27 November 2012

opini musri nauli : Belajar dari sang supir (Lagi-lagi Jokowi)


BELAJAR DARI SANG SUPIR
(Lagi-lagi Jokowi)


Pelajaran memang didapat dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Hari Jumat pagi, penulis mendapatkan pelajaran penting yang justru tidak (mungkin belum) didapatkan dari literatur.

Pembicaraan dimulai ketika setelah dari Palangkaraya (menghadiri kegiatan nasional sebuah organisasi), turun di Jakarta, kemudian menyewa kendaraan. Setelah tawar menawar harga, hitung-hitungan (karena naik bersama-sama) dan dianggap murah, kemudian OK. Penulis kemudian bersama dengan beberapa teman kemudian naik mobil avanza.

Biasalah. Sembari menyusuri jalan tol yang sudah macet, pembicaraan dibuka. Pembicaraan dimulai biasanya dengan issu terkini dan paling dekat dengan masyarakat. Dan yang paling hangat mengenai Jokowi. Kemenangan Jokowi. Maka pembicaraanpun berlangsung.

Kemarin Milih Jokowi, Mas ? Ya. Pas putaran kedua. Putaran pertama milih Hidayat. Putaran kedua milih Hidayat karena dari Partai bersih. Hm.. Tidak perlu perdebatan panjang kenapa milih Hidayat selain karena itu hak, juga pandangan seseorang tidak perlu didiskusikan.

Diskusi mulai mengalir. Sudah dapat kartu sehat ? Kartu Pintar ?... Sudah !!!. Lalu, sembari menyetir dia bercerita. Sebagai orang Jawa, saya mendapatkan informasi bahwa Jokowi telah belajar “managemen alam”. Dan “managen alam” belajar di Solo. Wah, pelajaran baru nih.

Di dunia ini kita mengenal ada energi positif dan ada energi negati. Energi positif adalah energi yang bisa memberikan kehidupan kepada manusia. Sedangkan energi negatif adalah energi yang harus dibuang dari manusia. Energi positif dan energi negatif tidak dapat disatukan. Bagaimanapun energi negatif harus dijadikan energi positif agar tidak merusak dan menggganggu kehidupan manusia.

Sebagai contoh. Pelacuran dan prostitusi merupakan energi negatif. Dia tetap dan harus ada. Energi ini tidak bisa dihilangkan karena apabila dihilangkan, maka energi ini akan mengganggu manusia dan manusia akan rusak.

Maka energi negatif harus dikendalikan. Harus diatur. Harus dipisahkan dari energi positif. Walaupun energi negatif tapi apabila dikendalikan, diatur dan dipisahkan tapi harus mengeluarkan energi positif.

Agar energi negatif dikendalikan, diatur dan dipisahkan dari energi positif dan bisa menghasilkan energi positif maka energi negatif kemudian ditempatkan agar tidak mengganggu energi positif manusia. Maka harus dicarikan tempat yang terpisah dari tempat energi positif.

Tempat pelacuran dan tempat perjudian merupakan tempat yang memisahkan energi negatif daripada energi positif. Tempat pelacuran dan tempat prostitusi merupakan pembuangan dari energi negatif. Sebagai tempat pembuangan energi negatif namun tetap bisa menghasilkan energi positif. Maka tempat pelacuran dan tempat prostitusi yang membuang energi negatif bisa menghasilkan energi positif, maka ada pasar, ada rumah makan, ada warung, ada berbagai kebutuhan lainnya. Jadi. Walaupun tempat pelacuran dan tempat perjudian dimana pembuangan energi negatif, namun tetap menghasilkan energi positif. Dalam kajian ekonomi, akan menggerakkan ekonomi. Pasar berkembang, rumah makan akan penuh dan berbagai aktivitas ekonomi tergerak.

Orang yang masuk ke tempat pelacuran dan ke tempat perjudian akan menghabiskan uangnya. Sementara orang didalamnya, memegang uang tidak akan lama. Karena uang itu panas, maka uang itu harus cepat-cepat dihabiskan. Uang itu harus cepat dibelanjakan. Maka orang yang masuk karena banyak menghabiskan uangnya, sedangkan orang yang didalam cepat menghabiskannya, maka uang yang keluar dibelanjakan. Membelanjakan uang tersebut kemudian menghasilkan energi positif.

Dengan perumpaan seperti itu, hampir bisa dipastikan, setiap putaran uang didalam dunia malam seperti perjudian dan pelacuran memang luar biasa. Saya meyakini, putaran duit dalam dunia hiburan hampir dipastikan trilyunan rupiah/malam. Hmm. Saya pernah baca tulisan ini, tapi lupa dimana sumber yang menyampaikan tulisan ini.

Kemudian sang Supir bercerita. Setelah tempat perjudian dan tempat pelacuran ditutup di Jakarta (maksudnya Kramat Tunggak), maka perekonomian menjadi lesu. Sebagai supir, sebelum tutup Kramat Tunggak (tahun 1992), hanya menjadi tukang parkir bisa mendapatkan Rp 120 ribu/malam (Hm.. sebentar. Tahun 1992 mendapatkan Rp 120 ribu luar biasa. Saya ingat. Tahun 1992 SPP kuliah hanya Rp 105 ribu. Jadi apabila dikonversi sekarang, apabila menjadi tukang Parkir bisa mendapatkan Rp 2 jutaan semalam. Hmm. Masuk akal).

Dengan bercerita tentang energi positif dan energi negatif dan kemudian energi negatif yang bisa menghasilkan energi positif, maka menunjukkan Jokowi memang menguasai “managemen alam” (kembali ke pembicaraan Jokowi). Jokowi memang belajar di Solo. Sehingga ketika Jokowi maju menjadi Walikota Solo “memang Jokowi” cukup diterima masyarakat. Jokowi dianggap sudah “mumpuni” menguasai “managemen alam”. Sehingga kemenangan fenomenal Jokowi sebagai Walikota Solo pada putaran kedua dianggap merupakan bagian dari hasil menguasai “managemen alam”. Dan tanpa babibu, Kemenangan Jokowi dalam pilkada Jakarta pada putaran pertama saja bisa menjungkalbalikkan berbagai prediksi lembaga-lembaga survey. Kemenangan telak dan kemudian bisa menjadi Gubernur DKI.

Tentu saja tidak semua penjelasan yang disampaikan oleh Sang Supir bisa diterima oleh penulis. Terlepas dari berbagai argumentasi yang bisa menjelaskan kemenangan Jokowi, namun tulisan yang disampaikan sekedar menceritakan. Bagaimana alam pemikiran, alam kesadaran dan penjelasan dari sang Supir bisa menangkap bagaimana “managemen alam” bisa mengendalikan kehidupan manusia. Dan kehidupannya kemudian harus ditangkap untuk menjelaskan gejala-gejala alam dengan pengetahuan modern.