09 Juni 2012

opini musri nauli : PERKEMBANGAN PASAL KUHP



Dalam dialog diskusi informal terbatas, penulis kaget ketika seorang advokat berapi-api menolak penerapan pasal KUHP dalam sebuah perkara pidana. “kekagetan” penulis bukan karena semangat pembelaan dari advokat “membela” klien. Sama sekali tidak. Tapi karena pasal yang disebutkan ternyata tidak berlaku lagi.

Setelah penulis sampaikan pasal yang disebutkan ternyata telah dicabut oleh MK, advokat tersebut sama sekali kaget. Semua argumentasi yang telah disampaikan sudah menjadi bahan pertimbangan bagi MK. MK sudah memutuskan perkara pengajuan pasal KUHP dan kemudian sudah dicabut.


Peristiwa ini mengingatkan ketika Mahkamah Agung (MA) menolak Permohonan Kembali (PK) Eggi Sudjana (Kasus Penghinaan Presiden, Yusril: Eggi Sudjana, Sudah Tak Bisa Dipidana,  Detikcom, tanggal  09 September 2011).


Eggi Sudjana sebelumnya mengajukan judicial review pasal Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP kepada MK. MK berdasarkan putusan 013-022/PUU-IV/2006 kemudian menyatakan  pasal Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun Mahkamah Agung (MA) menolak Permohonan Kembali (PK) Eggi Sudjana


Kasus ini bermula ketika pengacara Eggi Sudjana pada 3 Januari 2006 silam menyatakan rumor pemberian mobil Jaguar kepada sejumlah pejabat tinggi di negeri ini di kantor KPK. EggI menyebut-nyebut nama Presiden SBY ikut menerima mobil mewah tersebut.


Gara-gara pernyataannya ini, Eggi harus merasakan kursi panas pengadilan. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap presiden. Atas perbuatannya itu Eggi diganjar hukuman 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan.


Gara-gara pernyataannya ini, Eggi ditetapkan jadi tersangka hingga akhirnya divonis pengadilan. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap presiden. Oleh hakim PN Jakarta Pusat, Eggi dipidana penjara selama 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan.


Eggi pun melawan putusan tersebut. Berupa banding hingga kasasi. Namun usaha Eggi tetap kandas. Dia pun memohon permohonan luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).


Kejadian serupa terjadi di Polres Jakarta Utara. Dua pengacara publik LBH Jakarta, Tommy Albert Tobing dan M Haris Barkah menjalankan pemeriksaan di Polres Jakarta Utara (Jakut). Mereka berdua ”diperiksa sebagai tersangka” karena dianggap telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Kapolres Jakut Akui Jajarannya Kurang Pengetahuan Soal Putusan MK, Hukumonline, Kamis, 30 July 2009). Padahal Pasal 31 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah dicabut oleh MK.


Yang lebih unik juga terjadi ketika Teguh Samudera, yang melaporkan Luthfie ke Polda Metro Jaya. Dalam laporannya ke polisi, Teguh mencoba menjerat Luthfie dengan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum dan Pejabat Pemerintah Negara Indonesia (Hukumonline, Jumat, 06 June 2008). Pasal yang digunakan Teguh adalah Pasal 154 jo. Pasal 155 ayat (1) jo. Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal kedua pasal itu sudah dicabut MK.

Ketika diberitahu mengenai hal ini, Teguh malah mengatakan pasal itu belum dicabut. "Menurut saya belum dicabut," ujarnya kepada hukumonline.


Berbagai peristiwa yang telah penulis paparkan membuktikan penegak hukum masih sibuk berkutat dengna KUHP tanpa melihat konteks perkembangan zaman. Berbagai pasal-pasal KUHP telah dipertimbangkan oleh MK. Bahkan berbagai pasal-pasal KUHP sudah dicabut oleh MK sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat.


Dimuat di Posmetro, 20 JUni 2012


http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/5551-perkembangan-pasal-kuhp.html?device=xhtml