaya sistematis terhadap kriminalisasi Bibit dan Chandra (Wakil Ketua KPK). 


Bibit dan Chandra kemudian digiring menjadi pelaku kriminalisasi dan ditahan di Rutan Mako Brimob. 


Berbeda dengan AA, reaksi publik terhadap Bibit dan Chandra mendapat dukungan luas. Hampir praktis gemuruh politik terhadap kasus ini menjadi wacana nasional. Pers, LSM, kalangan kelas menengah, intelektual seakan-akan berseru lantang menolak upaya sistematis kriminalasi terhadap bibit dan chandra. Dukungna yang luas ini kemudian tidak diperhitungkan wacana politik konvensional.


Di dunia maya, dukungan mendapat sambutan yang luar biasa. Facebookers (penggemar Facebook) berhimpun dan berhasil mengumpulkan dukunmgan sebanyak 1 juta members. Dukungan yang begitu luas berhasil mengantarkan teori politik konvensional, bahwa kelas menengah Indonesia mulai berperan secara politik dan melawan konsepsi politik konvensional. 


Dukungan 1 juta members berhasil “memaksa”, Presiden turun tangan dengan membentuk Tim 8, menghentikan kasus ini dan mengeluarkan bibit dan chandra dari tahanan. 


Prestasi ini memberikan catatan sendiri di tengah masyarakat melawan kesewenang-wenangan rezim dalam membungkam KPK.


Namun yang terjadi dengna kasus AA kurang mendapat dukungan dari members facebookers. Hasil penghitungan sementara, facebookers yang mendukung kasus AA masih berkisar puluhan ribu. 


Sama sekali jauh dari dukungan terhadap bibit dan Chandra. Gemuruh AA sudah usai. Proses hukum terhadap AA telah dijatuhkan dengna pidana penjara 18 tahun. AA masih mempunyai hak banding dan kasasi. 


Proses hukum tidaklah segemuruh pada awal-awal kasus ini mencuat. Banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam kasus AA memberikan catatan penting bagi kita. 


Namun hanya segelintir yang melihat kasus AA dalam lapangan hukum pidana. Pandangan pakar hanya sekilas menyoroti tentang perbuatan penyertaan (deelneming) dalam kasus AA. Berangkat dari pemikiran itulah, penulis ingin memberikan catatan kasus ini agar kita dapat melihat dari berbagai sudut dan memperkaya gagasan kita. 


Didalam lapangan hukum pidana, pada prinsipnya yang bisa diminta pertanggungjawaban pidana adalah orang (naturalij recht). Walaupun banyak sekali peraturan diluar KUHP yang telah mengakui pertanggungjawaban badan hukum (recht person), namun hanya orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Didalam rumusan KUHP, secara tegas adanya kata-kata “barangsiapa” (Hij die). Jelaslah, hanya manusia yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketentuan normatif ini berlaku secara universal. 


Sekarang bagaimana untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan yang dilakukan bersama-sama (penyertaan/deelneming). Utrecht mengatakan bahwa “pelajaran umum turut serta ini justru dibuat untuk menuntut pertanggunjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan perbuatan pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut”. dengan demikian, prinsip pertanggungjawaban pelaku tindak pidana juga dapat diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatan penyertaan (deelneming). 


Berangkat dari konsepsi itu, maka orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari merek berbeda satu dengan yang lain, demikian juga tidak bisa sama apa yang ada dalam sikap bathin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang lain. 


Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana. Karena berbeda perbuatan antara masing-masing peserta yang terlibat, sudah tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap perbuatan masing-masing menjadi berbeda (Adam Chazawi, Penyertaan, 2008). 


Begitu banyak teori-teori yang melihat pertanggungjawaban pelaku penyertaan dalam tindak pidana. Namun secara prinsip penyertaan dapat dilihat dalam ajaran subyektif dan ajaran obyektif. Ajaran subyektif memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat berkehendak mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar, dialah yang dibebankan tanggung jawab pidan. Sedangkan ajaran obyektif, yang menitikberatkan pada wujud perbuatan apa serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh positif dari wujud perbuatan itu. 


Dihubungkan dengna pertanggungjawaban pidana, maka sistem yang berasal dari hukum romawi menyatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama dipertanggungjawabkan sebagaimana melakukan pebuatan itu sendiri (dader). Sedangkan didalam sistem yang berasal dari Italia, berat atau ringannya dilihat dari wujud hasil tindak pidana. 


Setelah sekilas kita memperhatikan teori penyertaan, siapakah yang dimaksud dengan mereka yang melakukan (zij die het feit plegen), maka bentuk penyertaan dapat dilihat didalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. 


Didalam rumusan pasal 55 dibedakan antara mededader (para peserta, para pembuat). Kelompok ini terdiri dari orang yang melakukan (plegen), yang menyuruh melakukan (doen plegen), turut serta melakukan (mede plegen), sengaja menganjurkan (uitlokken). 


Sedangkan didalam rumusan pasal 56 dikenal istilah Pembuat pembantu (medeplichtige). Untuk membedakan para pembuat (mededader) dengan medeplichtige), mededader secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit. (MvT WvS Belanda). 


Uraian ini sedikit membantu kita untuk melihat bagaimana perbuatan pidana itu terjadi dan bagaimana diminta pertanggungjawaban pidana kepada para pelaku. 


Dalam eksepsinya, Wiliardi dan Sigid sama-sama mempersoalkan bentuk penyertaan dalam dakwaan mereka, yakni Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo Pasal 340 KUHP. 


Menurut mereka, bentuk penyertaan yang diformulasikan penuntut umum aneh. Pasalnya, ada penyertaan dalam penyertaan. Kedua terdakwa dianggap bersama-sama membujuk orang lain untuk melakukan pembunuhan berencana. (Penyertaan dalam Penyertaan Tidak Bertentangan dengan KUHAP, hukumonline, 23/10/09) Atas eksepsi Wiliardi dan Sigid ini, masing-masing penuntut umum memberikan tanggapan. 


Dari beberapa Arrest Hoge Raad dan pendapat ahli hukum pidana, penyertaan dalam penyertaan dibenarkan dalam praktek peradilan. Konstruksi hukum suatu dakwaan yang menggabungkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dengan Pasal 55 ayat (1) ke-2 dan Pasal 340 KUHP tidaklah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasalnya, KUHP memang tidak mengatur secara jelas berapa jumlah susunan penyertaan yang diperbolehkan. 


Lebih lanjut, bentuk penyertaan dalam penyertaan yang dihubungkan dengan tindak pidana, haruslah dipandang secara luas atau ekstensif. Artinya, penganjuran atas Pasal 340 KUHP adalah satu tindak pidana yang berdiri sendiri, sehingga bisa dihubungkan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penggabungan tersebut, menurut Artha, dapat dilakukan dengan ketentuan bahwa perbuatan pidana yang didakwakan kepada terdakwa masih jelas, dan secara ratio masih bisa diterima (Arrest Hoge Raad, 24 Januari 1950 atau lebih dikenal dengan nama Examen Arrest). 


Putusan Sela inilah yang kemudian melihat kesalahan dan pertanggungjawaban masing-masing pelaku dalam pembunuhan Nas tersebut. Dari paparan ini, kemudian Majelis hakim melihat peran dan tanggung jawab masing-masing pelaku. 


Dalam kasus AA, maka dapat dikelompokkan. 1. mereka yang melakukan. 2. mereka yang menyuruh melakukan. 3 turut serta melakukan perbuatan. (1) mereka yang melakukan dapat dilihat siapa saja yang telah melakukan pembunuhan tersebut (eksekusi). Ini tidak perlu kita perdebatkan lagi. Karena membuktikan kelompok ini adalah mereka mempersiapkan dan menggunakan sepeda motor dan menembak. 


Sedangkan kelompok kedua inilah yang menjadi perdebatan dalam teori yang penulis paparkan. 


Siapakah yang berkepentingan terhadap matinya Nas ? siapa yang menyiapkan dana ? siapa yang mencari pembunuh ? dan bagaimana menghubungkan antara yang berkepntingan matinya nas dengan yang menyiapkan dana dan mencari pembunuh ?.


Pertanyaan itu sengaja penulis sampaikan untuk melihat teori penyertaan dan bagaiman para pelaku dapat dipertanggungjawabkan. 


Tentu saja pertanyaan itu dapat kita temukan jawaban waktu kita melihat langsung persidangan tersebut. 


Dan tentu saja kita menghormati proses hukum terhadap AA sehingga fakta-fakta yang kita lihat haruslah disesuaikan dengan teori penyertaan yang telah penulis sampaikan. 


Dimuat di Jambi Ekspres dan Posmetro, 6 Maret 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/10575-penyertaan-dalam-kasus-pidana.html