20 Agustus 2016

opini musri nauli : Marga Simpang Tigo


Marga Simpang Tiga yang berpusat di Pauh kurang dikenal didalam document maupun literature. Nama Marga Simpang Tiga kemudian tenggelam dan lebih dikenal sebagai Pauh.

Simpang Tiga dalam artinya sama juga dikenal di Marga Pangkalan Jambu. Marga Pangkalan Jambu mengenal Simpang tiga dengan istilah “Tiga jalur’. Menunjukkan 3 orang Rio yang menguasai Marga Pangkalan Jambu. Yaitu Rio Niti, Rio Gumalo dan Rio Menang[1].

Pauh berdasarkan cerita “merantaunya dari hulu Pauh. Suatu tempat kemudian terdapat Batang bamboo. Diikatnya perahu dibatang Bambu kemudian disebut Pauh.

Disebut sebagai Simpang tiga disebabkan adanya Simpang tiga yang menuju ke Marga Air Hitam, menuju ke Jambi dan Menuju ke Sarolangun.

Marga Simpang Tiga terdiri dari Dusun-dusun seperti Pauh, Batu Ampar, Karang Mendapo, Pangindaran, Batu Kucing, Kasang Melintang, Pangkal Bulian, Samaran, Lubuk Napal, Sepintun, Lamban Sigatal.

Kepala Dusun disebut Depati.

Keseluruhan Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Simpang Tiga kemudian menjadi Desa yang termasuk kedalam Kecamatan Pauh.

Menurut tembo di Marga Simpang Tiga[2], wilayah Marga Simpang Tiga berbatasan dengan Marga Air Hitam ditandai dengan nama tempat “Lubuk Kepayang”, Marga Batin VI ditandai dengan daerah “Semapit besar” di Sungai Itam, Marga Batin V di Sarolangun yang berbatasan langsung dengan Pemusiran dan Marga Pelawan di Lubuk Sepuh. Selain itu juga langsung berbatasan dengan Propinsi Sumsel di Hulu Sungai Kapas.

Kepayang adalah jenis pohon yang tumbuh di hutan. Dulu “puyang” masyarakat menanam di hutan. Tumbuhnya cepat. Kayu dapat digunakan untuk dinding rumah. Minyaknya dapat digunakan sebagai minyak goreng.

Dengan demikian, maka  Desa yang langsung berbatasan dengan Desa didalam Marga Batin V –Sarolangun yaitu Desa Pangindaran dengan Desa Ladang Panjang.

Desa Batu Ampar merupakan kampong tertua sejak 1889, sebelum berada di Muaro Merangin dengan sebutan dusun Balai Melintang di pimpin oleh Depati Gelar Singo delago. Dan hingga 1916 kampung ini pindah ke seberang Sungai Tembesi hingga saat ini yang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Batu Ampar[3].

Penduduk Dusun Batu Ampar berasal dari Rawas, Palembang[4].

Dusun Karang Mendapo berasal dari sepasang suami istri dari daerah Aik Amo-Padang yang merantau ke Jambi[5].

Khabar ini akhirnya sampai ketelinga Rajo Jambi, kemudian Rajo Jambi mengunjungi sepasang suami istri ini. Kemudian Rajo Jambi berkata; ”kalau bigitu, dimana kamu minta tanah untuk tempat bermukim dan berladang”. Lalu sepasang suami istri ini diajak untuk menyusuri aliran sungai tembesi.

Sesampainya di Batu Napal yang melebar ke sungai tembesi, sepasang suami istri ini meminta kepada Raja Jambi untuk menetap disitu, dan Raja Jambi menyetujuinya. Keesokan harinya, mereka bajalan ke Ujung Tanjung.

Desa Karang Mendapo adalah Desa disatukannya beberapa dusun. Dusun yang disatukan tersebut adalah Dusun Karang Mendapo, Dusun Muaro Danau dan Dusun Teluk Gedang

Sedangkan disebut Kasang Melintang berasal dari kata “Kasang dan Melintang. Kasang berarti “kasai”, nama jenis pohon yang cuma terdapat di Kasang Melintang. Sedangkan disebutkan “melintang” disebabkan adanya pohon “kasai yang melintang di Sungai (menyuruk/menutupi sungai). Secara sekilas, akibat penutupan pohon kasai yang melintang menyebabkan sungai tidak terlihat. Sungai ini kemudian dikenal Batang Tembesi yang mengairi dusun-dusun di Marga Simpang Tiga.

Disebut “Pangkal Bulian’ karena banyaknya pohon bulian yang terdapat di pangkal (ujung) desa. Sedangkan Samaran yang merupakan bagian dari Pauh dimana terdapat tumbuhan yang dikenal “belami”. “Belami” kemudian menyamar dari Pauh sehingga kemudian disebut “samaran”.

Lubuk Napal dikenal sebagai nama tempat dimana di daerah lubuknya terdapat napal. Napal adalah batu yang licin yang biasanya terdapat daerah yang lembab.

 Ada keunikan tentang struktur social di Marga Simpang Tiga. Menurut masyarakat, mereka berikrar sebagai “Marga” bukan batin. Marga merupakan masyarakat pembarap (pendatang) sehingga diberi pemimpin dusun diberi gelar “depati. Sedangkan Batin merupakan penduduk asli yang pemimpin dusunnya biasa diberi gelar Rio atau Penghulu. Struktur ini dikenal didalam Marga Pelawan diberi gelar “Depati atau Rio namun juga mengenal “Penghulu” yang terdapat di Dusun Pulau Aro[6].

Namun di Marga Nan Tigo, masyarakat tidka mengenal “Depati atau Rio’”. Mereka mengenal Datuk yang menguasai tiga wilayah yaitu Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok.

Di Bungo, antara Depati atau Rio adalah jabatan yang sama. Rio menunjukkan asal pemimpin Dusun sebagai putra asli. Sedangkan Depati dianggap orang “Semendo”.

Keterangan ini kemudian didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana dikutip dari “memorie van Overgave, V.E. Korn, 1936[7]. Keterangan ini dapat dilihat Djambi, Tideman hanya menyebutkan “Rio atau Depati adalah Kepala Pemerintahan setingkat dusun[8]

Kecuali di Marga Jujuhan yang disebut Depati dan Rio. Namun di Dusun Empelu yang termasuk kedalam Marga Tanah Sepenggal dikenal “Rajo Penghulu”.

Di Bungo, antara Depati atau Rio adalah jabatan yang sama. Rio menunjukkan asal pemimpin Dusun sebagai putra asli. Sedangkan Depati dianggap orang “Semendo”.
Keterangan ini kemudian didukung oleh Elsbeth Locher Sholten sebagaimana dikutip dari “memorie van Overgave, V.E. Korn, 1936. Keterangan ini dapat dilihat Djambi, Tideman hanya menyebutkan “Rio atau Depati adalah Kepala Pemerintahan setingkat dusun”

Sedangkan didalam Marga Sungai Tenang, selain istilah Depati dan Rio, juga dikenal Mangku. Depati, Rio dan Mangku mempunyai kedudukan yang berbeda. Depati memangku pemerintahan setingkat dusun. Sedangkan Rio dan Mangku berfungsi memangku pemerintahan setingkat kampong.

Di Marga Sumay[9]Margo adalah kepala Pemerintahan. Pesirah merupakan orang semendo. Rio merupakan putra asli. Sedangkan Depati dan Bathin merupakan Kepala Pemerintahan di tingkat Dusun. Depati merupakan orang semendo. Bathin merupakan putra asli.

Dengan melihat keterangan yang disampaikan oleh dan F. J Tideman, maka ada perbedaan yang mendasar mengenai istilah “Rio”.

Didalam Marga Sumay, “Rio” adalah Kepala Pemerintahan Margo. “Rio” merupakan Putra Asli. Pernyataan ini didukung oleh Elizabeth justru menyebutkan “Rio pemimpin di tingkat Marga. Depati di tingkat Dusun”. Bandingkan dengan Keterangan F. J. Tideman yang menganggap “Rio” adalah Kepala Pemerintahan setingkat Dusun.

Sedangkan didalam Marga Sungai Tenang, Depati membawahi Rio atau Mangku. Misalnya Depati Suko Merajo yang membawahi “Rio Penganggung jagobayo di Tanjung Mudo, Depati Gento Rajo yang membawahi “Rio Pembarap” dan “Rio Gento Pedataran”. Depati Kuraco membawahi Rio Kemuyang.

Dengan demikian, maka didalam dokumen Tideman didalam buku klasiknya “Djambi” menyebutkan Rio dan Depati di wilayah dusun. Sedangkan Elizabeth “Rio” di tingkat Marga, sedangkan Depati di tingkat dusun didukung oleh dokumen Tijdschrift voor Nederlandsch IndiĆ«[10].



Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 Agustus 2016


[1] Zulkifli yang diberi gelar “Rajo Nan Putih, Desan Birun,  7 Agustus 2016
[2] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[3] Pertemuan Desa Batu Ampar, Batu Ampar, 3 Mei 2015
[4] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[5] Pertemuan Desa Karang Mendapo, Mei 2009, Dokument Walhi Jambi
[6] Zaini, tokoh adat Kecamatan Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[7] Elsbeth Locher-Schoten. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda.
[8]  Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938
[9] Sebagaimana disampaikan oleh Khatib Karim, Dusun Teliti, 22 Maret 2013
[10] Didalam “Tijdschrift Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap” tahun 1904 disebutkan Batin adalah “in het batin gebied staan de woningen in de doesoen”. Dengan demikian, maka Batin merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa rumah yang terletak di dusun.