28 Maret 2010

opini musri nauli : SUSNO DUAJI DAN WAJAH HUKUM KITA




Entah apa yang sesungguhnya terjadi di negeri ini. “Pertarungan Jenderal” di Tubuh Kepolisian membuat kita bingung walaupun kita juga ingin mengetahui bagaimana akhir “pertarungan jenderal”. 
 “Pertarungan jenderal” di tubuh kepolisian mulai memperlihatkan pertarungan sengit jenderal di Kepolisian. 

Pertarungan di mulai saat Komisaris Jenderal Susno Duaji “bernyanyi” dan memberikan keterangan di berbagai media massa yang mensinyalir adanya “markus pajak” di kepolisian. “Nanyian” Susno Duaji kemudian memantik reaksi yang luar biasa. 

Nama-nama yang disebutkan kemudian membantah dan “berbalik” melaporkan Susno dengan tuduhan pasal 310 KUHP (pencemaran nama baik). Proses pemeriksaan kemudian menetapkan Susno sebagai tersangka dan mengalami proses hukum. 

Cara-cara yang digunakan oleh “penguasa” untuk membungkam sikap Susno mengingatkan kita tentang cara-cara negara “membungkam” kelompok yang dianggap berseberangan. 

 Didalam literatur Filsafat, Socrates diadili karena memberikan ajaran yang dianggap “bertentangan” dengan para pemimpin di Athena (Yunani). Socrates memang diadili dan dihukum oleh 501 oarang anggota Dewan Kota dianggap menyebarkan ajaran yang dianggap “membahayakan” pemikiran anak muda. 

 Atau kita masih ingat tentang pelajaran ilmu bumi di zaman millenium abad 20. 

Seorang intelektual Copernicus menyatakan bahwa Bumi yang mengelilingi Matahari, sebuah konsepsi berfikir yang bertentangan dengan konsepsi ajaran gereja yang menyatakan bahwa Matahari yang mengelilingi Bumi. Copernicus kemudian dihukum mati, namun ternyata teorinya terbukti benar dan sampai sekarang, kita menerima teori yang disampaikan Copernicus. 

 Di zaman kolonial sendiri, Presiden Soekarno paling sering dikenakan pasal KUHP. Penerapan pasal 160 KUHP yang dikenakan pada Soekarno Muda tahun 1927 di landraad Bandung membuat Soekarno Muda didalam pleidooinya (pembelaan) yang terkenal dan diberi judul “INDONESIA MENGGUGAT”. 

Soekarno memang diadili dan dihukum, namun sejarahpun mencatat bahwa keyakinan Soekarno ternyata benar, Indonesia Merdeka dan Soekarno terbukti menjadi Presiden Pertama. 

 Atau masih ingat pidato Tjipto Mangunkusumo didalam persidangan terhadap dirinya. “APABILA TUAN-TUAN MENGADILI SAYA PADA HARI INI DAN TUAN-TUAN YAKIN SAYA AKAN TAKLUK, MAKA TUAN-TUAN SALAH, KARENA YANG TUAN-TUAN ADILI ADALAH BADAN SAYA, RAGA SAYA, NAMUN TUAN-TUAN TIDAK DAPAT MENGADILI KEYAKINAN SAYA. INDONESIA AKAN MERDEKA”. 

 Di zaman Soeharto, hukum ternyata juga digunakan untuk para pengkritik kebijakan negara. Sri Bintang Pamungkas, Muctar Pakpahan, Budiman Soejatmiko, Yenny Rosa Damayanti, A. M. Fatwa, tokoh-tokoh mahasiswa dalam kerusuhan 15 Januari 1974, aksi di ITB 1978, pemrotes kedung ombo, adalah sebagian kecil nama-nama yang pernah berurusan dengan negara karena perbedaan pandangan dengan Soeharto. 

Sejarahpun kemudian mencatat, bahwa “kelakuan” Soeharto terbukti berdampak langsung kepada kita. Beras mahal, minyak mahal, dan hampir seluruh sektor seperti kesehatan, pendidikan tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Reformasipun ternyata memberikan catatan seperti kebebasan berserika, berkumpul, Polri keluar dari ABRI, anggaran transparan, Presiden dipilih secara langsung, parlemen semakin kuat, kampus otonom, dan berbagai prestasi reformasi yang dirasakan oleh rakyat. 

Mahkamah Konstitusipun mencabut pasal 154, 155 KUHP yang ternyata terbukti lebih banyak digunakan terhadap kepentingan negara terhadap para pengkritiknya. Hampir praktis pemimpin-pemimpin pergerakan di awal kemerdekaan diproses secara hukum dan masuk keluar penjara.

 Dan pemimpin pergerakan mengalami akibat langsung dari pasal-pasal KUHP. 

 Catatan panjang ini juga tidak mungkin kita uraikan satu persatu, karena sesungguhnya negeri ini tidak pernah lepas dari berbagai penggunaan hukum terhadap pihak yang “dianggap” berseberangan dengan penguasa. Maka pasal seperti 160 KUHP, pasal 154 dan pasal 155, pasal 310 dan pasal 170 KUHP paling sering dipergunakan kepada para pemrotes negara. 

 Dalam catatan penulis, pasal 170 KUHP sering diperlakukan kepada para aktivitis mahasiswa dan petani yang memperjuangkan tanahnya selain pasal 212 KUHP dan Pasal 218 KUHP. Dalam kerusuhan di Mapolda Jambi dan aksi mahasiswa demo di DPRD menolak program water boom menyeret mahasiswa dengna menerapkan pasal 170 KUHP. 

Sedangkan didalam kerusuhan di PT. DAS, Tungkal Ulu 1998, Pembakaran PT. Tebora, Muara Bungo 1999, pembakaran PT. KDA, Bangko, 1999, pembakaran PT. Jamikra Raya, Muara Bungo 2000 dan pembakaran PT. DIPP, sarolangun 2006, selain menerapkan pasal 170 juga diterapkan pasal 212 KUHP dan pasal 218 KUHP. 

Walaupun sampai sekarang persoalan itu belum selesai, namun negara menerapkan pasal-pasal KUHP untuk membungkam para petani memperjuangkan tanahnya. 

Belum lagi penerapan pasal-pasal KUHP seperti tuduhan pencurian (Rantau Gedang, Muara Bulian, 2009), penggelapan (Sarolangun, 2009) dan masih banyak perkara-perkara lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. 

Penerapan pasal-pasal KUHP ini kemudian terbukti effektif karena Pasal-pasal KUHP yang diciptakan oleh kolonial Belanda berangkat dari dasar “untuk menghukum” para pemberontak. Pasal-pasal KUHP memberikan privilege yangsangat berlebihan untuk melindungi kepentingan kekuasaan pemerintah di era kolonial. 

Konsepsi ini tidak tepat lagi diterapkan di negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Di sinilah pentingnya memahami kandungan norma dari suatu Undang-Undang untuk diselaraskan dengan cita hukum Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. 

 Dalam catatan penulis, penerapan Pasal 160 kemudian digugat (judicial review) di Mahkamah Konstitusi oleh Eggi Sujana. MK kemudian mengabulkan permohonan dan pasal 160 kemudian dicabut. 

MK juga mencabut pasal 154 KUHP dan pasal 155 KUHP. Namun terhadap pasal 310 pernah digugat di MK namun ditolak. 

 Kembali kepada pembahasan tentang “pertarungan jenderal”, apabila dilihat dari ketentuan hukum yang masih berlaku di Indonesia, maka penerapan pasal 310 KUHP kepada Komisaris Jenderal Susno Duaji masih akan digunakan oleh Kepolisian. Sikap yang diambil Kepolisian tentu saja dilakukan untuk memperkuat argumentasi yang telah penulis lakukan. 

Bahwa “negara” akan terus membungkam terhadap kelompok-kelompok kritis yang tentu saja dilakukan agar dapat memberikan “effek jera”. 

Sikap ini juga dilakukan sebagai bentuk “reaktif” Kepolisian terhadap sikap kritis yang dilakukan oleh Susno Duaji. Namun cara-cara yang digunakan ini tentu saja akan menimbulkan dukungan besar kepada Susno Duaji agar Kepolisian segera berbenah untuk mereformasi. 

Dukungan dari publik tentu saja terbukti effekti. Kelas menengah di Indonesia melakukan perlawanan di dunia maya. 

Politik indonesia kemudian mencatat, bagaimana dukungan terhadap kasus Cicak Buaya antara KPK vs Kepolisian berhasil menghentikan kasus terhadap Cicak Buaya, atau kasus Prita yang berhasil mendulang dukungan dan berhasil menarik dana hampir 1 milyar melalui kampanye “koin seribu”. 

 Atau kita ingin kembali ke zaman kolonial dan orde baru yang gampang menerapkan “pasal-pasal KUHP” untuk membungkam kaum kritis. 

Kita akan menunggu dan Sejarah akan mencatat. Kita tunggu saja. 

 Dimuat di Jambi Ekspress, 30 Maret 2010