20 September 2015

opini musri nauli : SLAMET SIBARIANG – Der excellent


Saya mendapatkan kabar duka kepergian Slamet Sibariang ketika sedang berada di luar kota Jambi. Kekagetan itu didasarkan kepada kepergian beliau di tengah berbagai persoalan kompleks hukum pidana dan berbagai derita penyakit yang diterima oleh beliau.

Secara administrasi, saya tidak pernah “diasuh” mata kuliah yang dipegang oleh Alm Slamet Sibariang. Waku kuliah, sekitar 200 mahasiswa Fakultas Hukum Unja dibagi menjadi 4 kelas. Kelas A, Kelas B, Kelas C dan Kelas D. Pemilihan dan pembagian kelas diurut berdasarkan nomor mahasiswa. Penulis mendapatkan nomor urut ganjil. Sehingga kuliah lebih banyak dikelas A ataupun di kelas C. Sedangkan Alm Slamet Sibariang mengasuh mata kuliah yang diajarkan di kelas B ataupun kelas D.

Dalam perjalanan menyelesaikan masa studi, saya banyak mendengarkan “keluhan” mahasiswa kelas B dan kelas D terhadap pola pengajaran oleh Alm Slamet Sibariang. Kami biasanya menyebutkan dosen “killer”. Saya kurang tertarik dengan istilah “killer”. Selain karena lebih menampakkan “rasa minder”, juga didasarkan kepada “ketakutan” mahasiswa Fakultas hukum yang sering “ogah-ogahan” untuk kuliah secara serius.

Entah memang karena iseng ataupun penasaran, suatu waktu saya mengikuti kuliah yang diajarkan oleh Alm Slamet Sibariang. Saya memang tidak mengambil mata kuliah yang diajarkan. Namun pada saat bersamaan, kuliah sedang kosong. Sayapun bergerombol masuk kelas yang diajarkan oleh Pak Slamet.

Saya ingat persis ketika setiap memulai kuliah, beliau selalu memesan kopi es. Ya. Kopi tapi pakai es batu. Sayapun masih mengenang peristiwa itu selain karena “unik” namun wajahnya cukup berwibawa.

Waktu itu, dosen yang bergelar magister hukum sedikit sekali. Seingat saya, hanya dosen-dosen senior yang telah memiliki gelar magister. Tidak lama kemudian, barulah dosen fakultas hukum berbondong-bondong mengambil magister hukum. Sehingga “kepakaran” pak Slamet memang diatas rata-rata dosen hukum apalagi hukum pidana.

Dalam menguraikan teori hukum dasar, kepakaran Pak Slamet memang “menggigit”. Dia mampu dengna jernih menjelaskan baik dilihat dari perkembangan dasar hukum maupun dalam perkembangan hukum pidana. Kepakaran beliau memang ditunggu berbagai pihak. Sayapun sering mendapatkan kabar beliau sering menjadi saksi ahli baik diminta oleh Kepolisian, oleh Pengadilan maupun di Kejaksaan. Kepakaran itu ditunjang dengan “ketelitian” beliau membaca berkas, kemampuan menulis hingga “jago berdebat” dalam menyampaikan gagasannya. Saya berkesempatan mendiskusikan berbagai persoalan hukum ketika setelah selesai masa studi.

Dengan khas suaranya yang berat, ditunjang dengan badan yang tegap, cara menyampaikan gagasan memang “menyilaukan”. Dengan tenang beliau mampu “menjelaskan” tanpa harus menyakiti pihak lawan sehingga menerima pendapatnya. Teknik ini memang sulit dan penulis masih harus belajar banyak dari beliau.

Intelektual Organik

Setelah menyelesiakan masa studi, saya sering bertemu dengan Pak Slamet dalam berbagai forum pertemuan diluar kampus. Sebagai sesama jaringan, kami berdiskusi.

Berbeda dengan sebelumnya ketika di kampus, setelah diluar kampus, beliau sering memanggil saya dengan “Pak Nauli”. Sebuah panggilan menurut saya cukup janggal. Selain karena beliau adalah dosen saya, panggilan saya cukup dengan panggilan akrab “nauli”. Namun dia membantah dan memberikan argument. “Saya menghormati anda. Tidak pantas lagi memanggil Nauli”. Sayapun tetap ngotot agar tetap memanggil “Nauli”. Dia diam. Tapi setahu saya, dia tidak pernah mau mengikuti saran saya. Beliau tetap memanggil saya dengan panggilan resmi “Pak Nauli”. Sayapun menghormati pilihan dia.

Ketika saya dan Pak Slamet untuk bersama-sama mendampingi supir taksi yang diberhentikan oleh pemiliknya. Saya dan Pak Slamet kemudian menjadi kuasa hukum. Kami melakukan advokasi bersama-sama. Mengadukan ke berbagai pihak. Mulai dari demonstrasi ke kantor Taksi, melaporkan ke Gubernuran hingga supir taksi “bermalam” di DPRD Propinsi. Aksi ini juga banyak didukung oleh berbagai kalangan mahasiswa.

Setiap sore beliau berkesempatan hadir di kantor DPRD memberikan dukungan. Namun menurut saya, kehadiran beliau di tengah aksi “Bermalam” di DPRD memberikan pesan kepada siapapun. Agar para supir taksi yang bermalam di DPRD tidak boleh diganggu dengan upaya kekerasan oleh siapapun.

Namun dalam dimensi yang lain, kehadiran fisik pak Slamet adalah lambang dari sikap “intelektual” dari personal pak Slamet yang begitu agung.

Pak Slamet “keluar” kungkungan  dunia akademis yang kaku dan duduk di menara gading. Pak Slamet kemudian dari konsepsi “dosen” yang memegang spidol di kampus. Antonio Gramsi memberikan definisi “intelektual organik”.

Intelektual organik adalah mereka yang “keluar dari out of the box”, sebagaimana dijelaskan oleh Antonio Gramsi dalam bukunya “negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.

Yang dimaksud dengan intelektual tradional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Pekerjaan Intelektual organik merupakan antitesa ketika disaat bersamaan setiap tahun, Indonesia menghasilkan ratusan ribu sarjana. Namun harus diakui pendidikan di Indonesia kemudian “hanya” berhasil mencetak tukang. Hanya menjadikan kaum terdidik sebagai teknorat semata.

Hampir praktis, sedikit sekali yang mau menoleh kepada Paulo Freire, pendidik multikultural yang mengabdikan dirinya kepada pendidikan yang memihak kepada penindas.

Pesannya jelas. Pendidikan selalu merupakan tindakan politis. Padahal pendidikan harus menegaskan pertanyaan seperti “apa ? Mengapa ? Bagaimana ? Untuk tujuan apa ? Bagi siapa ?. Pertanyaan itu sering disampaikan dalam diskusi-diskusinya.

Di dunia hukum juga mengalami persoalan yang sama. Para calon sarjana hukum “cuma dididik” sebagai “tukang” membaca rumusan pasal-pasal. Dipersiapkan sebagai teknorat seperti menjadi hakim, jaksa, polisi atau penasehat hukum.

Apabila dipersiapkan masuk kedalam struktur negara, para calon sarjana hukum kemudian dididik menjadi legal drafter. Kering makna.

Gugatan ini sudah sering disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengajak keluar dari “pakem” kaku kurikulum kampus. Slogan “Hukum untuk manusia” merupakan refleksi terhadap “kakunya sarjana hukum memandang hukum.

Sehingga tidak salah kemudian sarjana hukum gagap menghadapi putaran zaman dan masih “bernostalgia” dengan jimat hukum sebagai panglima. Mereka ketinggalan dengan perkembangan dunia yang terus berputar dan bergeraknya masyarakat Indonesia yang semakin dinamis.

Kemudian sarjana hukum gagap menciptakan pekerjaan dan cukup merasa zona aman dengan menjadi teknokrat.

Tidak salah kemudian sarjana hukum yang mempunyai nilai yang baik lebih merasa “aman” mengisi hari-harinya dengan memasuki pekerjaan yang tersedia.

Mereka tidak mau “mengambil resiko” untuk memasuki dunia diluar zona aman.

Sehingga tidak salah kemudian menjadi aneh“ mahasiswa yang mengambil pilihan hidup keluar di zona aman. Turun ke kampung-kampung, membentangkan poster, berdialog dari kampung-kampung, membangun kesadaran rakyat, belajar dari kampung.

Pak Slamet kemudian pergi meninggalkan kampus untuk “bertarung” dengan rakyat untuk mendapatkan keadilan. Dan Pak Slamet telah memulainya. Der Excellent. 

Selamat datang intelektual organik. Selamat jalan Pak Slamet. Keteladananmu memberikan arti. Siapa dirimu sebenarnya.