29 Desember 2012

opini musri nauli : SUMPAH POCONG DAN GANTUNG MONAS


Farhat Abbas (FA) “mendeklarasikan” sebagai Calon Presiden 2014. Sebagai ikrar “keseriusannya”, dia akan menawarkan model “sumpah pocong” untuk membersihkan birokrasi dari korupsi.
Penulis “tertarik” dengan istilah “sumpah pocong”. Sebuah istilah dalam khazanah sosiologi dan praktek “pembuktian” di tengah masyarakat apabila kedua belah pihak “masih ngotot” yang paling benar. Terlepas dari perdebatan di kalangan agamawan, praktek ini cukup ditakuti oleh sebagian masyarakat agraris.

Sebelumnya Anas Urbaningrum (AU) pernah “bersumpah di gantung monas” apabila terlibat korupsi. Sumpah di gantung monas disampaikan, ketika media massa “memberikan” konsentrasi pemberitaan Hambalang dan mengkait-kaitkan dengan AU. Akibatnya AU jenuh. Beberapa kali pernyataannya yang membantah “kurang menyakinkan” publik sehingga keluar pernyataan sumpah “gantung di Monas”.

FA adalah advokat sedangkan AU adalah politisi. Keduanya berangkat dari pendidikan tinggi yang “seharusnya” menggunakan pendekatan ilmu dan berfikir rasional untuk menjawab berbagai persoalan. Keduanya mewakili kaum intelektual yang menggunakan setiap kata-kata berangkat dari pemikiran yang logis. Mereka “sebenarnya” bisa memberikan pendidikan di tengah masyarakat.

Pernyataan FA tentang “sumpah pocong” dan AU tentang sumpah “gantung di monas” menimbulkan polemik dalam hukum.

Permyataan FA “sumpah pocong” mengingatkan peristiwa di Jambi akhir tahun 2007. Saat itu Jambi “dihebohkan” dengan “ditemukan daging bakso yang diduga mengandung unsur “babi”. Peristiwa ini kemudian menimbulkan polemik. Pemilik warung bakso “tidak pernah memasukkan “daging mengandung unsur babi”. Sementara, tuduhan itu cukup serius karena “hasil penelitian ditemukan daging mengandung unsur “babi”.

Polemik tidak berkesudahan. Berbagai pernyataan dari pemilik warung bakso tidak “meyakinkan”. Sehingga pemilik warung bakso diminta untuk “bersumpah pocong”. Maka dipersiapkan berbagai tata cara untuk mengucapkan “sumpah pocong”. Pemilik warung baksa kemudian “mengucapkan sumpah pocong yang menyatakan tidak pernah memasukkan daging babi. Dan bersedia menerima laknat Tuhan”.

Entah bagaimana akhir cerita. Namun yang pasti, pemilik warung tidak berani buka warung bakso lagi dan proses hukum tidak begitu jelas.

Memasuki wilayah diskusi “sumpah pocong” memang memantik polemik. Baik dari sudut pandang agama, sosial maupun aspek-aspek lainnya. Namun penulis akan mendiskusikan dari sudut pandangn hukum.

Menggunakan ukuran “sumpah pocong” bertentangan dengan pembuktian hukum acara pidana. Didalam hukum acara pidana, seseorang dapat dipersalahkan apabila didukung dengan alat bukti yang sah. Seseorang tidak dapat dihukum apabila tidak didukung alat bukti yang sah.

Menghukum seseorang yang tidak didukung dengan alat bukti yang sah akan menimbulkan “kesesatan hukum (mistake)”. Kita pernah dengar kasus “terdakwa palsu”. Dimana “seseorang” mengaku melakukan tindak pidana (padahal tidak pernah melakukan) hanya mengharapkan uang dan bersedia menjalani penjara. Nah, dengan didukung alat bukti yang sah, Hakim dapat memastikan apakah terdakwa “benar-benar melakukan” atau tidak. Dengan menggunakan alat bukti yang sah, maka proses hukum menjadi fair.

Nah, berbanding terbalik dengan “sumpah pocong”. Seseorang dapat “bebas” dari tuduhan dengan hanya “mengucapkan Sumpah pocong”. Seseorang tidak perlu “menjalani” pidana penjara setelah mengucapkan sumpah pocong. Walaupun sebagian masyarakat masih takut akan “kutukan” sumpah pocong, namun ukuran “ketakutan sumpah pocong” tidak dapat berlaku universal. Sebuah asas penting dalam penegakkan hukum.

Dengan demikian, maka hukum acara pidana tidak mengenal “sumpah pocong”.

Nah, lantas mengapa seorang FA yang notabene berlatar belakang praktisi mengeluarkan pernyataan “sumpah pocong”. Dari logika berfikir ini, penulis sungguh-sungguh tidak bisa menerimanya. Seharusnya pernyataan dari FA berangkat dari konsepsi latar belakang ilmunya. Bukan memberikan pernyataan yang menyesatkan (mistake).

Begitu juga pernyataan dari AU yang bersedia “digantung di monas”. Menggunakan pendekatan hukuman pidana, kita hanya mengenal pidana pokok seperti hukuman mati, hukum seumur hidup, hukuman penjara dan sebagainya.

Sedangkan hukuman mati dijalani dengan cara “ditembak”. Bukan digantung. Apalagi “digantung” di Monas. “Seharusnya” selevel AU harus mengerti tentang tatacara pelaksanaan hukuman mati.

Dengan melihat dua pernyataan yang telah disampaikan oleh FA dan AU (kedua berlatar belakang pendidikan tinggi), sekali lagi berangkat dari rasa “emosi”. Sama sekali tidak menggunakan latar belakang ilmu untuk menjelaskan pernyataannya.

Dan keduanya bukan “menyelesaikan” masalah. Justru masyarakat kemudian dipertontonkan “kegaduhan” yang semakin heboh. Suara gemuruh. Koor. Persis anak sekolahan mendengarkan “lonceng”. Tanpa babibu, langsung teriak. “Pulaaaaaaannnnnnnng”.