02 Agustus 2010

opini musri nauli : HBA dan amanah menjaga SDA


Pada tanggal 3 Agustus 2010, Jambi akan memasuki sejarah periode baru. Terpilihnya Hasan Basri Agus- Fachrori Umar dengan suara telak akan membuat Jambi akan diperhitungkan dalam kancah Nasional. 

Latar belakang yang panjang sebagai birokrat sebagai bagian yang tidak terpisahkan akan membuat peran HBA dalam percaturan politik Jambi akan menarik untuk didiskusikan. 

 Sebelumnya KPU Propinsi Jambi telah menetapkan pasangan HBA-Fachrori Umar sebagai pemenang. HBA meraup suara 607.030 suara dibandingkan dengan Madjid Muaz-Abdullah Hich dengan perolehan 384.012 suara, Zulfikar Achmad Ami Taher memperoleh 297.363 suara dan Pasangan Safrial-Agus Setyonegoro yang hanya memperoleh 206.646. 

Dengan meraup suara 607.030 suara, maka praktis HBA-Fachrori menjadi pemenang mutlak (40,60 %). Jauh mengungguli MM-Hich (25,69 %). Walaupun diakui, jumlah suara golput cukup besar 31,69 %. 

 Banyak tulisan yang memaparkan keberhasilan HBA menggungguli dalam Pilgub 2010. 

Namun sangat sedikit sekali yang mempresentasikan kemenangan yang diraih dalam tataran politik riil. 

Penulis akan mencoba memaparkan dengna kondisi obyektif yang menyebabkan HBA menang dihubungkan dengna sistem politik kekerabatan yang kental. Tulisan yang dipaparkan semata-mata hanya menerangkan kemenangan HBA dengan menggunakan indikator-indikator untuk melihat keberhasilan yang diraih. Secara politik, HBA dibesarkan dalam lingkungan politik dalam lingkup Kotamadya Jambi. Jabatan sebagai Sekretaris Daerah Kotamadya Jambi membuat, HBA dikenal sebagai birokrat yang handal. 

Hampir praktis, Kotamadya Jambi “adem-adem ayam” dalam riak demokratisasi dan reformasi di Jambi. “kehandalan” HBA didalam mengelola pemerintahan di Kotamadya Jambi tentu saja berbekas dan membuat HBA berhasil meraup suara. Sebagai Sekda Kotamadya Jambi, HBA kemudian berhasil bertarung untuk menjadi Bupati di Sarolangun. Jabatan Bupati Sarolangun kemudian berhasil diraih. 

Sebagai Bupati Sarolangun, kemudian HBA “bertarung” sebagai Gubernur Jambi 2010. HBA kemudian berhasil meraup suara di Sarolangun. “HBA juga unggul di Sarolangun, di mana dia berkuasa”. (Direktur LSKP Sunarto Ciptoharjono, dalam jumpa pers, di Hotel Novotel, Jambi Ekspress, Sabtu (19/6) 

 Menghubungkan suara yang diraup HBA dari Kotamadya Jambi dan Kabupaten Sarolangun akan mudah diidentifikasi. Namun suara mutlak yang diraih dari Kabupaten Merangin masih samar-samar diketahui. 

Banyak lembaga-lembaga survey yang menghubungkan suara yang diraih HBA disebabkan karena Kepala Daerah Merangin tidak mengikuti Pilgub Jambi 2010. Pernyataan ini sebenarnya tidak salah. 

Namun menurut penulis sama sekali tidak tepat. Lembaga survey tidak dapat menghubungkan suara yang diraih dari Kabupaten Merangin dengan identitas dari HBA. 

Kelemahan ini sangat disesali, karena lembaga survey hanya berpatokan kepada angka-angka kemenangan yang diraih tanpa melihat essensi terhadap angka-angka yang telah diberikan oleh rakyat. 

 Menghubungkan suara-suara yang diberikan oleh rakyat identitas kandidate mempunyai pengaruh yang signifikan. Kemenangan yang diraih oleh HBA memang tidak dapat dilepaskan sebagai Putra seorang penghulu (Kepala Desa). 

Sebuah jabatan yang dihormati oleh komunitas masyarakat adat. Sebagai seorang putra penghulu, HBA dibesarkan didaerah Sungai Abang, Kabupaten Sarolangun. LUAK XVI Dalam buku ‘TIMBUL TENGGELAM – Persatuan Wilayah LUAK XVI, Tukap Khunut Di Bumi Undang Teliti”, Muchtar Agus Cholif , edisi khusus, HBA mengikrarkan sebagai “PUTRA LUAK XVI Kerinci Rendah”. 

 Pertanyaan muncul. Apakah definisi Kerinci Rendah ? Apakah yang dimaksudkan dengan LUAK XVI. Dalam penjelasannya, Muchtar Agus Cholif mendefinisikan makna “LUAK XVI”. Arti LUAK “berarti kurang, usak, tidak cukup lagi”. Sebuah istilah berasal dari daerah Merangin, Kerinci, Melayu. 

Sehingga artinya kurang dari XVI. XVI adalah identitas kurang dari XVI. Sebuah Persatuan Masyarakat Hukum Adat yang terjadi pada tahun 1915. sedangkan yang dimaksudkan dengan Enam belas. 1. Serampas, 2. Sungai Tenang, 3. Peratin Tuo, 4. Senggrahan, 5, Tiang Pumpung, 6. Renah Pembarap, 7. Pulau Sangkar, 8. Temiai, 9. Pengasi, 10. Hamparan Tanah Rawang, 11. Koto Teluk Hamparan Tanah Rawang, 12. Koto Dian Hamparan Tanah Rawang, Koto Tuo Semurup, 13. Semurup, 14. Seleman, 15. Penwar, 16. Hampar di Hiang. Luak XVI yang dimaksud Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai Induk Enam Anak Sepuluh. 

Dalam pengidentifikasikan, kemudian 6 marga kemudian terletak di daerah Merangin, sedangkan yang sepuluh terletak di Kerinci. Dengan demikian, maka yang terletak di Kerinci disebut Kerinci Tinggi, sedangkan 6 marga yang terletak di Merangin disebut Kerinci Rendah. Di daerah Merangin, akar kekerabatan HBA terlihat jelas. HBA merupakan cucu dari Desa Sekancing yang termasuk kedalam Margo Tiang Pumpung. Margo Tiang Pumpung mempunyai hubungan yang jelas dengan Margo Renah Pembarap dan Margo Senggrahan. 

Hubungan yang jelas dapat dilihat dari Seloko adat, “Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar”. Maka Ikrar HBA sebagai “PUTRA LUAX XVI Kerinci Rendah, adalah putra dari keturunan masyarakat di daerah LUAK XVI yang terletak di Kerinci Rendah. Luak XVI sudah menjadi hidup dan tidak terpisahkan daripada kehidupan masyarakat di Bangko. LUAK XVI merupakan komunitas wilayah adat yang mempunyai identitas yang khas, wilayah klaim adat dan hukum yang mengatur kehidupan komunal masyarakat adat. 

LUAK XVI merupakan komunitas yang sampai sekarang masih tunduk kepada klaim wilayah adat dan menghormati hukum adat. Luak Melayu termasuk rumpun kesukuan Melayu. Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan dari 650 suku di Indonesia (Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997). Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua. Paparan yang disampaikan oleh MAC yang menerangkan bahwa keberadaan LUAK XVI dalam Persatuan Masyarakat Hukum Adat harus memerlukan kajian yang cukup serius. Tahun 1915 yang disampaikan oleh MAC adalah periodik pemerintahan zaman pemerintahan Belanda yang disebut dalam wilayah Marga. 

Penulis berkesempatan melihat peta-peta baik topografi, peta tematik yang terdiri dari peta potensi sumber daya alam dan peta pemerintahan (Residentie). Peta-peta ini tersimpan rapi di negeri Belanda. 

Menurut Staab No. 793 Tahun 1921, Pengakuan terhadap Marga telah diakui. Staab ini kemudian memberikan ruang kepada pengakuan masyarakat adat didalam mengatur pemerintahan yang berasal dari komunitas adat. Identitas tentang keberadaan Serampas, Sungai Tenang, Peratin Tuo, Tiang Pumpung, Renah Pembarap, Senggrahan lebih jelas terlacak pada peta tahun 1801. 

Hasil pengakuan identitas masyarakat adat ini secara jelas diungkapkan oleh Belanda dalam berbagai dokumen. Identitas ini kemudian tetap merupakan bagian dari pengamatan Belanda didalam melihat keberadaan masyarakat adat. 

Namun sayang sekali, identitas ini praktis tidak menjadi perhatian para sejarahwan dan peneliti untuk melihat akar dari keberadaan masyarakat adat LUAK XVI Ikatannya yang kuat antara sesama masyarakat dalam LUAK XVI dapat dilihat dalam seloko adat. “Sumpah setio. Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengna tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dadober berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang” 

 Clifford Geerz mendefinisikan ikatan primordial adalah “perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa atau dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. 

Persamaan hubungna darah, bahasa dan kebiasaan pada dirinya memiliki kekuatan yang meyakinkan. Clifford Geertz, Ikatan-ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan Negara-negara Baru, KEARIFAN LOKAL LUAK XVI Membicarakan hukum adat tanpa melihat relevansi dengan keberadaan dan perkembangan zaman sekarang merupakan sebuah upaya yang sia-isa. Identifikasi keberadaan hukum adat digunakan sebagai alas terhadap upaya sistematis melihat alam dan lingkungan dihubungkan dengna kondisi obyektif yang terjadi. 

 Menurut Prof. Mr. Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (Open System Van het Recht). 

Pendapat itu lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat. 

 Saat ini perdebatan tentang peristilahan “masyarakat adat” masih berlangsung. Dokumen internasional seperti Konvensi ILO 169 membedakannya dalam dua kategori, yaitu indigenous peoples dan tribal peoples. Sandra Moniaga dan Stephanus Djuweng4 mengusulkan penerjemahannya dua istilah tersebut sebagai berikut: indigenous peoples diterjemahkan menjadi “bangsa pribumi” dan tribal peoples diterjemahkan menjadi “masyarakat adat”. Istilah masyarakat adat lebih dekat dengan tribal peoples daripada indigenous peoples. Namun berbagai diskursus dan dokumen HAM internasional setelah Konvensi ILO 169 lebih banyak menggunakan istilah indigenous peoples dari pada tribal peoples dan istilah indigenous peoples dipakai untuk menunjuk kedua-duanya. Dalam dokumen hukum di Indonesia lebih banyak digunakan istilah “Masyarakat Hukum Adat” daripada “Masyarakat Adat”. 

Istilah masyarakat hukum adat lahir dari bentuk kategori pengelompokkan masyarakat yang diajarkan oleh pemikir hukum adat seperti Van Vallenhoven dan Ter Haar. Kategori kelompok sosial itu yang kemudian dikenal dengan bentuk masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen) adalah masyarakat yang seluruh anggota komunitasnya terikat sebagai satu kesatuan oleh hukum yang dipakai, yaitu hukum adat. 

Bahkan Van Vallenhoven membagi wilayah di Indonesia (Nederlandsh Indie dahulu) ke dalam 19 (sembilan belas) lingkaran hukum (rechtskringen) yang setiap lingkar hukum dapat dibagi lagi ke dalam kukuban-kukuban hukum (rechtsgouwen). 

Jelas sekali bahwa pakar hukum adat dari Belanda menekankan pengategorian masyarakat adat berdasarkan hukum. 

Bahkan selain membagi berdasarkan teritori, hukum adat juga dibagi berdasarkan lapangan-lapangan yang berkembang dalam hukum barat, misalkan hukum waris adat, hukum tanah adat, hukum adat mengenai tata negara, hukum hutang-piutang, hukum delik adat dan bidang hukum lainnya.

 Istilah masyarakat hukum adat juga mengandung kerancuan antara “masyarakat-hukum adat” dengan “masyarakat hukum-adat”. Yang satu menekankan kepada masyarakat-hukum dan yang lain menekankan kepada hukum adat. 

Pada pihak lain, kalangan yang keberatan dengan penggunaan istilah “masyarakat hukum adat” berargumen bahwa “masyarakat hukum adat” hanya mereduksi masyarakat adat dalam satu dimensi saja, yaitu hukum, sedangkan masyarakat adat tidak saja tergantung pada dimensi hukum, melainkan juga dimensi yang lainnya seperti sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dan ekologi. 

 Terlepas dari posisi hukum adat dalam Hukum nasional, Masyarakat adat LUAK XVI telah mengidentifikasikan tentang Hutan, lingkungan dan alam. Mereka mendefinisikan hutan yang tidak boleh dibuka dengan istilah “Hutan larangan”, “penghulu sungai”. 

Di daerah Tebo, lebih dikenal dengna istilah “rimbo bunyian”. Muchtar Agus Cholif mendefinisikan “Rimbo sunyi harimau lepas”, “Tempat beruk siamang putih, “Tempat ungko berebut tangis”. 

Apabila kita menggunakan sistem pemetaan modern (GSP), hutan yang disebutkan yang konstruksinya di lereng dengan kemiringan diatas 60 derajat, terletak didalam kawan Taman Nasional dan tentu saja tidak dimungkinkan dibuka oleh masyarakat. 

 Masyarakat Adat sangat arif didalam mengelola alam. Ujaran seperti “ Ke darat bebungo pasir, ke darat bebungo kayu”, “Ke ladang bebungo emping”, “Ke talang berbungo emas” adalah pengaturan didalam mengelola sumber daya alam.

 Begitu juga memposisikan Hukum harus diletakkan dengan adil dengan ujaran “Hak Dacin pado yang ditimbang, hak sukam pado yang digantang”. 

 Sehingga alam yang diatur dengan baik maka dapat dilihat “Air bening, ikan jinak, rumpun mudo, kerbau gepuk, bumi senang, padi menjadi antimun mengurak bungo, teluk senang rantau selesai”. 

 LUAK XVI DAN DAERAH TANGKAPAN AIR (WATER CATCHMENT AREAS) 

 Kearifan masyarakat adat didalam mengelola sumber daya alam menarik perhatian disaat, masyarakat adat berhasil menjaga kawasan hutan. Kawasan hutan di Kabupaten Merangin juga merupakan areal perlindungan bagi DAS Utama Sungai Batang Hari, yang pada umumnya merupakan huluan sungai bagi Sub DAS Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tantan, Sungai Aur dan Batang Nilo Dusun atau kampung tua yang berada di sepanjang sungai tembesi yaitu : Koto Tapus, Dusun Sijori Durian Malai, Dusun Sugai Seluang, Sitinjau Alam dan Koto Mutut hingga ke Tanjung Dalam. Dusun tua yang berada disepanjang sungai mentenang terus kehilir menyatu dengan sungai langkup yaitu Renah Kemumu dan Tanjung Kasri. 

Sedangkan di sepanjang sungai siau yaitu Desa Tuo, Dusun Tanjung Berugo, Rancan hingga ke Muaro Siau. Sedangkan di sepanjang batang nilo seperti Desa Lubuk Birah dan Dusun Kandang. Hulu Sungai Batang Tebo. 

Dari daerah kerinci di kawasan Gunung Patah Tiga (2293 mpdl) yang melewati daerah Tanah Hulu Batang Masumai berasal hulu Sungai Manau (Margo Renah Pembarap) melewati Sungai Nilo. Hulu Sungai Batang Merangin berasal dari hulu Danau Kerinci melewati Guguk (Margo Renah Pembarap) Air Batu (Margo Renah Pembarap), Dusun Baru (Margo Renah Pembarap), Dusun Kungkai terus sampai ke Bangko. Batang Tabir berasal dari hulu Gunung Bungkuk (2139 mdpl), hulu bukit Turutu Mana, hulu Gunung Air Liki (1756 mdpl), Bukit Panikam Sari (668 mdpl) daerah berbatasan Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Merangin (Margo Renah Pembarap). Batang Nilo berasal dari hulu kawasan Gunung Sedingin (1959 mdpl) daerah Desa Durian Rambun (Margo Senggrahan). Batang Asai berasal dari hulu kawasan Gunung Kayu Aro (1983 mdpl), hulu peraduan gamun (1881 mdpl), hulu Sako (1909 mdpl) terus melewati Muara Talang. Batang Tembesi dari hulu Gunung Tungkat, melewati Desa Tanjung Dalam (Margo Peratin Tuo), Muara Pangi (Margo ), Muara Tengayo, Rantau Jering, Rantau Begitu pentingnya, keberadaan masyarakat LUAK XVI didalam mengelola dan mengatur sumber daya alam, setidak-tidaknya menjadi perhatian kita semua. 

Seluruh anak sungai yang kemudian bermuara ke Sungai Batanghari merupakan air yang menghubungkan dan menghidupi masyarakat Jambi. 

Dan HBA sebagai Putra LUAK XVI Kerinci Rendah mendapat tugas untuk menjaganya. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 3-4 Agustus 2010