07 Juni 2012

opini musri nauli : PUTUSAN MK TERHADAP WAMEN



Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-IX/2011 telah memutuskan persoalan yang menjadi persoalan yang menarik perhatian. Posisi Wakil Menteri yang menjadi persoalan konstitusi.
Dalam permohonannya, para pemohon yang disampaikan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) menyampaikan keberatan pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang jabatan Wakil Menteri. Permohonan ini kemudian memantik dan menarik perhatian nasional.

Dalam salah satu putusannya MK menyatakan, Penjelasan Pasal 10 diputuskan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Penjelasan pasal 10 tersebut berbunyi, "Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet." Mahkamah Konstitusi menilai penjelasan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum.

Dengan mengutip putusan MK, maka terhadap jabatan Wakil Menteri menjadi status quo.
Kondisi status quo berarti wakil menteri tidak dapat menjalankan tugasnya selama presiden belum mencabut Keputusan Presiden soal pengangkatan mereka yang dianggap MK inkonstitusional.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan bahwa pada dasarnya, jabatan wakil menteri sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara adalah konstitusional, sah, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Di pasal tersebut tertulis, "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu. MK mencabut penjelasan pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008

Menurut Yusril Ihza Mahendra (YIM), putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi posisi wakil menteri saat ini. Salah satunya, secara materiil, keberadaan wakil menteri (wamen) kini sudah tidak ada lagi, atau bahwa mereka tidak boleh melakukan kegiatan dan tindakan apa pun atas nama jabatan tersebut.

Namun secara formal, wakil menteri tetap ada sampai Presiden secara resmi memberhentikan mereka. Keberadaan wakil menteri versi baru sebagai anggota kabinet akan muncul setelah Presiden memperbaiki  peraturan presiden yang mengatur wakil menteri, yang isinya harus disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). (Kompas, 5 Juni 2012)

Suara dari Istana disampaikan, Keppres mengenai Wakil Menteri akan terbit. Kompas, 5 Juni 2012)

Namun Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana tetap bekerja meskipun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan jabatan wakil menteri dalam keadaan status quo (kompas, Rabu, 6 Juni 201120
http://nasional.kompas.com/read/2012/06/06/13142631/Pascaputusan.MK.Denny.Indrayana.Tetap.Bekerja

MEMBACA PUTUSAN MK

Putusan MK memberikan gambaran pandangan konstitusi mengenai jabatan Wakil Menteri. Pemerintahan SBY ”seakan-akan” diajarkan bagaimana mengelola negara, mengatur jabatan publik dan memberikan penjelasan secara rinci (rigid) pandangan konstitusi mengenai hak Presiden didalam UUD 1945.

Didalam pertimbangannya, MK merumuskan ”pengangkatan wakil menteri itu boleh dilakukan oleh Presiden”. Sedangkian Pasal 10 UU 39/2008 yang menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”, merupakan ketentuan khusus dari Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 2008.

Namun, pengaturan yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang  didalam praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi. Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru.

Padahal menurut Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, tanggal 19 Oktober 2005 yang kemudian dimuat pula di dalam Lampiran II angka 177 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, “Penjelasan ... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.

MK menyatakan pendapat, persoalan legalitas jabatan Wakil Menteri mengakibatkan Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent).

Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri.

Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional

Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan.

Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri.

Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan.

Atau dengan kata lain, timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang

Dengan pertimbangan inilah, maka kemudian menyatakan ”penjelasan pasal 10 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”.

Berangkat dari putusan MK, maka terhadap jabatan wakil Menteri menjadi persoalan dalam tataran ketatanegaraan. Juru bicara dan YIM menganggap posisi wakil menteri menjadi status quo dan tidak boleh menjalankan tugasnya. Sementara Istana dan Denny Indrayana tetap bekerja sambil menunggu Keppres.

IMPLIKASI PUTUSAN MK

Dengan merujuk putusan MK, tafsiran terhadap putusan MK menimbulkan problematika dalam tataran ketatanegaraan. Dalam tafsiran yang disampaikan oleh juru bicara MK dan YIM, jabatan Wamen harus status quo. Sedangkan istana dan DI tetap bekerja dengan alasan sambil menunggu Keppres.

Dalam pertimbangannya, MK sudah mengingatkan terhadap jabatan Wakil Menteri didalam ketatanegaraan.

Putusan MK menimbulkan persoalan di satu sisi. Apakah jabatan Wakil Menteri akan diisi oleh birokrat karir atau jabatan politis (sama dengan jabatan Menteri).

Dalam praktek ketatanegaan, jabatan Wakil menteri yang akan diisi oleh birokrat karir akan menjadi salah satu jalan mulus meraih jabatan tertentu dengan mengabaikan kompetensi dan kemampuan personal. Jabatan Wamen kemudian menjadi polemik  (baik karena kompetensi, kemampuan personal) dan menjadi beban politik yang harus ditanggung oleh pemerintahan.

Sementara jabatan Wamen yang akan diisi sebagai jabatan politik, akan ”berkesan” bagi-bagi kekuasaan setelah jabatan berbagai staf khusus, staf ahli diberikan kepada tim sukses terhadap pendukung kekuasaan.

Dimuat di Harian Jambi Ekpress, 9 Juni 2012