19 Juni 2012

opini musri nauli : MEMBACA ULANG TAFSIR PUTUSAN MK TERHADAP UU PERKEBUNAN (Analisis Yuridis Putusan MK)




MEMBACA ULANG TAFSIR  PUTUSAN MK  TERHADAP  UU  PERKEBUNAN
(Analisis Yuridis Putusan MK)
Musri Nauli[1]

”Lijden is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is dubbel bitter”
(menderita adalah pahit, tetapi menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat pahit atau kejam).
Emil Bruner


Ambisi Indonesia dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an. Luas pembangunan perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tahun 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas area tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.

Pertumbuhan luas area yang pesat kembali terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dan 2,96 juta hektar menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata Iebih dan 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Selain itu Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) utama di dunia, dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi sebanyak 16,08 juta ton. Dan produksi tersebut, 12,1 juta ton (75,25%) diantaranya diekspor dan konsumsi untuk industri ininyak goreng dan industri oleocheinical dalarn negeri sebanyak 3,8 juta ton (24,75%)28[2].
Di Jambi sendiri, Issu sejuta hektar pembangunan kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun 2000 telah memantik protes berbagai kalangan. Walhi Jambi yang paling keras menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap menghambat pembangunan dan pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. Issu ini kemudian ditentang dan mendapat dukungan internasional.
Namun, penghentian issu program sejuta hektar pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. Bahkan pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru.
Dalam berbagai konflik, penulis akan mencoba menguraikan arsitektur konflik pembangunan kelapa sawit. Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Arsitektur selanjutnya menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Lihat tabel.  
Tabel 1. Kerusuhan Massa 1998 - 2007[3]
NO
TAHUN/TEMPAT
KASUS
KETERANGAN
1
November 1998 di Tungkal Ulu di Kab. Tanjab
Pembakaran PT. DAS
Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka.
2
April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. TEBORA
Kota Bungo mencekam karena adanya issu masyarakat akan melakukan penyerangan. Jumlah data masyarakat yang dijadikan tersangka tidak tersedia
3
September 1999 di Empang Benao Kab. Bangko
Pembakaran PT. KDA
13 orang dijadikan tersangka dengan pasal 170, 363, dan 218 KUHP
4
Januari 2000 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. Jamika Raya
13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang berlapis seperti pasal 170, 187,406,412,164 KUHP
5
Juni 1999 di Jambi
Pengrusakan Kantor Gubemur
4 orang mahasiswa sebagai terdakwa dengan pasal 170 KUHP
6
Juni 2001 di Jambi
Pengrusakan Kantor Polda Jambi
13 orang mahasiswa sebagai tersangka dan 4 orang kemudian dijadikan terdakwa di pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhan pasal 160, 170, 187 KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951.
7
September 2002 di Bungo
Pengrusakan PTPN VI
18 orang dijadikan tersangka dengan pasal 170 KUHP
8
Agustus 2006 di Jambi
Pengrusakan kantor
BKSA
2 orang dijadikan tersangka dengan  pasal 17, 18 UU No. 9 Tahun 1998  dan Pasal 406
9
Desember 2005 di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci
Kerusuhan di Sungai Penuh
8 orang dijadikan tersangka dengan 8 berkas pidana terpisah
10
Desember 2006 di Singkut Kabupaten Sarolangun
Pembakaran PT. DIPP
27 orang dijadikan tersangka dengan
5 berkas terpisah
11
Desember 2007 di Lubuk Madrasah Kabupaten Tebo
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS
9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.

Dari deskripsi sederhana yang telah penulis paparkan, sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan terus berulang[4].
Selain itu juga, UU Perkebunan ”memakan” korban[5]. Sebagai contoh, di daerah kecil, Pengadilan Negeri Tais, sebuah kota berjarak 60 km arah selatan Bengkulu dilangsungkan persidangan pidana dengan diterapkannya UU Perkebunan. 2 orang aktivis Walhi Dwi Nanto dan Firmansyah bersama dengan 18 orang warga Pring Baru[6], Kecamatan Taba, Kabupaten Seluma dituduh melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004.
Para terdakwa dituduh melakukan perbuatan pidana disebabkan para terdakwa melakukan aksi menghentikan alat berat yang hendak melakukan penggusuran tanah warga. Dalam perkembangannya, “aksi menghentikan” alat berat digeser menjadi upaya pidana didalam menghalangi peremajaan kelapa sawit (replanting) PTPN VII. Sebuah upaya sistematis yang kemudian memaksa para terdakwa menjadi pesakitan dimuka persidangan[7].
Sehingga tidak salah kemudian, Empat petani menggugat  UU Perkebunan[8]

PARADIGMA HAK MENGUASAI NEGARA (DOMEIN VERKLARING)

UU Perkebunan menimbulkan problematika dalam ilmu hukum pidana di Indonesia. Dilihat dari muatannya, Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan, terang tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan secara adil. Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal adalah rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Ketentuan dalam Pasal-pasal yang tidak jelas dan sumir tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum, di mana “a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced”, dengan unsur kepastian hukum di dalamnya, dan sekaligus mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
Akibatnya, ketentuan pasal tersebut seringkali digunakan untuk mempidanakan petani oleh perusahaan. Bahkan, menginjak rumput perusahaan pun, petani bisa dipidana dengan ancaman lima tahun penjara. Sehingga tidak salah apabila sering dinyatakan UU Perkebunan merupakan upaya sistematis terhadap kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara ini sebenarnya mengingatkan kita akan strategi yang digunakan oleh Pemerintah kolonial Belanda didalam mengamankan Proyek ambisius Tanam Paksa (cultuurstelseel) awal abad XX.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah lahirnya UU Perkebunan yang bertujuan memberikan kepastian usaha perkebunan (suasana kebatinan/geistlichen hintergrund), penerapan UU menimbulkan problematika.
Pertama. Paradigma didalam melihat UU Perkebunan dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Mahfud, MD[9] dalam Disertasinya telah menyatakan UUPA salah satu UU yang termasuk dalam klasifikasi sebagai UU yang responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung Nasution menyatakan UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. MK kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad)[10]. Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan dari uraian paparan yang telah disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist) kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).
Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu uji terhadap UU sektoral.
Kedua, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan sektoral
Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan.  Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan demikian, maka Ketentuan UU Perkebunan memunculkan sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati.
Dalam praktek peradilan pidana, pendapat hakim Dr . Salman Luthan, S.H,M.H. (dissenting opinion) ddalam putusan No 1475/K/Pid.Sus/2010 menarik untuk didiskusikan.
”persoalan kelebihan lahan dari PTPN III seluas lahannya 5360 Ha tetapi pada pengukuran tahun 2007 luasnya menjad i 6463,78 Ha, berarti ada pertambahan luas lahan seluas 103,78 Ha tidak dapat diterapkan pasal 21 junto pasal 47 UU Perkebunan[11]
Sedangkan didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 371/K/Pid.Sus/2011, pelakunya adalah Direktur CV Putra Parahyangan Mandiri dijatuhi pidana dengan menyuruh melakukan tindakan penambangan di kawasan perkebunan, tindakan penambangan itu bertentangan/melanggar undang-undang perkebunan.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1580/Kr/Pid.Sus/2009, terdakwa dipersalahkan karena memberikan perintah tanpa memberikan pengarahan sehingga terjadinya kebakaran hutan di areal perkebunan.
Namun Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Kasasi No 2554/K/Pid.sus/2009, kemudian membebaskan terdakwa disebabkan terdakwa tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan (vrijpaark). Sedangkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 590/K/Pid.Sus/2007, melepaskan terdakwa dari segala tuntutan (onslaag van vervolging) dengna pertimbangan, perbuatan yang dilakukan Terdakwa bukan merupakan suatu kejahatan maupun pelanggaran melainkan merupakan suatu masalah dalam ruang lingkup Hukum Perdata.
Dengan dicabutnya Pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan maka,tidak terdapat “means rea” atau “kehendak jahat” sehingga dengan demikian asas “geen straf zonder schul beginsel” atau “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea” tidak terbukti.
Sehingga sudah sah dan pantas menurut hukum apabila orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan Ia patut dinyatakan tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana (“als verdachte wordt aangemerkt degene te wiens aanzien uit feiten of omstadigheden een redelijk vermoeden van achuld aan eenig strafbaar feit voorvloit”).
Namun dicabutnya pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan tidak serta merta, penerapan hukum pidana terhadap petani yang memperjuangkan tanahnya akan selesai. Pasal 310 KUHP, Pasal 317 KUHP (Pencemaran Nama Baik), Pasal 335 KUHP (Perbuatan tidak menyenangkan), pasal 170 KUHP, pasal 187 KUHP (Melakukan kekerasan dimuka umum dan melakukan kekerasan terhadap Benda), Pasal 212 KUHP, pasal 218 KUHP (Melawan perintah petugas yang berwenang dan melawan perintah bubar) akan senantiasa mengintai dan mengintip pejuang demokrasi. Belum lagi akan diterapkan UU No. 12 Tahun 1951 (Larangan Memiliki dan Membawa Senjata Api dan Senjata Tajam tanpa izin), UU No. Tahun 1998 (Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umum)

Rekomendasi
Dengan memperhatikan potensi sumber daya alam yang ada di Provinsi Jambi, konflik yang telah dan akan terjadi, merupakan perjalanan panjang untuk menyelesaikan problema konflik yang ada di Jambi. Terlepas dari berbagai upaya advokasi yang telah dilakukan berbagai kelompok yang peduli dan mendampingi kasus-kasus yang selama ini terjadi, peran partai sebagai penyambung suara rakyat harus menemukan momentum untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Di saat momentum yang diharapkan rakyat kepada partai yang ingin bekerja dan berbuat untuk rakyat telah dipercayakan kepada rakyat, amanah itu harus diutamakan diatas kepentingan kelompok, golongan ataupun kepentingan politik jangka pendek.




[1] Advokat, Tinggal di Jambi
[2] Dirattanhun, POTENSI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHARAI BAKU BIODIESEL, www.ditjenbun.deptan.go.id, 31 July 2008
[3] Data-data yang tersedia adalah data-data yang telah dimuat di berbagai media massa. Data-data yang berhasil dihimpun yang kemudian penulis analisis hanyalah data-data pendukung untuk memperkuat argumentasi yang hendak dipaparkan.
[4] Harian Posmetro, Jumat, 21 Januari 2011
[5] catatan PIL-Net, hingga medio 2010, telah ada 106 kasus kriminalisasi petani berhadapan dengan sejumlah perusahaan kakap.  LSM Sawit Watch menunjukkan ada 514 kasus di 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009. Sedangkan di semester pertama 2010, tercatat 608 kasus.
[6] Para terdakwa dengan hukuman 3 bulan 20 hari
[7] http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/02/brk,20110202-310768,id.html
[8] http://www.antaranews.com/berita/1282304502/uu-perkebunan-digugat

[9] Disertasi Mahfud, MD kemudian terbit menjadi buku yang berjudul, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
[10] Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003
[11] Tafsiran bebas dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 1475/K/Kr/2010