26 April 2012

opini musri nauli : Membaca Tafsir Putusan MK Tentang Kehutanan



Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45/PUU-IX/2011 pada 21 Februari 2012 telah memutuskan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Putusan ini penting didalam melihat paradigma negara bersandarkan kepada Putusan MK. Tentu saja didalam melihat putusan MK, pengaruh dan berbagai pertimbangan akan memberikan tafsiran berbagai pihak terhadap MK.

Kementerian Kehutanan menganggap Putusan tidak berdampak secara signifikan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasa menganggap putusan MK justru menguatkan kewenangan pemerintah pusat. Dengan putusan MK itu, maka pemanfaatan hutan harus mengacu tata guna hutan kesepakatan (TGHK) pada 1986. Sementara Dirjen Planologi Kehutanan Kemenhut Bambang Soepijanto menegaskan, dalam proses penetapan kawasan hutan, selama ini pihaknya melaksanakan pasal 15 ayat 1 UU 41/1999, bahwa penetapan kawasan hutan itu melalui penunjukan, tata batas, pemetaan, dan setelah itu baru penetapan.

Sementara Pemerintah berbagai daerah menganggap kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam terutama sektor kehutanan telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Ketidaktegasan Menhut dikhawatirkan menyebabkan adanya tindak pemidanaan pada para bupati serta warga yang dianggap memasuki kawasan hutan tanpa izin. Hak kebendaan dan kepemilikan di kabupaten setempat berpotensi dirampas negara pula.

Berangkat dari perbedaan tafsiran dari Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah menarik menjadi bahan pembahasan yang penulis sampaikan.

Pengajuan pembatalan  Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) kemudian oleh MK dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK menganggap bahwa frase ”ditunjuk dan atau” dalam rumusan pasal 1 angka 3 UU Kehutanan didasarkan kepada pasal 15 ayat (1) UU No. 41 tahun 1999. MK menganggap bahwa  frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a quo menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. Penunjukan kawasan hutan; b. Penataan batas kawasan hutan; c. Pemetaan kawasan hutan; dan d. Penetapan kawasan hutan.

Penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa, “ditunjuk dan atau” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Frasa “ditunjuk dan atau” tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-Undang a quo.
Dengan demikian ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 .

Dengan tegas kemudian MK menyatakan pasal 1 angka (3) UU No. 41 Tahun 1999 bertentangan dengan UU Dasar 1945.

PARADIGMA ”DOMEIN VERKLARING” DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

Sudah jamak diketahui, Kementerian Kehutanan yang berada di Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia berangkat dari konsepsi “Dikuasai oleh negara”.

Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.

Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.

Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.

Berdasarkan dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).

Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral.
Dengan demikian, maka membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral”

Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.  Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).

Dengan demikian, maka Ketentuan UU Kehutanan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati

Namun dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 kemudian direvisi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan dan tafsiran sempit dari Kementerian Kehutanan tidak tepat lagi. Kewenangan menentukan kawasan hutan selain melalui tahap-tahap sebagai ditentukan didalam pasal 15 ayat (1), juga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah didalam mengatur dan mengelolanya.

Dengan pendekatan yang telah disampaikan, maka Putusan MK haruslah ditafsirkan sebagai rumusan yang telah mengadopsi dan mengakui kewenangan otonomi daerah.