23 Desember 2012

opini musri nauli : IRAMA POLITIK ANDI MALLARANGENG




Kasus Hambalang masih menyisakan catatan kecil. Apakah akan berlanjut kepada tersangka lain ataupun hanya berhenti di Andi Mallarangeng (AM)?

Membicarakan kasus Hambalang memang salah satu topik yang hangat sepanjang tahun 2012. Dimulai dari “kesaksian” M. Nazaruddin, “persoalan BBM” Anggie, hingga disebut-sebutntya nama Anas Urbaningrum dan AM. Terlepas dari akhir kasus ini yang kemudian memuncak ditetapkannya AM sebagai tersangka, pemberitaan media massa memberikan porsi yang cukup besar terhadap hal ikhwal pemberitaan Kasus Hambalang.
Setelah ditetapkannya AM sebagai tersangka, pemberitaan bergeser. Penetapan AM sebagai tersangka yang kemudian diikuti pengunduran diri AM, justu pemberitaan mengapresiasi terhadap pengunduran diri AM. Pengunduran diri merupakan langkah maju dan media massa memberitakan cukup besar.

Namun yang menarik perhatian adalah ketika saudara kandung AM, Andi Rizal Mallarangeng yang biasa dikenal Rizal Mallarangeng selain “mempersoalkan” penetapan AM sebagai tersangka juga mempersoalkan KPK yang tidak menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran (baik sebagai tersangka maupun sebagai saksi) (Kompas, Jumat, 21 Desember 2012). Alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng ini cukup serius selain karena disampaikan kepada publik, alasan ini juga harus diperhatikan secara hati-hati.

Tanpa memasuki wilayah teknis yang telah disampaikan oleh KPK, alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng harus diberi porsi yang seimbang agar alasan Rizal Mallarangeng dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Kewenangan

Alasan pertama adalah “tidak mungkin bah Hambalang keluar, apabila tidak ada yang membukanya”. Dengan alasan, tanpa persetujuan dari Dirjen Anggaran dan Menteri Keuangan yang “mencairkan” dana Hambalang, maka proyek Hambalang tidak akan terjadi korupsi.

Alasan ini sebenarnya tidak berdasar. Sebagaimana didalam teori kewenangan, dalam ilmu hukum dikenal kewenangan yang bersumber dari atribusi, delegasi dan mandat. Secara sederhana, kewenangan yang bersumber dari atribusi merupakan kewenangan yang bersumber daripada konsitusi. Disebutkannya kewenangan oleh konstitusi dapat kita lihat didalam UUD 1945. Misalnya Kewenangan Presiden, kewenangan BPK, kewenangan DPR maupun kewenangan-kewenangan lainnya yang kemudian diturunkan menjadi UU. Maka kita kemudian mengetahui kewenangan Presiden seperti “memegang kekuasaan Pemerintahan” (pasal 4 ayat (1)), mengajukan RUU (Pasal 5 ayat (1), menetapkan PP (Pasal 5 ayat (2), memegang kekuasaan terhadap angkatan perang (pasal 10), menyatakan perang (pasal 11 ayat 1), membuat perjanjian internasional (pasal 11 ayat 2) dan seterusnya.

Artinya, secara ringkas dikatakan, kewenangan yang ada pada Presiden merupakan kewenangan yang bersumber daripada atribusi.

Kewenangan kedua bersumber daripada delegasi. Secara harfiah, kewenangan ini diberikan oleh pemegang kekuasaan. Menteri merupakan penerima delegasi dari Presiden untuk menjalankan roda pemerintahan.

Dalam praktek dapat juga kita lihat didalam UU Pemerintahan Daerah. Artinya, Kepala Daerah mendapatkan kewenangana setelah adanya pembagian/penyerahan berbagai urusan dari Pemerintahan Pusat. Publik kemudian mengenal sebagai Otonomi.

Sedangkan Kewenangan ketiga bersumber dari mandat. Artinya kewenangan yang didapatkan dari person yang mempunyai kewenangan delegasi. Dalam praktek kita biasa mengenal sebuah Kepanitaan sebuah acara. Artinya terhadap sebuah kegiatan tetap menjadi tanggung jawab dari person yang mempunyai kewenangan delegasi. Namun untuk mempermudah kegiatan sebuah acara, kepanitian membantu pelaksanaannya.

Dalam praktek, pembuktian terhadap kewenangan merupakan salah satu syarat untuk melihat apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dengan mengikuti sedikit penjelasan kewenangan dan sumber kewenangan, maka kita akan mudah mengidentifikasi terhadap kasus Hambalang dan peran AM.

Pertanggungjawanan pidana

Kembali kepada penjelasan yang telah disampaikan oleh Rizal Mallarangeng. Apakah tepat kemudian menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran dalam kasus Hambalang. Mengikuti logika berfikir Rizal Mallarangeng dibandingkan dengan teori kewenangan dan sumber kewenangan maka tidak tepat. Menteri Pemuda dan Olahraga merupakan jabatan (ex officio) jabatan Eksekutif dalam sistem Pemerintahan. Presiden telah memberikan kewenangan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pemuda dan Olahraga. Artinya Presiden sudah memberikan kewenangan kepada AM untuk mengurusi hal ikhwal Pemuda Olahraga. Kewenangan itu kemudian ditandai Kementerian Pemuda Dan Olahraga mengelola kegiatan, program dan anggaran. Sehingga AM harus bertanggungjawab dimuka hukum untuk menjalankan kegiatan, program dan anggarannya. Dengan demikian, maka alasan yang disampaikan Rizal Mallarangeng tidak berdasar.

Lantas mengapa menyeret Menkeu dan Dirjen Anggaran ? Apakah dengan tidak “dicairkannya” anggaran, maka tidak terjadi korupsi ? Logika ini tidak tepat.

Memang betul, Menkeu dan Dirjen Anggaran yang mencairkan anggaran. Namun Menkeu dan Dirjen Anggaran “mencairkan” anggaran berdasarkan usulan dari program yang disahkan. Artinya Menkeu dan Dirjen tidak “mencairkan” anggaran apabila tidak adanya usulan dari program yang telah disahkan.

Logika ini dapat dilihat dari sistem keuangan negara. Sebagai “kasir negara”, Menteri Keuangan dan Dirjen Anggaran “mengeluarkan” uang yang dimohon dengan melihat pagu anggaran, mata anggaran, persyaratan pencairan keuangan dan berbagai persyaratan keuangan sehingga uang dapat “dicairkan”. Logika ini bukan dibalik. Apabila Menteri keuangan dan Dirjen Anggaran tidak “mencairkan anggaran” maka tidak terjadinya korupsi. Bukan itu.

Sebagai pejabat yang “bertanggungjawab” menjalankan pemerintahan di bidang Pemuda dan olahraga, AM mempunyai kewenangan untuk menjalankan program, kegiatan dan anggaran. Kewenangan itu selain dilihat daripada UU Pemuda dan UU Olahraga, AM juga diangkat Presiden untuk menjalankan fungsi negara dalam bidang Pemuda dan Olahraga. Fungsi inilah yang kemudian dalam hukum dikenal sebagai kewenangan yang bersumber dari delegasi. Artinya jabatan ini telah didelegasikan dari Presiden kepada AM sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Dengan telah didelegasikan urusan pemerintahan pemuda dan Olahraga, maka AM harus bertanggung jawab dimuka hukum. Urusan delegasi tidak dapat lagi ditumpukan kepada si pemberi delegasi (baca Presiden). AM tidak dapat mengelak dengan alasan, karena sebagai bawahan Presiden, tidak tahu mengetahui rambu-rambu dan peraturan yang berkaitan dengan Pemerintahan apalagi dengan alasan tidak mengetahui proyek Hambalang.

Terlepas daripada semuanya itu, Proyek Hambalang merupakan tanggung jawab AM sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. AM harus bertanggung jawab dimuka hukum. Dalam ilmu hukum, dikenal dengan istilah, pertanggungjawaban pidana. Sebuah pembuktian hukum acara pidana, dimana seseorang selain telah melakukan kesalahan, maka seseorang harus bertanggungjawab. Dalam melihat kesalahan, tidak mesti karena adanya perbuatan dari pelaku itu sendiri, namun karena jabatan (karena itu kemudian sebagian para ahli juga menyebutkan kejahatan jabatan), maka seseorang juga harus bertanggungjawab dimuka hukum.

Dari pendekatan inilah, maka alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng tidak dapat dibenarkan oleh hukum
Selain itu juga yang menjadi titik perhatian KPK, bukan diperencanaan pembangunan Hambalang. Tapi adalah pelaksanaan anggaran yang dituduh “tidak sesuai dengan prosedur” dan berbagai ketentuan mekanisme proyek pembangunan. Dalam persoalan ini, sudah sering disampaikan oleh KPK dan tinggal kita menunggu perkembangan dari persidangan terhadap AM.

Alasan yang disampaikan oleh Rizal Mallarangeng walaupun tidak tepat dan tidak berdasarkan oleh hukum namun dapat dimengerti selain karena Rizal Mallarangeng merupakan ahli ilmu politik juga sangat emosional sehingga melihat persoalan ini tidak dengan jernih, emosional dan cenderung menggunakan pendekatan yang keliru.

Namun apabila alasan yang disampaikannya ternyata sudah “sepengetahuan” dan seizin dari Tim Penasehat hukum, sungguh sangat disayangkan,

Dengan mudah penulis mengatakan, sedang dibangun skenario yang sistematis untuk “mengalihkan issu”. Mengalihkan tanggungjawab, membangun citra “bersih”, tokoh muda yang reformasi, “korban politik”. Cara-cara ini biasa kita lihat dalam kasus-kasus korupsi. Dan kita berharap agar tidak terjebak dengan irama permainan.