15 Juli 2012

opini musri nauli : CATATAN HUKUM POLEMIK TANAH PEMPROV VS ZN



Beberapa waktu yang lalu, kita “dihebohkan” polemik tanah antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan Mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin (ZN). Penulis sengaja memberikan “istilah” polemik menggantikan istilah konflik selain didasarkan masih “perdebatan kata-kata” di media massa juga didasarkan, perdebatan belum masuk ke ranah hukum dan belum memberikan impak dan “kehebohan” di tengah masyarakat.

Kedua belah pihak mempunyai alasan yang kuat baik Pemprov yang mengklaim memiliki sertifikat hak pakai disisi lain maupun pihak ZN yang memiliki sertifikat hak milik. Namun tanpa memasuki wilayah teknis dan menentukan siapa yang paling berhak dan paling benar dalam perkara ini, ada beberapa catatan penting agar persoalan ini tidak bergeser dari substansi.

Dalam pasal 16 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), telah ditentukan (a) hak milik, (b). hak guna-usaha, ©. hak guna-bangunan, (d). hak pakai, (e). hak sewa, (f). hak membuka tanah, (g). hak memungut-hasil hutan. Pasal 20 ayat (1) telah ditegaskan “Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah”. Melihat rumusan pasal 16 dan pasal 20 UUPA maka klaim hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak pakai dapat diterima. MK dalam berbagai putusannya telah menegaskannya.

Namun yang dilupakan bahwa hak milik bukanlah hak yang mutlak (absolutisme). Sebagaimana didalam pasal 6 dinyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. UU No. 2 Tahun 2012 menegaskan. Kemudian Negara berdasarkan kewenangan didalam rumusan pasal 33 UUD 1945 “hak menguasai negara” dapat saja mencabut hak milik seseorang. Rumusan pasal 33 UUD 1945 inilah yang menjadi semangat dan roh dan pondasi penting didalam UUPA terutama pasal 6.

Rumusan semangat pasal 33 telah ditegaskan oleh MK  Dalam implementasinya, MK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003 kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945 merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi Indonesia dengan negara-negara liberalisme.

Dengan melihat rumusan berbagai ketentuan yang mengatur tentang hak milik, maka perbuatan yang nyata-nyata bertentangan dengna hukum dapat dikategorikan sebagai
Perbuatan melawan hukum penguasa (onrecht matige overheidsdaad).

Sementara mengenai Hak pakai dapat dilihat didalam rumusan Pasal 41 ayat (1) “Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini”. Rumusan hak pakai merupakan turunan dari Hak menguasai negara (HMN). Konsep ini berbeda dengan konsep Hak menguasai Negara (domein verklaring) pada pelaksanaan agrarish wet peninggalan kolonial Belanda. UUPA yang menggantikan Agrarische Wet 1870 dengan prinsip domein verklaringnya menyatakan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, tanah dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda.

Hak pakai yang menjadi rumusan inilah yang menjadi pegangan negara dalam konsep hak menguasai negara (HMN) dalam rumusan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2) tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4) pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan melihat rumusan yang dimaksudkan, maka Hak pakai merupakan hak yang diberikan oleh hukum kepada negara.

Jadi dengan melihat rumusan hak milik dan hak pakai sebagaimana menjadi alas hak kedua belah pihak, maka pernyataan yang mengatakan hak milik lebih kuat daripada hak pakai tidak dapat dijadikan alasan argumentasi dalam berhadapan di muka pengadilan. Tentu saja pengadilan akan mempertimbangkan periode waktu penerbitan hak milik dan hak pakai yang menjadi alas hak kedua belah pihak.

Selain itu juga termasuk cara mendapatkan baik dengan cara-cara yang ditentukan hukum (dengan cara membeli, ganti rugi, pembebasan lahan, ruislag) menjadi bahan yang penting dan bahan argumentasi bagi kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus dapat menentukan alas haknya.

Dengan melihat rumusan yang telah dijelaskan, menjadi tanggung jawab Badan Pertanahan Negara untuk melihat “benang kusut” dari polemik. Tanpa memasuki wilayah teknis peradilan, peran BPN sangat menentukan untuk mencari akar “benang kusut”.


Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 17 Juli 2012..