17 Agustus 2016

opini musri nauli : Marga IX Koto – Negeri Tua Berbakti Kepada Negeri



Marga IX Koto terletak berbatas dengan Marga VIII Koto, Marga Sumay, Marga Batin II Babeko dan Marga Batin III Ilir. Pusat Marga IX Koto terletak di Teluk Kuali.

Didalam Peta Belanda disebutkan, daerah yang disebutkan adalah Teluk Kuali dan Dusun Djamboe.

Sebagai Tembo, dalam tutur di Desa Teluk Kuali[1], batas-batas ini kemudian arah barat ditandai dengan Sungai Rami/Cermin alam, Pulau Tedung. Berbatasan dengan Marga VII Koto. Arah Timur ditandai dengan Tanjung Alur. Sebelah Utara dengan Sumay. Sedangkan arah selatan dengan Sungai Alai dekat Rimbo Bujang).

Menurut Tembo di Marga Sumay, Batas antara Marga Sumay dengan Marga IX Koto ditandai dengan “Rimbo Bulian”[2]. Sehingga batas Marga IX Koto dengan Marga Sumay menjadi persesuaian.

Makna “Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau kampong yang dihuni oleh penduduk.

Untuk menjaga keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.

Disebut dengan IX merujuk kepada 9 orang yang pertama kali mendatangi daerah Marga IX Koto. Berasal dari Banten, kemudian 9 orang kemudian mendiami 9 dusun.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga IX Koto yaitu Dusun Teluk Kuali, Dusun Kebung, Dusun Pulau Puro, Dusun Tanjung Aur, Dusun Rantau Langkap, Dusun Rambahan, Dusun Jambu, Dusun Pagar Puding, Dusun Sungai Rambai.

Diluar dari Sembilan Dusun, dikenal juga “Pulau Temiang” sebagai dusun bagian dari Marga IX Koto.

Masing-masing Dusun dipimpin oleh seorang Depati.

Dusun Teluk Kuali berawal kisah dari cerita rakyat. Sebelum masuk zaman modern, maka kehidupan masyarakat tidak terlepas dari pertanian tradisional, bercocok tanam. Di sela-sela waktu kemudian memancing ikan.

Di sebuah teluk, seorang penduduk kemudian memancing ikan. Namun kailnya kemudian tersangkut dengan kuali yang didalam perahu.

Di kuali terdapat rantai yang mirip terbuat dari emas. Seorang penduduk kemudian berusaha untuk menariknya. Namun tarikan pancingan terus menerus mengeluarkan emas. Bahkan diujung pancing terdapat bayangan kuning keemasan.

Upaya ini terus menerus dilakukan sehingga perahu menjadi terbalik. Tempat terbaliknya perahu di teluk kemudian disebut “Dusun Teluk Kuali.

Hingga kini kepercayaan masih kuat di tengah masyarakat.

Setiap peristiwa penting, di teluk terdapat cahaya keemasan. Peristiwa ini berkaitan dengan adanya musibah besar yang akan datang. Atau bisa juga apabila “panen raya” hasil pertanian yang melimpah.

Dusun Pulau Puro dikenal sebagai Dusun Kecil. Sedangkan Dusun Tanjung Aur berasal dari istilah “Aur”. Aur artinya “bamboo”. Memang Dusun ini memiliki banyak bamboo. Bambu yang banyak terletak di Tanjung.  Sehingga dikenal sebagai “Dusun Tanjung Aur.

Sedangkan Sungai Rambai dikenal “Muko-muko”. Muko-muko berarti “pangkal Dusun” Marga IX Koto. Sebagai daerah terdepan, maka Dusun ini memang dusun yang pertama kali ditemukan di Marga IX Koto dari arah Padang. Masyarakat sering menyebutkan sebagai “jalan Padang Lamo”.

Sebagai daerah “Muko-muko” maka di Dusun Rambai kemudian ditetapkan sebagai Pamuncak.

Setelah Sembilan dusun yang terdapat didalam Marga IX Koto dikenal juga Dusun Pulau Temiang. Temiang artinya “artinya bamboo”. Namun “temiang” disini berbeda dengan aur. Temiang merupakan “pipih berwarna kecoklatan” yang sering terdapat di bamboo. Sebelum mengambil bamboo, maka temiang biasanya dibersihkan. Selain akan mengganggu kulit menyebabkan gatal-gatal, temiang dihindarkan apabila hendak mengambil bamboo.

Nah. Cerita rakyat “Pulau Temiang” ketika mengambil bamboo maka terkena “pipih yang coklat. Temiang ini banyak terdapat di Pulau sehingga cerita tentang “Pulau Temiang” berarti ketika hendak mengambil bamboo terkena “pipih” bamboo yang terletak di sebuah Pulau.

Wilayah Pulau Temiang terletak didalam Dusun Teluk Kuali. Pulau Temiang terdiri dari Dusun Muara Danau, Sungai Kecil, Pemuataan, Kotojayo dan Teluk Loyang.

Pengaruh Pagaruyung begitu terasa. Maka struktur social kemudian menggunakan sistem matrilineal. Garis keturunan dari Ibu.

Struktur social di Marga IX Koto terdapat “ninik mamak”. Ninik mamak merupakan struktur social yang ditunjuk oleh masyarakat.

Dalam kerapatan adat, ninik mamak terdiri dari Kepala Dusun, orang tua yang bijaksana yang kemudian disebut “tuo tau”, pemangku agama yang terdiri dari Imam, Khatib dan bilal. Selain itu terdapat “Debalang Batin”. Debalang Batin merupakan tokoh Pemuda yang bisa bersifat bijaksana mengikuti pertemuan di Ninik Mamak sekaligus sebagai “orang yang lincah” untuk mengurusi urusan Dusun.

Debalang Batin berbeda dengan “kepak rambai hulubalang”. Apabila “kepak Rambai hulubalang bertugas “memanggil rapat”, menjemput ninik mamak atau pembesar negeri yang belum datang namun tidak bisa menjadi bagian dari rapat pemangku adat.

Namun Debalang Batin memang mempunyai fungsi khusus. Selain memastikan seluruh pemangku adat telah hadir, Debalang Batin juga menjadi bagian dari rapat pemangku adat. Posisinya sama dengan pemangku adat yang lain.

Begitu pentingnya posisi Debalang Batin, selain akan melaksanakan putusan rapat adat juga sebagai “orang kuat gawe” untuk melaksanakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga orang mudo. Debalang Batin bisa menggerakkan untuk meringankan pekerjaan di dusun.

Selain itu, Debalang Batin juga bisa berfikir bijaksana didalam rapat pemangku adat.

Dengan mengikuti sistem kekerabatan matrilineal, maka “urusan keluarga besar” diserahkan kepada Mamak. Mamak adalah “saudara lelaki dari Ibu” yang kemudian mengurusi urusan keluarga besar.

Pemangku keluarga atau “kepala keluarga “sedatuk” dikenal sebagai Tengganai. “Urusan sedatuk” ini biasa dikenal  Di daerah hulu, kaum biasa disebut juga “kalbu”. Sedangkan di sebagian daerah hilir Jambi, biasa disebut juga “guguk”.. Sebuah komunitas dari keturunan Ibu. Sebagaimana menjadi seloko “Anak sekato Bapak. Kemenakan sekato Mamak”.

Setiap perselisihan di dusun, maka diselesaikan dahulu antara Tengganai. Fungsi Tengganai sering disebut didalam seloko “rumah betengganai”.

Setelah itu, maka antara masing-masing pihak yang berselisih kemudian mempertemukan “mamak” yang kemudian diselesaikan dengan cara “ninik mamak’.

Hubungan struktur social antara ninik mamak yang didalamnya terdapat “tuo Tau”, Tengganai, pegawai syarak dengan Debalang batin begitu erat.

Di daerah hulu Sungai Batanghari seperti di Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang dikenal dengan seloko “elok negeri dengan yang tuo. ramai Negeri oleh yang mudo”.

Dalam perkawinan, Marga IX Koto sesuai dengan “syara’ agama’. Tidak mengenal “purbo sesso”. Istilah “purbo sesso” atau dengan dialek berbeda disebutkan “purbo sikso dikenal di Marga Pelawan. Dimana seloko ini mengandung ajaran “perkawinan dilarang” antara kedua mempelai  merupakan terdapat hubungan kekerabatan sesama perempuan.

Di Minangkabau juga dikenal perkawinan dilarang. Terutama perkawinan sesuku. Begitu juga dengan perkawinan yang dilarang “sasuku-saparuik”. Begitu juga perkawinan yang dilarang “sapasuan”.

Sebagai negeri Tuo, bakti kepada Negeri tidak perlu diragukan.

Menurut Zakaria, Asnawi didalam bukunya Rimbo Bujang Dalam Angka, Di saat program Transmigrasi tahun 1975[3] mulai dibuka, maka membutuhkan areal seluas 100.000 hektar.  Semula ditempatkan di daerah Rantau Ikil. Namun wilayah dibutuhkan tidak mencukupi sehingga dipindahkan ke daerah Rimbo Bujang sekarang.  Cerita tentang “Rimbo Bujang” akan disajikan dalam cerita yang terpisah.
Secara spontan maka Marga IX Koto kemudian memberikan wilayahnya yang dikenal daerah “Sungai Alai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah yang terletak Rimbo Bujang Unit 1, Unit 3, Unit 8 dan Unit 13. Kemudian menyusul Marga Tanah Sepenggal memberikan tanahnya yang kemudian dikenal Rimbo Bujang Unit 11, Marga Batin III yang kemudian dikenal daerah Rimbo Bujang Unit 7, Marga Bilangan V Tanah Tumbuh yang dikenal Rimbo Bujang unit 12 dan Marga Batin II Babeko di daerah Sungai Alai dan Alai ilir.

Pertemuan Batas Marga IX Koto dengan Marga II Babeko kemudian ditandai dengan penyebutan “Sungai Alai” di Marga IX Koto dan di Marga II Babeko di daerah “Alai Ilir”. Sungai Alai juga merupakan batas administrasi wilayah Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo.  

Sumbangan dari Marga IX Koto ini kemudian “koto yang ramai”. Menampakkan kemajuan yang besar. Bahkan Transmigrasi Rimbo Bujang merupakan pilot project transmigrasi yang sukses di Indonesia.

Sumbangsih dari Marga IX Koto dan kemudian diikuti dengan Marga Tanah Sepenggal, Marga Bilangan V, Marga Batin  III, Marga Batin II Babeko memberikan kemajuan di wilayah Rimbo Bujang sehingga memberikan income yang cukup besar terhadap Kabupaten Tebo.

Sehingga tidak salah kemudian Marga IX Koto sebagai negeri tua yang memberikan wilayah kepada negeri untuk kemakmuran rakyat di Rimbo Bujang.

Andil pertama Marga IX Koto dan kemudian diikuti oleh Marga-marga lain didalam Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo haruslah dimaknai sebagai “bakti” kepada Negara Indonesia. Sebagai kecintaan kepada Indonesia.

Sebuah pengorbanan yang tidak boleh diabaikan.



[1] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
[2] Pertemuan di Teluk Singkawang, 16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[3] Transmigrasi di Rimbo Bujang dimulai tanggal 9 Desember 1975. Lihat Zakaria, Asnawi. Rimbo Bujang Dalam Angka, Wiroto Agung: BPS, 2005.