03 Desember 2012

opini musri nauli : DUO JOKO

Dalam periode yang sama, duo Joko menjadi headline media massa. Joko Widodo (Jokowi) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi sorotan, selain karena program-programnya ditunggu publik memimpin DKI Jakarta, juga baru “melauncing” Kartu Sehat dan Kartu Pintar. Kartu Sehat sebagai “card” untuk masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan. Sedangkan Kartu Pintar merupakan “card” mendapatkan fasilitas pendidikan untuk masyarakat yang kurang mampu.


Jokowi kemudian menjadi sorotan media massa selain memang ditunggu-tunggu program dan “agenda kreatif”nya untuk menyelesaikan banjir, macet dan berbagai persoalan lainnya.
Berbanding terbalik dengan Joko Soesilo. Walaupun pernah menjadi Gubernur Akademi Kepolisian, namun belum usai menyelesaikan jabatannya, dia dicopot karena “dituduh” melakukan korupsi. Tuduhannya cukup serius, sehingga tuduhan yang sangat serius itu, membuat KPK dan Polri “sempat” sedikit memanas.

Penggeledahan di Kakorlantas “membuat” Polri kebakaran jenggot. KPK sebagai lembaga yang didukung oleh Kepolisian dirasakan oleh Polri sebagai “anak tidak tahu diri”. Polri kemudian menggunakan “kekuasaanya” yang kemudian “menarik” penyidiknya di KPK. Bahkan Ketua Tim Penyidik, Novel Baswedan kemudian “diungkit-ungkit” kesalahannya dan sempat “mau dijemput” untuk membungkamnya.

Bandingkan pada tahun sebelumnya. Joko Widodo yang masih “orang udik” dan sempat “diledek oleh Fauzi Bowo “mau memimpin DKI, jalan di Jakarta aja masih sering nyasar” (masih menjadi Walikota Solo) hanya menjadi issu lokal dan issu terbatas. Belum menjadi orang penting dan dibicarakan secara nasional. Bahkan partai-partai besar “ogah” mendorong Jokowi untuk menjadi Calon Gubernur DKI.

Bandingkan dengan Joko Soesilo yang sudah menjadi “orang penting” di Mabes Polri dan kariernya sedang “cemerlang”. Sedang merintis karier untuk menaiki tangga dan dipastikan akan melaju mulus.

Terlepas dari dua peristiwa tersebut, Duo Joko sempat menarik perhatian publik. Duo Joko menjadi perhatian media massa. Namun Joko Widodo dapat ditangkap sebagai dari “zero to hero”. Dari yang tidak diperhitungkan menjadi pembicaraan berbagai kalangan. Bahkan sekarang sudah dianggap sebagai “satrio piningit”, “ratu adil” yang ditunggu-tunggu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan penderitaan rakyat.

Bandingkan dengan Joko Soesilo. Dari “sang putra mahkota” yang akan dipersiapkan untuk menjadi orang penting kemudian harus “berhadapan” dengan hukuman. Jangankan “memikirkan rakyat”, bahkan sekarang sudah harus “badannya sendiri. “Hero to zero”.