19 Agustus 2016

opini musri nauli : Marga Pelepat



Dalam menyusuri jalan lintas Sumatera[1], di perbatasan Kabupaten Merangin dan memasuki Kabupaten Bungo, kita melewati Kantor Camat Pelepat.

Pelepat adalah nama Marga Pelepat yang termasuk kedalam Kabupaten Bungo. Didalam Peta Belanda tahun 1910 disebutkan Marga Pelepat berpusat “rantau Keloyang.

Di masyarakat, Pelepat disebut “Kampung Kasang”. Dusun tuo sementara yang kemudian ditinggalkan.

Dalam tutur di tengah masyarakat[2], Sejarah Pelepat dimulai dari “Puyang” tiga bersaudara. Masing-masing bernama Rio Anum, Rio Pamuncak dan Rio Mandaliko. Rio Anum berpusat di Dusun Danau, Rio Pamuncak di Senamat dan Rio Mandaliko di Sungai Gurun. Rio Mandaliko adalah seorang perempuan.

Istilah senamat masih menimbulkan berbagai versi. Versi pertama menyebutkan, kata senamat berasal dari istilah “seni amat”. Seni amat berarti adik bungsu. Atau terkecil. Sebagai adik bungsu atau terkecil ditandai dengan Batu patah sembilan (Menhir). Sedangkan versi kedua menyebutkan arti kata senamat berasal dari istilah senang amat. Senang amat berarti hidup senang.

Namun yang unik. Apabila Senamat Ulu masuk kedalam Bathin III Ulu, sedangkan Desa Senamat malah masuk kedalam Margo Pelepat. Jauh sekali letaknya.

Cerita ini juga ditemukan di Senamat Ulu yang termasuk kedalam Marga Batin III Ulu[3].

Wilayah Marga Pelepat cukup luas sehingga banyak berbatasan dengan Marga-marga sekitarnya. Memanjang mempertemukan wilayah Bangko dan Tebo.

Marga Pelepat berbatasan langsung dengan Marga Bilangan V, Marga III Ulu yang ditandai dengan nama tempat “Batang Senamat’, Batin III yang ditandai dengan Bukit yang terletak di Sungai Mengkuang, Marga Batin II-Babeko, Marga Petajin Hulu yang ditandai dengan nama Bukit Sepunggur, Marga Tabir yang ditandai dngan “Bukit Luncung atau bukit Besar di Rantau Panjang”, Marga Muara Kibul dan Marga Kibul.

Marga Tabir yang disebutkan adalah Marga Tabir Ilir. Sedangkan didalam Tembo Marga Batin III Ulu wilayah berbatasan dengan Marga Pelepat disebutkan di hulu Batang Senamat di hulu merupakan wilayah administasi Marga Batin III Ulu kemudian mengilir Sungai Senamat yang kemudian mengalir ke Batang Pelepat melewai Sungai Senamat.


Marga Batin III Ulu  dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo. Keterangan berbeda disampaikan oleh Ketua Lembaga Adat Bungo yang menyebutkan Dusun-dusun termasuk kedalam Marga Batin III Ulu yaitu Rantau Pandan, Muara Buat, Laman Panjang, Aur Cino dan Senamat Buat.

Sedangkan didalam Peta Belanda, Rantau Pandan termasuk kedalam Marga Batin V Bungo dan Muara Buat termasuk kedalam Marga Batin III Ulu.

Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino. Kampung kemudian dipimpin yang diberi gelar “rio”.

Senamat Ulu kemudian telah dikukuhkan sebagai sebagai wilayah adat sesuai dengan surat Keputusan Bupati Bungo Nomor 48 tahun 2009. Sedangkan hutannya kemudian disebut sebagai Huta Adat Bukit Bujang.

Sedangkan Dusun Lubuk Beringin yang termasuk Marga Batin III Ulu juga menetapkan Ndendang Hulu Sako – Batang Buat sebagai Hutan Desa berdasarkan Peraturan Dusun Lubuk Beringin Nomor 01 Tahun 2009.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Pelepat yaitu Dusun Danau, Dusun Senamat dan Dusun Sungai Gurun yang merupakan Dusun kakak beradik. Sedangkan Dusun Kotojayo merupakan wilayah Rio Anum. Dusun Senamat terdiri dari Bukit Telago, Sekampil dan Sungai Berajo. Sedangkan Dusun Rantau Keloyang dan Lubuk Telau merupakan wilayah yang termasuk kedalam Rio Mandaliko.

Dusun Batu Kerbau, Dusun Lubuk Telau yang mengaku “Puyang” Datuk Senaro Putih kemudian ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2006 dan hutan adat kemudian ditetapkan berdasarkan SK Bupati Bungo Nomor 1249 tahun 2002.

Pemberian tanah didalam Marga Pelepat biasa disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan.

Sebagai penghulu dari Marga Pelepat, Maka didusun Senamat kemudian disebut sebagai “rio Pamuncak”.

Marga Pelepat mempunyai cara didalam menyelesaikan. Seloko “Nengok tumbuh” adalah proses “pengaduan” dari salah satu terhadap setiap perselisihan.

Istilah “Nengok tumbuh” mirip dengan seloko “tumbuh diatas tumbuh” di Marga Sumay Kabupaten Tebo.

Nengok tumbuh  atau Tumbuh diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Nengok tumbuh  atau Tumbuh diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”. Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi.

Secara filosofi dapat dilihat dari nilai “Nengok tumbuh  atau tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari  Hubungan sebab akibat. Misalnya “meruak daging, merencong tulang”. “Meruak daging” adalah perkelahian yang menyebabkan luka. Sedangkan “merencong tulang” adalah perkelahian yang menyebabkan patah tulang. Para pihak yang bersengketa kemudian berunding untuk menyelesaikannya. Tahap ini kemudian dikenal dengan istilah “akad dulur”.

Pemikiran ini sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.

Dengan melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari Nengok tumbuh atau tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.

Didalam mengelola sumber daya alam dikenal istilah “Rimbo batuah”. Rimbo batuah juga dikenal di Marga Sungai Tenang dengan seloko “rimbo sunyi”, Rimbo keramat di Marga Sumay atau di Marga Batin Pengambang “teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”.

Daerah-daerah yang disebutkan didalam seloko adalah hutan primer (forest cover) yang tidak boleh dibuka. Didalam peta disebutkan sebagai kawasan lindung ataupun daerah kawasan konservasi.

Diluar daerah yang telah ditentukan tidak boleh dibuka, maka dibenarkan untuk membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”.

Seloko ini mirip dengan seloko “sesap rendah. jerami tinggi’ di Marga Sungai Tenang. Atau “tunggul pemarasan” di Marga Sumay.

Marga Pelepat kemudian menjadi Kecamatan Pelepat dan kemudian menjadi Kecamatan Pelepat dan Pelepat Ilir.

Dusun Sekampil, Bukit Telago, Sungai Gurun, Rantau Keloyang termasuk kedalam kecamatan Pelepat. Sedangkan Dusun Danau, Dusun Kotojayo termasuk kedalam Marga Pelepat Ilir.


Dimuat di Jambi Ekspress, 23 Agustus 2016




[1] Dikenal sebagai Lintas  Tengah Sumatera. Namun dalam perkembangannya, sering juga disebut “Lintas Sumatera”. Lintas Tengah sumatera untuk membedakan Lintas Timur Sumatera dan Lintas Barat Sumatera. Lintas Timur Sumatera menghubungkan Palembang, Jambi dan Pekanbaru. Sedangkan Lintas Barat Sumatera menghubungkan Padang dan Bengkulu. Lintas Tengah Sumatera memanjang (membelah tengah pulau Sumatera) yang menghubungkan mulai dari Bakauheni Bandar Lampung, Kota Bumi, (Lampung), Martapura, Baturaja, Prabumulih, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi, Lubuk Linggau (Sumsel), Sarolangun, Bangko, Muara Bungo (Jambi), Damasraya, Solok, Bukit Tinggi, Lubuk Sikaping (Sumbar), Muara Sipongi, Kotanopa, Penyabungan, Padang Sidempuan, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea, Pematang Siantar, Tebingi Tinggi  ke Medan (Sumut)
[2] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
[3] Rio Dusun Senamat Ulu,