28 April 2012

opini musri nauli : KESESATAN BERFIKIR MENGENAI BARANG BUKTI DAN ALAT BUKTI

Melihat tayangan talkshow Indonesia Lawyer Club di TV One, membuat penulis bertanya-tanya. Apakah para narasumber yang dihadirkan mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk berbicara mengenai hukum. Menilik dari format acara “indonesia Lawyer Club” tentu saja praktisi hukum yang dihadirkan mempunyai kemampuan yang mumpuni sehingga format acara sebagai bentuk hiburan (talkshow) juga memberikan pendidikan. Sehingga pemirsa televisi tidak sesat mendengarkan paparan dari narasumber.

Pertanyaan heran yang penulis sampaikan, disaat host Acara Karni Ilyas mempersilahkan seorang Pengacara Anas Urbaningrum (namanya saya Lupa), menerangkan bagaimana sikap dari Anas Urbaningrum terhadap fakta-fakta yang menyebut-nyebut nama Anas Urbaningrum. Dengan berapi-api pengacara tersebut menyatakan “keterangan saksi” bukanlah alat bukti. “keterangan saksi” harus “diverifikasi” dengan bukti lain.

Lantas Karni Ilyas meminta penjelasan kepada pengacara tersebut yang dimaksudkan dengan alat bukti. Tanpa bersalah, pengacara tersebut menerangkan alat bukti adalah saksi, surat, dan barang bukti lainnya.

Penulis kemudian tersentak. Sebagai praktisi hukum, pernyataan dari pengacara Anas Urbaningrum mengganggu sekaligus mempertanyakan. Apakah memang dia benar-benar pengacara (bukan administrasi sebagai pengacara tapi benar-benar berpraktek sebagai pengacara). Pertanyaan standar seperti ”alat bukti” dalam hukum acara pidana merupakan pengetahuan umum praktisi hukum. Kemudian selanjutnya, pengacara yang mencoba menggabungkan antara ”alat bukti” dengan ”barang bukti” merupakan ”kebodohan”.

Sebenarnya ”Kesesatan” ini juga pernah dilakukan pihak kepolisian dalam  adanya rekaman pembicaraan antara Ari Muladi dan Ade Rahardja dalam peristiwa Kriminalisasi pimpinan KPK (Bibit Chandra). Pihak kepolisian ngotot menyatakan adanya rekamana Ari Muladi dengan Ade Rahardja. Namun polisi kemudian teledor menyamakan ”Alat bukti” dengna barang bukti. Hingga putusnya perkara ini, sama sekali tidak dapat dihadirkan rekamannya. Polisi kemudian hanya menghadirkan call detail record/CDR

Berangkat dari talkshow, penulis kemudian menyadari, harus ada penjelasan yang berdasarkan ketentuan peraturan, agar masyarakat tidak sesat melihat acara tersebut. 

BARANG BUKTI, ALAT BUKTI

Mencampur-adukkan istilah “barang bukti”, “alat bukti” dan pembuktian didalam lapangan hukum acara pidana menyesatkan. Didalam praktek hukum acara pidana, pasal 184 KUHAP menegaskan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “alat bukti”.
Alat bukti itu terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Bandingkan dengan istilah “barang bukti”.
Yang dimaksudkan dengan barang bukti yaitu barang mengenai delik dilakukan (obyek) delik dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik (Andi Hamzah, Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyarat¬kan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. Barang bukti harus diperlihatkan kepada saksi (Putusan MA 125 K/Kr/1960 tanggal 13 November 1960. Lihat juga115 Kr/K/1972. 23 Mei 1973), juga terdakwa dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenai benda itu. Tentunya juga diperlihatkan bukti diam (silent evidence) seperti jejak jari, benda-benda yang menjadi barang bukti. Alasan yang disampaikan oleh saksi untuk memberi keterangan. Apakah keterangan itu dapat atau tidaknya dipercaya berdasarkan pasal 302 R.I.B terserah kepada kebijaksanan hakim. Dan hakim berwenang untuk tidak usah mendengar semua saksi apabila pengadilan negeri berpendapat, bahwa dalam pemeriksaan di persidangan telah terdapat cukup alat-alat pembuktian untuk menghukum terdakwa. Namun yang harus Penasehat Hukum perhatikan tentang barang bukti yang dihadirkan oleh Jaksa penuntut umum ditentukan haruslah sesuai dengan fakta-fakta persidangan.

Di KUHAP sendiri, status barang bukti dan Persoalan kepada siapa barang bukti harus dikembalikan adalah termasuk kebijaksanaan judex facti kecuali kalau ditentukan lain oleh undang-undang. (Putusan Mahkamah Agung No. 100 K/Kr/1974 Tanggal 6 Mei 1975). Apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak (saksi korban atau pihak ketiga), dilampirkan dalam berkas perkara yang terpisah atau dirampas untuk negara. UU No. 7 Tahun 1955 dan pasal 39 KUHP perampasan tidaklah diharuskan (Putusan Mahkamah Agung No. 22 K/Kr/1964 tanggal 22 Desember 1964). Namun Barang bukti yang terdiri dari barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi harus dirampas untuk negara (Putusan Mahkamah Agung No. 20 K/Kr/1976 Tanggal 1 Juli 1978). Putusan pengadilan tentang status barang bukti merupakan wewenang judex facti majelis hakim. (Putusan Mahkamah Agung No. 107 K/Kr/1977 Tanggal 16 Oktober 1978)

Dalam hal terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum, maka semua barang bukti harus dikembalikan kepada terdakwa. (Putusan Mahkamah Agung No. 87 K/Kr/1970 Tanggal 3 Maret 1972). Untuk menjadi barang bukti dalam suatu perkara pidana tidak disyaratkan bahwa barang itu disebut dalam surat tuduhan. (Putusan Mahkamah Agung No. 125 K/Kr/1960 Tanggal 13 November 1962).

Dari paparan diatas, maka terhadap barang bukti yang ternyata dipergunakan terhadap kejahatan dapat dilihat didalam Pasal 39 KUHP telah memberikan ruang untuk mengatasi pertanyaan itu. Barang bukti yang merupakan “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas”. Didalam berbagai pendapat ahli, pasal 39 KUHP memberikan tafsiran “benda atau tagihan tersangka/terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Atau benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tinda pidana. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Dengan melihat berbagai ketentuan yang berkaitan dengan “barang bukti” dan “alat bukti” dalam praktek peradilan pidana tentu saja mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Pasal 184 KUHAP yang menegaskan “alat bukti” adalah sebagai alat untuk melihat apakah telah terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Bahkan sebagai bahan bagi hakim untuk menentukan kesalahan atau tidak terhadap pelaku. Didalam pasal 183 KUHAP secara tegas dinyatakan, bahwa hakim harus memutuskan berdasarkan kepada dua alat bukti yang sah.
Begitu pula putusan, harus menjelaskan putusan itu dijatuhkan yang berdasarkan alat bukti yang sah.

Lalu, bagaimana dengan kekuatan “barang bukti”. Dalam praktek pidana, barang bukti mempunyai kekuatan pembuktian apabila telah diterangkan para saksi, ahli dan surat, keterangan tersangka yang menerangkan tentang barang bukti tersebut. “barang bukti” tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak ada saksi, ahli, atau surat atau keterangan tersangka yang menerangkan tentang “barang bukti” tersebut.
Didalam KUHAP, mencantumkan “barang bukti dapat dihadirkan… “

Dimuat di Harian Jambi Independent, 2 MEi 2012