02 April 2012

opini musri nauli : MENENGOK LANGKAH POLITIK ISU BBM


Peristiwa Sidang Paripurna pembahasan perubahan APBN 2012 (kemudian dikenal sebagai politisasi issu) memberikan pelajaran penting. Partai politik (baik yang mendukung dan menolak kenaikan BBM) menunjukkan diplomasi dan ”kepiawaian” berpolitik. Terlepas dari ”nasib rakyat ditentukan voting”, pilihan sikap politik (baik yang mendukung dan menolak kenaikan BBM) semata-mata sebagai investasi politik menjelang Pemilu 2014.
Dari berbagai ”interupsi”, pernyataan dan sikap politik yang digambarkan partai politik, terlalu banyak pelajaran yang dapat dipetik berdemokrasi sebagai bagian dari proses demokrasi negara modern.

Sebagai partai oposisi, PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra mengambil sikap ”menolak kenaikan BBM”. Investasi politik yang diharapkan ditunjukkan dengan tegas tanpa berkompromi dan melunak apalagi mengalah terhadap usulan Pemerintah untuk mengubah sikapnya.

Namun dalam implementasi dan cara memperjuangkannya menggunakan perbedaan strategi. PDIP dan Partai Hanura mengambil sikap walk out sebelum dilakukan pemilihan opsi ”menolak atau menerima kenaikan BBM”. Alasan mereka mengambil sikap walk out didasarkan sikap konsistensi mereka terhadap ”menolak kenaikan BBM”. Dari sudut pandang ini, kita menghormati dan memberikan apresiasi terhadap sikap ”keukeh” PDIP dan Partai Hanura.

Cara berbeda dilakukan oleh Partai Gerindra. Dengan alasan yang sama, tetap ”keukeuh” sikap menolak kenaikan BBM, mereka bertarung didalam mengikuti mekanisme ”Voting” (walaupun memang disadari kalah). Alasan mereka bertahan justru menegaskan sikap konsistensi Partai Gerindra ”menolak kenaikan BBM” dengan menyalurkan aspirasi rakyat yang menolak ”kenaikan BBM”. Sikap ini juga dilakukan PKS (sebelumnya menawarkan ”solusi konstruktif”) namun kemudian menolak kenaikan BBM dan mengikuti bertarung dalam voting.

Sementara Partai Demokrat sebagai rulling party, ”idem ito” dengan tawaran Pemerintah untuk perubahan APBN 2012. Sebagai Partai Rulling party, sikap ini harus dihormati. Namun sangat disayangkan, argumentasi yang disampaikan oleh Partai rulling party, alasan logis yang disampaikan oleh Partai Demokrat kurang memberikan keyakinan dan sikap yang jelas yang ditangkap oleh rakyat. Berbeda dengan penjelasan Jusuf Kalla ketika isu ”kenaikan BBM” tahun 2008 dan konversi minyak tanah ke gas. Penjelasan Jusuf Kalla berhasil diterima dan program tersebut kemudian sukses (terlepas dari ledakan tabung LPG 3 kg dan Bantuan Tunai Langsung).

Partai Golkar sebagai mitra strategis partai koalisi cukup memainkan issu yang sangat strategis. Disatu sisi ”menolak kenaikan BBM” namun disisi lain ”mendukung kenaikan BBM” dengan memberikan wewenang Pemerintah dengan prasyarat tertentu.  Syarat itu kemudian ditentukan dalam pasal 7 ayat 6 ditambah ayat 6a, yang berbunyi, dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.

Strategi ini cukup berhasil dan sedikit meredam aksi-aksi penolakan disatu sisi namun disisi lain menyelamatkan ”Pemerintah”.

Namun terlepas dari berbagai strategi yang dilakukan oleh Partai –partai politik di sidang Paripurna pembahasan perubahan APBN 2012, catatan penting yang terlupakan justru tidak dilakukan. PDIP, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKS yang menolak kenaikan BBM tidak melakukan  ”minderheidsnota”  terhadap ”voting” BBM. ”minderheidsnota merupakan hak anggota yang menyatakan keberatan terhadap persidangan. Secara hukum, Kendati disertai ”minderheidsnota”, tidak menghalangi atau membatalkan sebuah persetujuan yang telah disahkan oleh Qurom.

Dalam perjalanannya, banyak UU yang kemudian disertai ”minderheidsnota” yang kemudian diuji di MK (judicial rewiew) menjadi pertimbangan serius dari MK. UU PMA, UU Perkebunan, UU Air, UU Listrik, UU Migas, adalah sebagian kecil dari jumlah UU yang disertai ”miderheidsnota”, kemudian dijadikan pertimbangan bagi MK untuk dapat dibatalkan. Kitapun dengan mudah menyampaikan, ”miderheidsnota” merupakan pandangan kritis dari anggota parlemen. Namun pandangan kritis dari anggota parlemen ”terkalahkan” dengan suara mayoritas anggota parlemen lainnya.

Dalam kewenangan MK sebagai ”guardian of constution, MK menjadikan ”minderheidsnota” sebagai bahan dalam melihat rumusan dengan UUD 1945.

”Minderheidsnota” dijadikan bahan bagi MK untuk membatalkan pasal-pasal dari UU PMA, UU Perkebunan, UU Listrik dan UU Migas. ”Minderheidsnota” merupakan dokumen penting dalam ”pertarungan” dan suasana perdebatan di parlemen dan history dalam merumuskan hal krusial dari UU.

Namun sangat disayangkan, dalam sidang Paripurna APBN 2012, ”minderheidsnota” tidak dicantumkan. Padahal dengan adanya ”minderheidsnota” permohonan mengajukan judicial rewiew ke MK akan menjadikan bahan pertimbangan bagi MK untuk dapat mengabulkan permohonan. 

Dimuat di harian Jambi Ekspress, 4 April 2012


.