30 Juli 2012

opini musri nauli : Ramai Mantan Pejabat Jadi Tersangka


JAMBI – Pejabat menjadi tersangka kasus korupsi setelah tidak menjabat lagi seperti sudah menjadi tradisi. Di Jambi, sejumlah mantan pejabat sudah merasakannya. Sebut saja di antaranya, mantan Bupati Kerinci Fauzi Si’in, mantan Bupati Tanjabtim Abdullah Hich, mantan Bupati Tebo Madjid Mu’az, mantan Wali Kota Jambi Arifien Manap, mantan Bupati Muarojambi As’ad Syam dan mantan Wakil Bupati Muarojambi Muchtar Muis.

Lalu, ada mantan Sekda Provinsi Jambi era Zulkifli Nurdin, AM Firdaus, mantan Sekda Merangin Arfandi, mantan Penjabat Wali Kota Sungaipenuh Hasvia, dan mantan Rektor Unja Kemas Arsyad Somad.

Pengamat hukum dari Unja Sahuri Lasmadi mengatakan, aparat di Jambi terlalu mudah diajak negosiasi. Sehingga, acapkali seorang pejabat dengan sangat mudahnya mengintervensi aparat sehingga tidak berdaya. “Antara bupati dan aparat seringkali terjadi sebuah simbiosis mutualisme. Saling ketergantungan dalam hal bisnis. Maka wajar seorang bupati bisa saja melakukan barter dengan aparat hukum,” ujarnya.

Aparat hukum dinilainya sangat tidak berdaya berhadapan dengan pejabat setingkat bupati. “Bukankah mobil dinas kejaksaan dan kepolisian itu merupakan pemberian dari Pemda?” ujar dosen Magister Hukum Unja ini.

Nah, setelah pejabat tersebut tidak lagi berkuasa, barulah aparat berani menindaknya. Sebab, sudah tidak ada lagi yang dapat dibarter. “Sudah tak punya kekuatan lagi,” ujarnya.

Sahuri tidak menampik proses penegakan hukum di Jambi masih tebang pilih. Bahkan cenderung tumpul ke atas dan tajam ke bawah. “Seharusnya, aparat jangan punya kepentingan dengan penguasa. Tak usahlah main golf dan tenis bersama-sama. Aparat seharusnya tidak perlu bergaul dengan pejabat yang korup,” ujarnya.

Fenomena pejabat melakukan korupsi di Jambi memang terbilang tinggi. Setidaknya, dalam pandangan Sahuri, ada dua faktor yang menyebabkan para pejabat melakukan korupsi pada saat berkuasa tersebut.

Pertama, karena sistem. “Budaya upeti dan setoran dari bawahan untuk atasan yang masih saja terjadi. Budaya upeti ini, mendorong seseorang untuk mendapatkan uang dari cara apapun. Misalnya, kepala dinas harus nyetor tiap bulan kepada bupati,” jelasnya.
Yang kedua, kata Sahuri, korupsi terjadi karena mental pejabat yang memang sudah rusak. Karena tak punya integritas, pejabat seenaknya merampok uang negara saat ada kesempatan. “Dimana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang,” ujar Sahuri.

Ia menilai, tingginya penyimpangan yang dilakukan pejabat, karena sikap serakah yang menempel pada jati diri. Selain itu, peluang terjadinya korupsi karena aparat penegak hukum tak punya bargaining.

Pengamat hukum lainnya, Musri Nauli punya pandangan berbeda. Ia menilai praktek korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat setingkat kepala daerah itu membuktikan bahwa mereka memang tak punya kualitas dan rekam jejak yang baik. “Terbukti, ketika pilkada, kita memilih “pemain” yang idol, populer, tanpa melihat kualitas rekam jejak. Wajar ketika jadi bupati, dia korup,” tegasnya.

Parpol dinilainya juga punya peran dalam menentukan kualitas seorang pejabat.

Sebab, kata dia, melalui parpol seseorang bisa menduduki posisi penting, seperti bupati. Fenomena yang terjadi di Jambi, partai tidak mempersiapkan kader terbaiknya. Banyak kutu loncat. Sehingga, kualitas kepemimpinannya memang sangat diragukan ketika dia memimpin. “Kalau pejabat itu punya integritas, kata Musri, pasti akan menolak melakukan korupsi. Dia pasti tidak akan mengambil yang bukan haknya,” ujarnya.

Advokat muda ini berpendapat, fenomena mantan pejabat ramai terjerat hukum ini mengindikasikan jika mereka sudah terjerumus dalam kehidupan hedonis. Wajar, setelah berkuasa, seenaknya memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri yang mendorong mereka berlaku curang. “Tingginya ongkos politik ketika pilkada menjadi motif tersendiri para kepala daerah melakukan korupsi. Mereka terpaksa merampok uang negara untuk membayar utang pada saat pilkada. Segala cara dilakukan,” ujarnya.

Guru besar Fakultas Hukum Unja Prof. Johni Najwan berpendapat, adanya ewuh pakewuh antara aparat dengan pejabat mendorong lemahnya penegakan hukum. “Seringkali, seorang bupati yang benar-benar terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terpaksa diulur-ulur hingga masa kerja berakhir. Ada rasa sungkan. Makanya seringkali mereka (aparat penegak hukum) menunggu hingga lengser,” ujarnya.
Padahal, kata dia, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa seorang kepala daerah tidak tersentuh hukum. “Secara norma, sesuai aturan, tidak mesti harus pensiun dulu,” ujarnya.

Seharusnya, kalau memang salah, harus dihukum walaupun masih menjabat. “Penegak hukum tidak boleh pilih-pilih tebang,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, dari aspek hukum yang termaktub dalam UU Nomor 31 tahun 99 tentang Korupsi, seeorang dikatakan korupsi, karena dia melakukan perbuatan melawan hukum, menimbulkan kerugian negara, memperkaya diri dan orang lain. Dan ini harus berlaku secara komulatif. Tidak cukup satu unsur yang terpenuhi,” tandasnya.

http://jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=16548:ramai-mantan-pejabat-jadi-tersangka&catid=5:hukkrim&Itemid=7

Baca : PEJABAT DAN KORUPSI