21 Desember 2012

opini musri nauli : RUU KAMNAS DARI PERSPEKTIF HUKUM



Beberapa waktu yang lalu, penulis diminta menjadi pembicara di LK II dan LKK HMI Cabang Jambi untuk mendiskusikan RUU KAMNAS. Sebagai issu yang aktual, penulis tersentak, ketika RUU KAMNAS masih diketahui sedikit sekali oleh kalangan mahasiswa. Pertanyaan, pendapat dan pernyataan yang disampaikan membuka mata penulis, ternyata pembahasan RUU KAMNAS hanya diketahui publik secara sekilas tanpa memasuki wilayah substansif. Kekhawatiran ini selain RUU KAMNAS akan menggelinding pembahasan di parlemen, penguasaan materi RUU KAMNAS harus tuntas agar pembahasan tidak terjebak dengan perdebatan “warung kopi”.
Berangkat dari kekhawatiran inilah, kemudian penulis mencoba menyumbangkan gagasan agar RUU KAMNAS dapat dilihat secara utuh.

Bertentangan dengan Prinsip Hukum Acara

Didalam RUU KAMNAS disebutkan “RUU Keamanan Nasional memberikan wewenang kepada instansi untuk menyadap, memeriksa, dan menangkap.
Tentu saja kalimat “menyadap, memeriksa dan menangkap” yang dilakukan oleh lembaga Keamanan Nasional akan bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui, pada prinsipnya yang berwenang untuk melakukan “penyadapan, memeriksa, dan menangkap” merupakan kewenangan dari penyidik. Kewenangan ini tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak mempunyai wewenang sebagai penyidik. Selain bertabrakan dengan prinsip-prinsip dari hukum acara, cara-cara yang dilakukan seperti “penyadapan, memeriksa dan menangkap” yang dilakukan selain penyidik akan bertentangan dengan demokrasi, HAM dan nilai-nilai berbangsa dan bernegara.
Sehingga tidak salah apabila tuduhan serius terhadap RUU KAMNAS akan membangkitkan “batang tarandam” dengan menghidupkan cara-cara “Bakorstanas” atau “Pangkopkamtib” sebuah periode traumatik dari rezim otoriter Orde baru.
Selain itu juga kebebasan pers yang merupakan buah dari reformasi akan tenggelam dan kemudian menjadi sebuah idiom yang hampa.
Bertentangan dengan prinsip demokrasi

Di kalangan pers untuk membongkar sebuah kasus (baik korupsi, narkoba maupun terorisme), biasa dikenal dengan menyebutkan sumber dengan istilah anonim. Istilah ini untuk melindung dan menyembunyikan identitas nara sumber demi kepentingan nara sumber itu sendiri.

Dalam berbagai kasus-kasus dan pemberitaan, informasi yang diberikan merupakan informasi yang valid, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dijadikan petunjuk kepada pers untuk membongkar sebuah informasi yang dimaksudkan. Istilah yang diberikan biasa dikenal “of the record”.
Dengan informasi yang diberikan, kemudian pers dapat membongkar sebuah informasi demi kepentingan publik mendapatkan sebuah peristiwa.

Dalam praktek kemudian, sampai di persidangan, wartawan yang diberi informasi harus melindungi narasumber yang telah memberikan informasi dan telah menyatakan “of the record”.
Bahkan dalam persidanganpun, wartawan yang bersangkutan “harus pasang badan” dan harus menanggung resiko untuk menyembunyikan nara sumber pemberi informasi.

Praktek ini telah dikenal universal dalam dunia pers.

Namun dengan RUU KAMNAS, maka prinsip-prinsip ini “ditabrak”. RUU KAMNAS bahkan bisa “memaksa” wartawan untuk menyebutkan narasumber informasi. Karena itu, jurnalis akan menjadi sasaran yang mudah dituduh karena menguasai banyak informasi.

Kewenangan menafsirkan

Didalam RUU KAMNAS, adanya istilah “istilah ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”, penindakan dini”.

Pertanyaan selanjutnya siapakah yang berwenang untuk menafsirkan kalimat ““istilah ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”, penindakan dini ?

Apabila dibaca secara lengkap, maka didalam RUU KAMNAS, maka badan yang dibentuk yang kemudian menafsirkan dan melihat apakah telah terjadi ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”, penindakan dini ?

Tentu saja sangat berbahaya apabila indikator yang digunakan tidak berangkat dari pendekatan hukum. Selain cara-cara ini akan menimbulkan cara-cara fasis dalam negara demokrasi, maka cara-cara ini akan cenderung “melindungi kekuasaan”.
Didalam Hukum, “ancaman” terhadap negara sudah diatur didalam KUHP. Cara-cara bersenjata telah diatur didalam pasal-pasal yang berkaitan dengan “MAKAR”. Sedangkan perbuatan yang dilakukan tanpa bersenjata namun berkaitan dengan mengganti “ideologi negara”, mengganti sistem pemerintahan”, memisahkan dari negara (separatis), “mengganti kepala negara” adalah sebagian dari perbuatan-perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana yang dikenal dengan MAKAR. Semuanya telah diatur dengan jelas didalam KUHP.
Perbuatan yang diatur didalam KUHP kemudian menjalani proses hukum yang telah diatur didalam KUHAP. Sehingga tafsiran “perbuatan pidana” yang berkaitan dengan MAKAR menggunakan pendekatan hukum melalui putusan pengadilan.
Namun dengan RUU KAMNAS, pendekatan hukum kemudian “dikesampingkan” dengan menggunakan pendekatan politik oleh lembaga berdasarkan RUU KAMNAS. Cara-cara ini sangat berbahaya karena dengan alasan “ancaman tidak bersenjata”, “ancaman membahayakan negara”, penindakan dini, maka Kepala Negara maupun kepala Daerah dapat menggunakan cara-cara ini walaupun di hadapannya, cara ini tidak tepat karena akan bertabrakan dengan “kebebasan politik”, “menyampaikan pendapat”, “sikap kritis”, “koreksi terhadap berbagai penyimpangan” dan sebagainya.
Paradigma sesat
Dengan melihat berbagai rumusan didalam RUU KAMNAS, maka perbedaan ini didasarkan kepada paradigma yang sesat. Padahal Menggunakan kekuatan keamanan telah diatur didalam UU Pemda. Bahkan RUU Kamnas terkesan ingin mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari ancaman bersenjata hingga penanganan bencana. Sehingga tidak salah apabila RUU Kamnas berpotensi menciptakan rezim otoriter baru.

Dimuat di Posmetronline, 21 Desember 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/13250-ruu-kamnas-dari-perpektif-hukum.html