10 April 2012

opini musri nauli : WAKIL TUHAN” MOGOK SIDANG


Berita ancaman “mogok sidang” korp Baju Hitam Hakim Indonesia semakin melengkapi berita-berita “miring” di Indonesia. Penulis sengaja menegaskan kata “miring”, ketika Negara dan Pemerintah seringkali lalai dan abai terhadap hal-hal yang paling fundamental di Indonesia dan tidak diurusnya berbagai simbol-simbol hukum.

Berita ini sekaligus juga konfirmasi berbagai peristiwa terpuruknya hukum di mata publik disaat Pengadilan dipaksa ”menyidangkanperkara-perkara ”remeh temeh” seperti  kasus pencurian sendal jepit, Prita Mulyasari, Mbok Minah yang mencuri kakao, dan terakhir nenek Rasminah.

Pengadilan “dipaksa” menyidangkan perkara-perkara “remeh temeh” disaat bersamaan negara-negara di sebelah utara lebih berdiskusi dan berdebat tentang jumlah bintang-bintang, program ke Planet Mars, program nuklir. Sungguh ironi. Dalam sikap sarkaisme, sudah seharusnya Indonesia berbicara dalam putaran global, namun dalam praktek masih berkutat dalam pemikiran yang jauh tertinggal.

Indonesia yang “mengklaim” negara hukum (rechtstaat) kemudian menjadi mantra “sakti” tanpa makna. Sebagai negara hukum, perbaikan dan perhatian terhadap dunia hukum jauh tertinggal baik porsi maupun perhatian dibandingkan dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi, politik. Bahkan dengan profesi lainnya seperti PNS ataupun guru, posisi terpinggirkan hakim jauh tidak diperhatikan.

Hakim sebagai pejabat negara berdasarkan PP Nomor 41/2002 namun tidak mendapatkan perlakuan yang pantas. Disaat Anggota DPR “memamerkan” berbagai tunjangan, hakim justru tidak diperhitungkan sejak tahun 2008. Kenaikan gaji setiap tahun PNS tidak dilakukan kepada hakim. Bahkan sertifikasi yang kemudian dinikmati guru, fasilitas dan berbagai tunjangan tidak kunjung diterima hakim. Wacana “remunerasi ” hanyalah sekedar utohia yang memberikan “dahaga” sejenak. remunerasi diterima hanya sebesar 70 % dan kadangkala diberikan tidak setiap bulan. Bahkan praktis seringkali diterima 3 bulan sekali.

Jangan bandingkan fasilitas ataupun tunjangan yang diterima oleh Pejabat negara lain, fasilitas seperti hak protokoler, tunjangan perjalanan, tunjangan rumah seperti ”mimpi” disiang bolong.

Para Rechter/judge sering dibicarakan karena kasus-kasus yang menarik perhatian publik namun tidak membicarakan problema mendasar.

Tanpa mengabaikan fakta-fakta adanya hakim-hakim yang “nakal” yang kemudian menjadi sorotan publik disidangkan, penulis masih banyak bertemu hakim-hakim yang mempunyai integritas baik karena pengabdiannya yang tulus terhadap perkara yang disidangkan maupun penghormatan kepada profesi Hakim. Hakim-hakim yang mempunyai dedikasi dan integritas lebih dihormati selain karena memang profesi hakim memang profesi mulia sebagai “wakil Tuhan” juga didasarkan kepada etika hakim yang tetap menjaga perilaku dan menghormati hakim.

Di berbagai daerah, masih banyak hakim yang masih menggunakan sepeda motor, kontrak rumah, tinggal di rumah dinas berdesak-desakkan “persis anak kost”. Bahkan di sebuah Pengadilan, Hakim juga “terpaksa” tinggal di kantor karena selain rumah dinasnya, air tidka mengalir, listrik sering byar pyet, “keterpaksaan” tinggal di kantor didasarkan karena di kantor lebih mudah kumpul bersama. Belum lagi fasilitas internet (sebuah barang mahal yang praktis tidak disediakan di rumah dinas), menonton televisi. Sehingga dapat dimengerti, apabila Pengadilan di berbagai daerah di Jambi, malam-malam sering digunakan berkumpul para hakim-hakim dibandingkan tinggal di rumah dinas. Masih banyak hakim-hakim yang tetap sidang walaupun dengan fasilitas yang terbatas.

Jangan pula kita berbicara ”meningkatkan kemampuan hakim” mengikuti perkembangan hukum, sedangkan persoalan sehari-hari saja mereka harus pusing memikirkannya.

Yang penulis sampaikan hanyalah sekedar gambaran daerah-daerah daratan. Belum lagi hakim-hakim yang bertugas di Kepulauan yang menghubungkan antara satu pulau dengan pulau lain. Penulis pernah bertemu dengan hakim yang pernah bertugas di Sulawesi, atau di Kalimantan, dimana sidang ditentukan harus menunggu para saksi yang bisa hadir tergantung cuaca. Saksi bisa saja datang pada waktu yang ditentukan. Namun karena persoalan cuaca, saksi baru bisa datang 3 hari kemudian.

Belum lagi hakim-hakim yang bertugas di daerah konflik seperti Aceh, Papua, Maluku ataupun di konflik sambas. Hakim selain memikirkan keselamatannya juga memikirkan keselamatan keluarganya. Termasuk mengungsi keluarga ketika pecah konflik.

Dalam kenyataan ini, suara-suara yang diteriakkan hakim didasarkan bukan semata-mata kepada “persoalan ekonomi”, tapi adalah “suara” yang disampaikan karena mereka tetap menjaga integritas dan tetap menjunjung tinggi bagaimana Pengadilan tetap berwibawa dan dihormati masyarakat.

suara” yang disampaikan haruslah disambut dengan pikiran jernih, semata-mata bukan karena ancaman mogok disampaikan para hakim, tapi disadari sejak tahun 2008, praktis suara mereka kurang diperhatikan.