28 Desember 2012

opini musri nauli : Dugaan pembunuhan berencana di rumah sakit




Akibat keteledoran pengelola Rumah Sakit Harapan Kita yang mengizinkan syuting sinetron di ruang ruang intensive care and critical unit (ICCU), seorang anak yang tengah dirawat meninggal dunia.

Seorang bocah bernama Ayu Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) RS Harapan Kita. Ironisnya Ayu meninggal saat ruangan di sekitar rumah sakit digunakan untuk keperluan syuting Film Love in Paris. Menurut keterangan keluarga, Ayu meninggal karena pembuluh darahnya pecah.
Namun, Ketika sedang dirawat di ICCU rumah sakit ternyata ruangan itu juga digunakan untuk pengambilan gambar sinetron yang tayang di SCTV tersebut. Para kru film bahkan bebas keluar masuk ruang ICCU yang harusnya streril. Malah, keluarga pasien yang hendak masuk ke ICCU hanya diperbolehkan masuk melalui pintu samping.

Demikianlah kabar yang disampaikan media massa akhir-akhir ini. Sebelum menentukan sikap terhadap Rumah Sakit Harapan Kita, maka diperlukan investitagasi yang cukup lengkap. Investigasi ini selain diperlukan untuk melihat persoalan sebenarnya, juga diperlukan dalam proses hukum.

Dalam berbagai tayangan media massa, sudah jelas “dipaparkan” bagaimana Rumah Sakit Harapan Kita “dianggap” lalai dan sibuk memikirkan syuting sinetron daripada “memberikan” perawatan maksimal Terlepas dari hasil akhir investigasi, persoalan terhadap tidak “memberikan” perawatan maksimal terhadap pasien Ayu Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) terlalu sederhana untuk “dibicarakan” internal instansi kesehatan. Banyak faktor-faktor yang dapat dijadikan bahan untuk membongkar berbagai skenario buruk dalam pelayanan.

Tanpa memasuki wilayah “urusan Kesehatan” dan cara menanganinya, persoalan ini menimbulkan akibat secara hukum. Meninggalnya Ayu Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) adalah fakta hukum yang tidak terbantahkan. Dan Tugas hukum akan mencoba akar dan benang merah untuk menentukan “siapa yang salah” dan bagaimana “pertanggungjawaban pidana”. Dari ranah ini, penulis akan memaparkan berbagai fakta-fakta yang kemudian akan dicoba hubungkan dengan teori ilmu hukum.

Kesalahan dan Pertanggungjawaban

Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Diluar dari bentuk kesengajaan (opzettelijk), kita kemudian mengenal dengan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan. Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam pasal-pasal UU Lalu Lintas.

Pembuktian apakah terhadap pelaku diterapkan berdasarkan kepada bentuk kesengajaan dilihat kepada berbagai fakta-fakta untuk melihat penerapan kesengajaan (opzettelijk).

Dengan menghubungkan teori “kesengajaan” (opzettelijk) maka kita akan coba kepada lihat fakta-fakta yang telah penulis sampaikan.

Sebagaimana didalam fakta-fakta yang telah disampaikan di media massa, ruang intensive care and critical unit (ICCU) “telah digunakan” sebagai syuting Film Love in Paris. Padahal didalam ilmu kesehatan, ruang ICCU merupakan pertolongan “penting” untuk menyelamatkan “nyawa manusia'”. Ruang ICCU merupakan rekomendasi terhadap penanganan korban ketika tiba di ruangan itu.

Begitu pentingnya ruang ini, maka didalam ruangan, selalu disiapkan baik dokter jaga maupun tenaga kesehatan yang “harus standy by” untuk menangani pertama kali terhadap korban yang sudah “kritis”. Dengan disediakan ruang ICCU dan dokter untuk menangani pertolongan pertama maka “nyawa manusia” dapat diselamatkan.

Nah, dengan begitu, apakah terhadap penanganan korban tidak dilakukan di ruang ICCU ? Tidak dilakukan standar kesehatan sehingga korban tidak berhasil diselamatkan ?

Apabila ternyata berdasarkan fakta-fakta yang berkaitan “ternyata” ruangan ICCU dipergunakan tidak untuk “kesehatan”, korban tidak mendapatkan pelayanan “penyelamatan penting”, maka harus bisa dipastikan, bahwa Rumah Sakit Harapan Kita telah “menelantarkan” dan abai dalam menyelamatkan “nyawa manusia”. Dari titik inilah, maka walaupun dalam kacamatan awan, tidak ada “keinginan” adanya terjadi korban yang meninggal, namun dalam kacamata hukum, pihak Rumah Sakit Harapan Kita telah melakukan kesalahan. Kesalahan “menelantarkan” dan tidak “memberikan pertolongan” sebagaimana mestinya, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dan dalam upaya “gagal” menolong korban dapat dikategorikan sebagai “pembunuhan berencana” ataupun “pembunuhan biasa”. Tinggal penegak hukum menentukan, apakah Rumah Sakit Harapan Kita telah melakukan kesalahan dalam kesengajaan (opzettelijk). Tinggal perkembangan fakta-fakta yang berkaitan, apakah kesengajaan dilihat dari bentuk seperti Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) atau Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn) atau Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Apakah “digunakan ruang ICCU untuk syuting” dan “kurang maksimalnya” memberikan pertolongan kepada korban “menyebabkan” matinya korban.

Pertanyaan diatas sekedar fakta-fakta yang harus dibuktikan kebenarannya agar kesalahan dapat ditentukan dan orang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kita tunggu perkembangan kasus ini. Namun yang pasti, kematian korban tidak boleh sia-sia. Harus diusut tuntas bagaimana peristiwa itu terjadi. Tidak semata-mata hanya “urusan takdir”.