27 Juli 2012

opini musri nauli : PEJABAT DAN KORUPSI



Akhir-akhir ini, media massa membombardir berita-berita yang berkaitan dengna pejabat atau mantan pejabat yang “ramai-ramai” dituduh korupsi. Media massa seakan-akan berlomba mengabarkan tuduhan korupsi kepada para pejabat atau mantan pejabat dengan mendasarkan semakin menguaknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau mantan pejabat. Berita ini melengkapi pada bulan April terhadap beberapa mantan kepala Daerah yang dituduh berkaitan dengan kasus DAMKAR. Sehingga harus diakui, pada periode ini, Kejaksaan Tinggi memang terbukti mampu memainkan perannya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Dari sisi ini, kita harus memberikan apreasiasi terhadap kinerja Kejaksaan Tinggi setelah sebelumnya masih berkutat dan berputar-putar terhadap proses penyelidikan kasus korupsi.

Konsentrasi publik “digiring” kepada pertanyaan “Apakah pejabat akan dilakukan penahanan ? Atau pertanyaan semakin menukik, kapan pejabat akan ditahan ?

Tanpa memasuki wilayah yang masih sering diperdebatkan, persoalan yang paling sering menjadi perhatian dan menjadi polemik berkaitan dengan penangkapan dan penahanan. Sebenarnya wilayah ini merupakan wilayah yang mudah dapat dilihat di ketentuan yang berkaitan dengna hukum acara pidana namun sering menjadi persoalan politik yang bias dan menjadi persoalan jamak didalam pembahasannya.

Kewenangan mengenai penahanan sudah diatur didalam KUHAP.  Menurut teori dikenal dengan kewenangan penahanan subyektif dan kewenangan penahanan obyektif. Kewenangan penahanan obyektif dilihat didalam rumusan pasal 21 KUHAP yang pada pokoknya penahanan diperlukan terhadap tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih atau tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Sedangkan kewenangan penahanan subyektif ditandai dengan rumusan kalimat seperti “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Dengan melihat rumusan yang sudah ditentukan didalam KUHAP, maka tidak menjadi polemik apakah penyidik melakukan penahanan atau tidak.

Namun menjadi persoalan yang serius apabila tidak adanya persamaan dimuka hukum (equality before the law). Dalam satu perkara, para tersangka diperlakukan berbeda. Ada yang ditahan atau ada yang tidak ditahan. Penulis berpendapat, ini salah satu polemik yang menjadi persoalan dimuka hukum.

Dimuat di Harian Tribun Jambi, 28 Juli 2012

Advokat, tinggal di Jambi