01 September 2015

opini musri nauli : Datuk Paduko Berhalo


Didalam hiruk pikuk Pilgub, tema Selat Berhala sempat memantik diskusi. Terlepas dari putusan MK, Selat Berhala tidak dapat dipisahkan dari Datuk Paduko Berhalo.


Berbagai literatur telah menempatkan Datuk Paduka Berhalo sebagai obyek pembahasan. Dikisahkan Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat berhala. Dia mendirikan pemerintahan baru dan bergelar Datuk Paduko Berhalo. Dia menikah dengan Putri Pinang Masak. Mohammad Redzuan Othman menyebutkanya “Puteri Selaras Pinang Masak. Datuk Paduko berhalo memerintah 1460 masehi.


Didalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” dijelaskan Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua. Sedangkan adiknya bernama Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemrik (perempuan). Namun M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal budaya daerah Jambi justru menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak)


Cerita ini kemudian didukung oleh S. Budisantoso didalam buku “Kajian dan Analisia Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi yang menerangkan tentang Orang Kayo Pingai merupakan anak dari Datuk Paduko Berhalo yang beristrikan Putri Selaro Pinang Masak. Putri Selaro Pinang Masak berasal dari Pagaruyung yang berdiri tahun 1345 masehi


Namun ketika Adityawarman wafat 1375 masehi, maka Kerajaan Pagaruyung mulai lenyap dari catatan.


Hingga kemudian berdiri Kerajaan Jambi. Kerajaan Jambi didalam Pemerintahan Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo hitam hingga Sultan Thaha tidak berkaitan dengan Kerajaan Jambi atau Kerajaan Melayu Jambi dalam perdebatan dengan kerajaan Sriwijaya. Selain memang hancurnya Kerajaan Melayu Jambi atau Kerajaan Jambi yang ditandai dengan ornamen candi-candi di Muara Jambi juga beragama Budha. Catatan I'tsing jelas menggambarkan sebagai pusat agama Budha di Asia.


Namun Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Datuk Paduko Berhalo, Orang Kayo Hitam beragama Islam. Dalam Majalah Warta Ekonomi tahun 1997 menyebutkan Kerajaan Melayu II di bawah kepemimpinan Datuk Paduko Berhalo.


Tentang Orang Kayo Hitam yang kemudian menikah dengan Putri Mayang Mengurai dibantah oleh J. Tideman “Djambi” tahun 1938. Istri Orang Kayo Hitam adalah Putri Panjang Rambut. Catatan ini didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische vorsten Geslach”


Di Selat Berhala kemudian “diperkirakan” sebagai Kerajaan Islam pada tahun 1460 masehi. Sebagian sumber justru menyebutkan kebesaran Kerajaan Islam justru di tangan Orang Kayo Pingai (1480-1490 m). Catatan ini lebih bisa lebih meyakini dengan mendasarkan kepada Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi tahun 1989.


Didalam Buku Sejarah Nasional Indonesia III – Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia” disebutkan keturunan Datuk Paduko Berhalo kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang Kayo Gemuk.


Melihat urutan yang disampaikan oleh Buku Sejarah Nasional III, maka didalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” dijelaskan Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua. Bandingkan yang disampaikan oleh M. Nasir yang justru menyebutkan Orang Kayo Pingai adalah anak bungsu. Pengganti Orang Kayo Hitam adalah Panembahan Hang di Aer yang meninggal di Rantau Kapas.


Wilayah Kerajaan ini memanjang dari Ujung Jabung hingga ke Muara Tembesi. Sumber lain menyebutkan Kerajaan Jambi berakhir abad 17-an.


J. Tideman didalam bukunya “Djambi” tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische vorsten Geslach”, menerangkan pada Masa Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan besar dengan Kerajaan Johor. Peperangan ini kemudian mengakibatkan Belanda terlibat. Didalam perjanjian “Corpus diplomatic Nederlandsch Indicum Derde Deel (1676-1691), Belanda memaksa Kerajaan Jambi agar Belanda monopoli pembelian lada dan memaksa penjualan kain dan opium.


Rakyat Jambi kemudian menolak monopoli pembelian lada melalui Belanda. Perlawanan dilakukan dengan menyerang kantor dagang Belanda dan terbunuhnya Kepala dagang VOC, Sybrandt Swart. Sultan Sri Ingalogo kemudian ditangkap kemudian diasingkan ke Batavia dan dibuang ke Pulau Banda.


Pengganti Sultan Sri Ingalogo adalah Pangeran Dipati Cakradiningrat bergelar Sultan Kyai Gede. Mereka kemudian menyingkir ke Tebo dengan membawa keris Siginjai.


Masyuri didalam bukunya “sultan Thaha Syaifuddin” menerangkan Lalu lintas perdagangan melewati selat berhala sering dikunjungi saudagar-saudagar Eropa, Arab.


Didalam Sila-sila Keturunan Raja Jambi kemudian berakhir di Sultan Thaha Saifuddin. Sultan Thaha Saifuddin kemudian gugur dalam peperangan melawan Belanda tanggal 1 April 1904 di Muara Tebo.