15 Juli 2010

opini musri nauli : MENANTI AKHIR LAKON KIPRAH NATSIR MUDA




Perseteruan antara Yusril Ihza Mahendra dengan Jaksa Agung dimulai dalam kasus korupsi Sisminbakum. 

Kasus Sisminbakum telah menetapkan tersangka terhadap Prof. Romli Atmasasmita dan pejabat penting lainnya di Depkumham. 
Prof. Romi Atmasasmita kemudian telah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. 

 Saat pemeriksaan proses hukum terhadap para tersangka, sebagian kalangan menyesalkan terhadap proses hukum tersebut. Adanya kecurigaan “rekayasa” kasus ini tidak terlepas dari “seringnya” Prof. Romli mengkritisi kebijakan negara dalam persoalan hukum pidana. 

Pernyataan ini yang kemudian dianggap sebagai salah satu alasan kemudian kasus ini mengemuka di permukaan. Terlepas dari pernyataan bahwa kasus ini tidak berdimensi politik, namun bacaan publik tidak serta merta dapat dimentahkan dengan pernyataan tersebut. 

 Persidangan terhadap Prof. Romli kemudian menyeret Yusril Ihza Mahendra. Perseteruan antara Prof. Romli dengan kejaksaan Agung kemudian melebar antara Yusril dengan Kejaksaan Agung. 

Apabila sebelumnya Prof. Romli “mempersoalkan” tentang rekayasa kasus, bukti-bukti yang tidak kuat, namun disaat ketika perseteruan dengan Yusril, Yusril kemudian mempersoalkan keabsahan Jaksa Agung. 

 KEKOSONGAN KEKUASAAN (Rechtvacuum) 

 Sebelum diperiksa sebagai tersangka, Yusril mengeluarkan “jurus ampuh” dengan menyatakan Jaksa Agung illegal. 

Jurus ampuh ini ternyata effektif. 

Dunia Politik geger. 

Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak. 

Wacana tentang tidak diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan. 

Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum). Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup de etaat). 

 Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009, Presiden SBY ke luar negeri dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla yang menggantikan Presiden ad interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta Kosong selama 48 jam. Kalangan akademisipun teriak. 

Dan kemudian akibat dari “kelalaian” sehingga Jusuf Kalla kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak dapat digunakan kaum pemberontak menguasai negara (coup de etaat). 

 Peristiwa lain tentang Kekosongan kekuasaan (rechtvacuum) tidak terjadi dalam peristiwa dicopotnya Komandan Kopassus menjelang kejatuhan orde baru. Sebelum ditetapkan Komandan Kopassus tetap, pengganti sementara Komandan Kopassus menjabat selama 16 jam. 

Dan setelah 16 jam, barulah ditetapkan Komandan Kopassus tetap. Begitu juga saat Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pasca agresi II. Sebelum ditangkap, Soekarno dan Hatta kemudian memberikan kewenangan Presiden kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukitttinggi. 

Surat resmi melalui kawat diterima oleh Syafruddin Prawiranegara dan kemudian Syafruddin Prawiranegara menyatakan memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Bukittinggi. 

Hubungan diplomatikpun berjalan. Mesir dan berbagai negara-negara lain tetap membangun komunikasi ketatanegaraan dengan Pemerintahan Syafruddin Prawiranegara walaupun Soekarno dan Hatta ditawan oleh Belanda. Sehingga kampanya Belanda yang menyatakan bahwa kekusaaan Indonesia telah jatuh dengan ditangkapnya Presiden dan wakil Presiden, terbantahkan dengan mandat yang diterima Syafruddin Prawiranegara. 

Sehingga dalam diplomasi internasional, kampanya Belanda kemudian ditertawakan oleh dunia internasional. 

Dan salah satu peristiwa penting yang membuat Indonesia tetap diakui sebagai negara yang berdaulat dan membuat Belanda kemudian hengkang dari Indonesia 30 Desember 1949. Beberapa peristiwa penting disampaikan penulis, sekedar gambaran, bagaimana pentingnya tidak dibenarkan adanya kekosongan kekuasaan (rechvacuum). 

Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, tidak dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun. 

 YUSRIL IHZA MAHENDRA – Si Natsir Muda 

Nama Yusril Ihza Mahendra tidak dapat dilepaskan sebagai ahli Hukum Tata Negara. Sebagai Doktor dalam ilmu Hukum Tata Negara, “kepakaran-nya” diakui berbagai kalangan. 

Analisisnya tajam dan sangat menguasai masalah. Berbagai issu perdebatan yang dalam konteks ketatanegaraan dikuasai. Lawan debat Yusril sering dibuat “keok” terhadap pernyataan dan analisisnya. 

 Yusril berniat menguji konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945 

 Sehingga tidak salah, “kepiawaian” dan analisisnya sering disamakan dengan M. Natsir. 

Dan sering juga dijuluki sebagai Natsir Muda. Namun terlepas dari perdebatan antara Jaksa Agung dengan Natsir Muda, Perdebatan soal keabsahan jabatan Jaksa Agung bakal mampir diperiksa di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Selasa kemarin, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra resmi mendaftarkan permohonan uji materi UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan terkait masa tugas Jaksa Agung. 

 Yusril berniat menguji konstitusionalitas penafsiran Pasal 19 dan Pasal 22 UU Kejaksaan dihubungkan dengan prinsip negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 dan 28 D ayat (1) UUD 1945. (www.mahkamah konstitusi.org) 

Alasannya, Yusril hendak menggunakan uji tafsir Pasal 19 dan Pasal 22 UU No 16 Tahun 2004, konstitusionalitas penafsiran Keppres 187/M Tahun 2004, Keppres 31/P Tahun 2007, Keppres 83/P Tahun 2009 tentang pembubaran kabinet dengan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden. 

Sementara Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan dijelaskan bahwa Jaksa Agung dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atas permintaan sendiri, sakit jasmani dan rohani, serta berakhir masa jabatannya. Ketentuan itu tak membatasi masa jabatan Jaksa Agung. 

 Terlepas dari apapun putusan Mahkamah Konstitusi, “jurus ampuh”, si Natsir Muda telah membuat perdebatan ilmu hukum di Indonesia. 

 KEWENANGAN DAN LEGALITAS 

 Banyak sebagian kalangan menyesalkan pernyataan Yusril menjelang pemeriksaan sebagai tersangka. 

Pernyataan itu didasarkan, Yusril hendak mengalihkan persoalan penetapan tersangka dalam kasus Sisminbakum. Walaupun pernyataan ini benar namun tidak tepat. Mempersoalkan “keabsahan” merupakan pondasi penting dari hukum pidana. 

Sebelum memeriksa terjadinya tindak pidana (pemeriksaan materiil), “keabsahan” merupakan pemeriksaan yang diutamakan. 

Maka terhadap upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan ataupun upaya paksa lainnya didasarkan kepada kewenangan yang diberikan oleh UU. 

Perlindungan terhadap hak asasi manusia diutamakan dalam rumusan KUHAP. Begitu pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam upaya paksa secara limitatif dicantumkan didalam rumusan pasal 21, 23, 77 dan 82 KUHAP. 

Maka, upaya paksa yang sah tentu saja dilakukan oleh pejabar yang sah. Pejabat yang sah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa tersebut. pemeriksaan terhadap sah/tidaknya pejabat melakukan upaya paksa dapat diperiksa melalui mekanisme praperadilan. 

Dari pemeriksaan praperadilan inilah, pengadilan menentukan apakah pejabat dapat/tidak melakukan upaya paksa. 

 Kriteria ini dirumuskan sebagai pemeriksaan formil. Pemeriksaan terhadap tersangka juga juga didasarkan kepada Perlindungan hak asasi manusia. 

Pasal 56 KUHAP telah tegas mendefenisikan pemeriksaan terhadap tersangka. Didalam rumusan pasal 56 ayat (1) secara tegas dinyatakan “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka” 

Begitu pentingnya pasal 56 KUHAP, Mahkamah Agung melalui berbagai putusan (Yurisprudensi) secara tegas menyatakan, terhadap tersangka sebagaimaana rumusan pasal 56 KUHAP dapat membebaskan tersangka apabila tidak didampingi Penasehat Hukum. 

 Didalam lapangan tindak pidana korupsi, mengenai definisi “kewenangan” mendapatkan porsi yang cukup besar. H. D. Stout yang dapat dikatakan sebagai wewenang adalah “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen” yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. 

Kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu tersebut baik karena kemampuan untuk melaksanakan wewenang maupun kemampun bertindak melakukan tindakan hukum karena wewenang diberikan oleh Hukum. Maka terhadap orang yang tidak mendapatkan wewenang tidak dapat melakukan tindakan hukum dan upaya paksa. 

 Sebagian sarjana memakai istilah “onrechtmatige daad” dan sebagian lagi memakai kata “wederrechtelijk”. 

Unlawfullness dalam bahasa Inggeris dapat disinonimkan dengan “illegal’ yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan dengan “tidak sah” oleh Drs. P.A.F Lamintang SH, dipakai istilah “secara sah” yang menurut Hoge Raad “zonder eigenrecht” (tanpa hak yang ada pada diri seseorang) atau menurut Hazewinckel-Suringa “Zonder bevoegdheid” (tanpa kewenangan). 

Dengan demikian, maka pernyataan Yusril mempersoalkan kewenangan Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung mempunyai implikasi yang serius. 

Namun selain itu juga, mengenai siapa yang berwenang untuk menghitung kerugian negara. Bahwa didalam pasal 10 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang BPK dinyatakan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. 

Sedangkan dipasal 11 huruf c “BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara. Argumentasi inilah yang disampaikan oleh Prof. Romli Atmasasmita dan Yusril untuk menangkis terhadap kasus korupsi sisminbakum. 

 Dengan menguraikan berbagai kewenangan yang melingkupi pembuktian hukum pidana, maka kewenangan merupakan pondasi penting dan menjadi pelaksanaan Hak asasi manusia didalam KUHAP. 

Dari titik inilah, Natsir Muda “cerdas” memanfaatkan menjadi jurus “ampuh” yang terbukti effektif. 

 MENUNGGU AKHIR LAKON 

 Sama seperti Natsir, Natsir Muda yang mendukung SBY menjadi Presiden kemudian tersingkir dari pusat kekuasaan. 

Disebut-sebutnya nama Yusril dalam “issu duit panas Tommy Soeharto” membuat Natsir Muda kemudian digantikan oleh SBY Tahun 2007. 

 Apakah Natsir Muda mengikuti sejarah Natsir yang diasingkan Pemerintahan Soekarno 

 Namun apapun yang terjadi, Natsir Muda telah menegakkan kepala menghadapi “kezaliman penguasa”. 

Natsir Muda membuktikan, pernyataannya telah mewarnai jagat rimba belantara dunia hukum. 

Natsir Muda membuktikan. Hanya orang dengan pikiran besar yang akan dikenang sejarah. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 16 Juli 2010 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/14463-menanti-akhir-lakon-kiprah-natsir-muda.html