10 September 2015

opini musri nauli : sesat pikir tentang asap


Asap pekat yang terus menutupi matahari di Jambi ternyata belum mampu memberikan empati kepada persoalan asap. Dalam kurun Januari 2014 – Agustus 2015, di Jambi sudah menunjukkan 1300 titik api (hotspot). Angka ISPO sudah mencapai 324, angka level sangat membahayakan bagi kesehatan. Minggu pertama September saja, angka ISPA sudah mencapai angka ribuan. Kematian bayi, perebutan air bersih, terhentinya penerbangan melalui udara. Tidak melautnya nelayan, hingga diliburkannya anak sekolah adalah fakta-fakta yang sudah terpapar di depan mata.
Dengan menggunakan berbagai sumber, titik api menunjukkan berada di kawasan izin konsesi HTI dan sawit. Walhi Jambi sendiri memastikan 80 % letak titik api berada di izin HTI dan sawit. Pola yang sama, berulang, canggih dan “terkesan” dilindungi dari hukum.

Melihat pola kebakaran asap maka bisa dihitung secara periodik. Memulai “tradisi” asap di Jambi tahun 1997 (sebuah kebakaran massal yang menyelimuti Indonesia dengan titik api berada di 23 Propinsi) kemudian berulang 5 tahun kemudian. Namun sejak tahun 2006, pola ini semakin massif dengan berulang dua tahun sekali. Yang lebih memilukan, sejak tahun 2010, pola ini semakin berulang setiap tahun dengan titik konsentrasi tahun 2013 dan tahun 2015.

Tahun 2013, Indonesia kemudian “diprotes” oleh Singapura dan Malaysia yang menerima “ekspor” asap dari Indonesia. Namun tahun 2015, pesisir pantai timur Sumatera yang berkawasan gambut memanjang dari Riau, Jambi dan Sumsel kemudian “merasakan” akibat dengan titik api yang berada di gambut.

Entah memang “tidak menguasai kondisi di lapangan” atau memang ada indikasi “melindungi” kepentingan bisnis yang mencengkram pesisir pantai timur Sumatera, issu pokok tentang asap kemudian “dikamuflase” dan menggiring publik untuk melihat persoalan asap dari sudut yang lain. Dan perdebatan publik kemudian “digiring” menjadi polemik “tuduhan” terhadap masyarakat yang membakar. Dan pesan ini disampaikan berulang-ulang. Baik dari level tertinggi seperti Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga petinggi negeri di Jambi.

Melihat pernyataan dari petinggi negeri, penegak hukum dan sesat pikir tentang asap membuat penulis berkeyakinan. Ada sesuatu yang keliru memandang persoalan asap.

Berangkat dari keprihatinan dan menjaga persoalan asap tidak bergeser dari persoalan substansi, penulis ingin rembug untuk melihat persoalan ini lebih obyektif.

KELIRU MELIHAT PERSOALAN ASAP

Kekeliruan ini dimulai dari rapat penting di Pemerintahan. Petinggi pemerintahan Jambi kemudian “meminta” agar bandara disediakan alat canggih untuk menuntun pesawat di tengah asap. Semacam earlning system yang memandu pesawat sehingga dapat turun di tengah asap.

Penulis kemudian kaget dengan pernyataan ini. Kekagetan dilandasi dengan belum empatinya petinggi pemerintahan Jambi melihat persoalan asap.

Kekagetan juga dilihat bagaimana “terlalu lamanya” respon melihat persoalan asap di Jambi. Desakan berbagai kabupaten untuk menetapkan “status darurat asap” kemudian baru dilaksanakan setelah memasuki awal bulan September.

Padahal pertengahan Agustus merupakan momentum untuk menetapkan “status darurat asap” sehingga segala potensi bisa dikerahkan sebelum keadaan asap belum separah sekarang. Momentum itu kemudian hilang dan asap tidak mampu lagi dibendung sehingga praktis “melumpuhkan” keadaan kehidupan masyarakat. Sekolah diliburkan. Jalanan sepi. Bandara tutup. Penerbangan dibatalkan tanpa kepastian waktu. Awan belum bisa berkumpul sehingga tidak bisa dilakukan rekayasa hujan dengan menggunakan pesawat udara.

Belum hilang rasa kaget melihat berbagai pernyataan petinggi pemerintahan Jambi, pernyataan “titik api nol” menjadi cara pandang melihat persoalan asap.

Keadaan semakin kronis yang ditandai mulai meninggalnya bayi berumur 2 tahun, perebutan air bersih, panen gagal namun ditangkap dengan pernyataan “titik api nol”.

Bukan terlibat didalam polemik berapa titik api yang berada di Jambi. Namun tidak mampu menegakkan hukum terhadap perusahaan penyebab titik api dan penyebar asap.

Disisi lain, penegak hukum cuma mengabarkan telah dilakukan penangkapan terhadap masyarakat yang membakar. Tanpa mengganggu proses hukum yang telah berlangsung. Namun titik api (hotspot) yang berada areal konsensi perusahaan baik HTI dan sawit sama sekali tidak tersentuh. Perusahaan tidak mampu dijangkau oleh hukum. Perusahaan kebal dari hukum (imunity).

Padahal mekanisme hukum telah memberikan “tugas” yang mudah kepada penegak hukum untuk menyeret perusahaan sebagai penanggungjawab “titik api” diareal perusahaannya. Dengan berbagai informasi yang telah tersedia, penegak hukum dapat meminta pertanggungjawaban (liability) perusahaan terdapat titik api (hotspot).

Mekanisme yang disediakan oleh hukum dengan pembuktian “absolute liability” telah tegas diatur didalam pasal 49 UU Kehutanan, pasal 85 UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan. Bahkan didalam PP No. 4 Tahun 2001 dan PP nomor 45 tahun 2004 dengan tegas menyatakan “setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya.

Dengan term “setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya”, maka maka pemilik izin tidak dapat menghindarkan dan pengecualian pertanggungjawaban apapun (defende).

Ditambah dengan berbagai kenyataan, sedikit sekali perusahaan yang mempunyai alat pemadam kebakaran untuk memadamkan titik api (hotspot) di arealnya. Sehingga “walaupun” perusahaan tidak melakukan pembakaran, namun terjadinya titik api (hotspot) di arealnya dan tidak ditunjang dengan peralatan memadai untuk memadamkan titik api api (hotspot), maka perusahaan “nyata-nyata” harus diminta pertanggungjawaban secara hukum. Asas ini biasa dikenal dengan Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without Schuld) dalam praktek sistem hukum Anglo Saxon. Asas ini kemudian mengenyampingkan asas dalam sistem hukum Eropa kontinental asas “tiada pidana tanpa kesalahan (GEEN STRAF ZONDER SCHULD)” atau asas culpabilitas.

Dengan menggunakan asas “liability without Schuld”, maka penegak hukum langsung bergerak meminta pertanggungjawaban dari perusahaan dan menyeret ke muka hukum.

Penegak hukum tidak perlu lagi harus terlebih dahulu mencari barang bukti, mencari pelaku pembakar dan mencari saksi. Dengan menggunakan mekanisme “liability without Schuld”, titik api sudah menunjukkan bagaimana perusahaan tidak dapat menghindarkan dari tanggungjawab terhadap titik api (hotspot) yang berada di areal konsesinya.

Mudah bukan ? Lalu ? Kalau Mudah Mengapa belum juga dilakukan ? Pertanyaan kemudian bergeser. Bukan persoalan mudah atau sulit mencari pertanggungjawaban kebakaran. Tapi apakah Mau ?