20 Juli 2012

opini musri nauli : Catatan Hukum Putusan MK tentang Kehutanan





Lagi-lagi MK mengabulkan permohonan para pihak dalam mengadili perkara UU Kehutanan (Judicial reviuw). Setelah sebelumnya heboh yang memutuskan pasal 1 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999, MK kemudian pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. Terlepas dari perdebatan dan substansi yang telah diputuskan oleh MK, beberapa catatan yang disampaikan oleh MK menarik untuk memperkaya kita mengenai pemahaman konsep “Hak menguasai negara” dalam rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Putusan dalam perkara Nomor 34/PUU-IX/2011 kembali menegaskan putusan MK yang berkaitan dengan “hak menguasai negara”. Sebagaimana didalam berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan “hak menguasai negara”, putusan  MK Nomor 34/PUU-IX/2011 didasarkan kepada Mahkamah dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menegaskan “perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumbersumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perspektif konstitusi didalam melihat dan memandang hutan dapat dilihat dalam pertimbangan MK (legal reasioning) yang menganggap bahwa “negara harus mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah kawasan hutan dengan tujuan diurusdan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.  

Putusan MK juga didasarkan kepada  Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, yang menegaskan  “Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan”.

Yang menarik adalah bahwa pertimbangan Putusan Nomor 32/PUU-VIII/2010 juga menjadi sandaran putusan Nomor 34/PUU-IX/2011. Didalam pertimbangan putusan MK ditegaskan  “penggunaan kata “dengan memperhatikan” dalam Pasal 10 huruf b UU 4/2009 sebenarnya memiliki makna imperatif yang menegaskan bahwa Pemerintah, saat menetapkan WP, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [vide Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945].

Dengan melihat rumusan pertimbangan yang digunakan, maka MK kemudian kembali “menegaskan” hak menguasai negara yang dirumuskan “kewenangan Pemerintah menetapkan suatu kawasan adalah salah satu bentuk “penguasaan negara atas bumi dan air yang didasarkan kepada ketentuan hukum dan memperhatikan hak-hak masyarakat terlebih dahulu termasuk hak hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.

MK didalam putusannya, selain  UU Kehutanan hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat, padahal seharusnya juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. MK kemudian menegaskan  dalam wilayah tertentu dapat saja terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak- hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah diakui.

Dengan melihat rumusan pertimbangan MK, maka MK kembali menegaskan, tentang hak menguasai negara dan hak perseorangan sebagai identitas yang khas yang menjadi kepastian hukum terhadap hak. Putusan ini menurut penulis merupakan jalan tengah sehingga putusan MK yang tetap menganggap pasal ini tidak bertentangna dengan konstitusi namun harus diberi tafsiran konstitusional atau norma bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)

Catatan penting selanjutnya adalah, MK kembali berpihak kepada kepentingan dan pengakuan hak-hak perseorangan vis hak menguasai negara. Rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai ciri khas dari negara sosialisme Indonesia, haruslah diletakkan dengan konteksnya.

Fugsi MK menjadi lembaga penyeimbang sesuai dengan prinsip check and balances, menjadi penjamin terpenuhinya hak konstitusional warganegara serta melindungi warganegara dari UU yang dapat menimbulkan kerugian konstitusional, sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution) berhasil melewati periode genting dalam tarik menarik antara Hak menguasai negara disisi lain dan penghormatan dan perlindungan hak perseorangan di sisi lain. Dalam berbagai putusan MK baik yang berkaitan dengan hak menguasai negara dan penghormatan hak perseorangan telah meletakkan pondasi penting dari kesewenang-wenangan negara (onrechtmatig overdaad). Pondasi sengaja diletakkan oleh MK dan MK tetap konsisten dengan berbagai putusannya (yang dapat dilihat dari berbagai pertimbangan MK).

Dari ranah inilah, penulis berkeyakinan, MK telah menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus melekat sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution).

Baca : Kekeliruan menafsirkan "alat bukti", "barang bukti" dalam perkara pidana

Dimuat di Harian Posmetro, 20 Juli 2012

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/7254-catatan-hukum-putusan-mk-tentang-kehutanan.html