11 Desember 2012

opini musri nauli : Tidak tahu Menurut Hukum - Fictie Hukum



Lagi-lagi jagat politik dihebohkan dengan pernyataan Presiden “banyak kasus korupsi terjadi akibat ketidakpahaman jajaran Pemerintah terhadap peraturan perundang-undangan.


Pernyataan ini cukup serius sehingga harus diberi atensi penting untuk dibahas agar tidak tersesat “paradigma” penguasa untuk membenarkan perbuatannya.


Dalam periode waktu menjelang pernyataan yang disampaikan oleh Presiden, maka dengan mudah publik akan membaca sebagai langkah politik “pembenaran” yang telah disampaikan oleh Andi Alfian Mallangeng (AM). Presiden diberi informasi yang “kurang akurat” atau pembenaran “laporan” dari AM yang mengabarkan setelah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian menghadap Presiden untuk “mengundurkan diri”. AM “mengadukan” setelah ditetapkan sebagai tersangka dan “mengaku” tidak tahu berbagai ketentuan perundang-undangan sehingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Dan dengan informasi yang “kurang akurat”, “sesat” kemudian menyampaikan dimuka publik menjelang Hari Anti Korupsi.


Secara prinsip dalam ilmu hukum, tidak dapat dibenarkan seseorang “tidak tahu” apabila diterapkannya sebuah ketentuan hukum. Dengan berlakunya ketentuan sebuah peraturan perundang-undangan, maka setiap warga negara harus “dianggap tahu” sehingga tidak dapat mengelak untuk diterapkan suatu perundang-undangan dengan alasan “tidak tahu”. Asas ini kemudian dikenal dengan istilah Asas Fictie Hukum. Artinya Asas berlakunya hukum yang menganggap setiap orang mengetahui adanya sesuatu Undang-Undang. Sehingga, tidak ada alasan seseorang membebaskan diri dari Undang-Undang dengan pernyataan tidak mengetahui adanya Undang-Undang tersebut.


Bahkan didalam UU No. 4 Tahun 2004 telah tegas dinyatakan, sebuah produk hukum selain berlakunya setelah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara dan Penjelasannya sudah dimuat dalam Tambahan lembaran negara, maka semua orang dianggap sudah mengetahuinya dan isi peraturan itu sudah mengikat umum (fictie hukum).


Dalam berbagai literatur disebutkan, fiksi hukum juga diakui. Didalam pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi “Anak yang berasal dari seorang perempuan yang hamil, dinyatakan sebagai telah lahir, sekadar kepentingannya menghendakinya. Jika ia dilahirkan mati, ia dianggap sebagai tidak pernah ada”.

Dalam diskusi di kalangan ahli hukum, fiksi ini tidak merugikan kepentingan siapapun. Dia harus dianggap ada sehingga tidak membahayakan kepentingan siapapun.



Dengan demikian, maka dengan mudah orang mengatakan bahwa fiksi perundang-undangan itu bukanlah fiksi sebenarnya melainkan dirumuskan belaka sebagai fiksi.


Dalam sistem hukum yang menganut hukum tertulis/civil law (sistem Eropa kontinental), asas seperti “Ignorare Legis est lata Culpa” atau fiksi hukum yang memberikan amanat bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu Undang-Undang yang telah diundangkan. Asas ini kemudian menjadi pengetahuan penting dan diterapkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang mengagungkan hukum yang bersifat tertulis/ Civil law.


Dengan mengggunakan pendekatan sistem hukum Eropa kontinental/civil law, maka asas ini diterapkan.


Dengan asas inilah, maka terhadap pejabat yang “mengelak” tidak mengetahui “sebuah peraturan perundang-undangan dengan alasan tidak tahu” maka sebenarnya sungguh-sungguh tidak tepat. Dan dengan mudah dan lantang kemudian Abrahama Samad membantahnya.