27 Agustus 2016

opini musri nauli : Marga VII Koto

Marga VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.
Sebagai Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[2] dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[3].

Marga VII Koto mempunyai hubungan dengan Marga IX Koto. Disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.  Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.

Didalam tutur di tengah masyarakat[4], “beinduk ke Marga VII Koto. Bebapak kepada Marga IX Koto”. Dengan tuturan ini maka setiap proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu berpagar di batu[5].

Selain Marga Sumay, dikenal juga tiga dusun. Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan Dusun Sogo[6]. Ketiga dusun termasuk kedalam Dusun Bale Rajo[7].

Dalam Tambo Minangkabau[8], Nan salilik Gunuang Marapi, Saedaran Gunuang Pasaman, Sajajran Sago jo Singgalang, Saputaran Talang jo Kurinci, Dari sirangkak nan badangkang, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pinto rajo hilie, Hinggo durian ditakuak rajo, Sapisai-pisau hanyuik, Sialang balantak basi, Hinggo aia babaliak mudiak, Sampai ka ombak nan badabua, Sailiran batang sikilang, Hinggo lawuik nan sadidieh, Ka timua ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat Tunggua, Gunuang Mahalintang, Pasisie Rantau Sapuluah, Hinggo Taratak Aia Itam, Sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah

“Sialang Belantak besi, Tanjung Simalidu” merupakan nama tempat di Marga VII Koto.

Marga VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat[9]. Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur jalur Pagaruyung[10]”. Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan sebagai merupakan “ikua rantau”

“Puyang” Marga VII Koto “Rajo Hitam”. Ada juga menyebutkannya Raja Gagak. Mengilir dari Ulu Sungai Batanghari kemudian “bermukim” di dekat Tambun.

Namun ada juga versi yang menyebutkan “puyang” bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam” kemudian dikenal sebagai nama  Sarolangun.

Suta Suto Menggalo kemudian membawahi Kedemangan Niti Menggalo. Kedemangan Suto Yudho, Ngebi Kardelo dan Ngebi Tano Karti di Teluk Kembang, Jambu.

Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh, Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi salak”.

Sungai Mengkawas” adalah nama Sungai Batanghari.

Berbatasan dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”. Marga Bilangan V “tujuh nan tanah sepenggal hingga kabau nan basurek. Sungai Cempedak belarik”.

Berbatasan dengan Sumatera Barat yang ditandai dengan “Sungai tidak beulu. bermuara ke Sungai Mengkares. Tebing dalam tidak terturuni. Tebingi tinggi dak tedaki. Nampak masam sebelah”.

Dalam Tambo Minangkabau, disebutkan batas timur dengan “Tanjung Samalidu”. Tanjung Samalidu kemudian ditandai dengan nama “berjenjang dari sialang belantak besi lepas ke durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Samalidu menuju berajo nan sebatang. Seloko ini juga dikenal di Marga Jujuhan[11].

Berbatasan dengan Riau yang ditandai dengan “Tanah cindaku alit hingga alunan basibak, Bekal besibak[12].

Bekal nan besibak di kenal didalam Marga Sumay[13] sebagai batas langsung dengan Propinsi Riau. Selain Sebekal bekuak, bekal bekuak, dikenal juga Salo belarik”.

“Puyang” Marga VII Koto bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam” kemudian dikenal sebagai daerah Sarolangun.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga VII Koto adalah Dusun Tanjung, Dusun Sungai Abang, Dusun Kuamang, Dusun Tabun, Dusun Teluk Kepayang, Dusun Bale Rajo, Dusun Sukarame.

Disebut Sungai Abang dikisahkan seorang adik hendak mencari saudara laki-lakinya (Abang). Si Abang yang kemudian menyepi (betarak) kemudian ditemukan di sungai oleh si adik. Sungai inilah yang kemudian disebut sebagai dusun “Sungai Abang’.

Namun ada juga versi yang menyebutkan “Sungai Abang” berasal dari kata “Abang” yang berarti “merah”. Sungai itu banyak berisi darah karena tidak ada satupun “debalang raja” yang bisa masuk ke wilayah itu. Begitu banyaknya darah (abang), maka kemudian disebut Sungai Abang.

Disebut “Teluk Kepayang” karena di teluk banyak terdapat pohon “Kepayang”. Karena banyak kayu kepayang maka kemudian disebut sebagai “Dusun” Teluk Kepayang.

Sedangkan disebut “Bale Rajo” karena ditempat inilah adanya pertemuan Rajo dari Tanah Pilih dengan debalang Rajo. Sehingga kemudian disebut sebagai dusun Bale Rajo.

Sedangkan disebut “Sukarame” karena di tempat ini sering didatangi orang sehingga tempat ini selalu Ramai. Sehingga Dusun ini kemudian disebut “dusun Sukarame.

Didalam struktur masyarakat dikenal “Depati” Diatas Depati disebut Temenggung. Sedangkan Temenggung dibantu Penghulu Mudo.

Sedangkan tiga Dusun (Dusun Tuo, Dusun Sukarame dan Dusun Sogo) dibawah oleh Datuk Temenggung Suto Yudho.

Namun yang unik. Dusun Tanjung, Dusun Kuamang dan Dusun Cermin Alam mempunyai struktur di keluarga Ibu. Mereka mempunyai “datuk seibu”. Datuk seibu kemudian disebut  “Mamak”, kemudian “datuk Suku”

Didalam menyelesaian persoalan dimulai dari berjenjang naik betangkap turun. Dimulai dari “mamak”. Apabila tidak diselesaikan maka diselesaikan “datuk Suku”. Sedangkan tidak bisa diselesaikan juga maka diserahkan kepada “Mangku”. Namun apabila tidak bisa diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada negeri”. Proses ini dapat dilihat dari seloko “tua betengganai, negeri bebatin”

Mangku terdiri dari “ninik mamak, tuo kampong, cerdik pandai, pegawai syara’.

Melihat persoalan yang timbul, maka menggunakan seloko “tumbuh diatas tumbuh. Tegak kedalam”. Tumbuh diatas tumbuh juga dikenal di Marga Sumay. Sedangkan di Marga IX Koto disebut “nengok tumbuh”. Sebagaimana seloko “Belum gajah lalu, belum rumput rendah. Belum enggang lalu, belumlah rantinglah patah”

Pelanggaran adat dijatuhi denda berdasarkan kesalahannya. Tingkatannya “ayam sekok. Beras segantang, selemak-semanis, kemudian “kambing sekok, beras sepuluh, selemak-semanis”, dan yang terberat “kerbau sekok, beras seratus, selemak-semanis”.

Untuk menyelesaikan persoalan rumit maka dapat menggunakan kiasan “fajarlah menyingsing. Murailah bekicau. Kilat beliung lah kekaki. Kilat cermin lah kemuko.

Didalam menyelesaikan persoalan adat maka harus bijaksana seperti ujaran            “anak buayo tegontang-gontang. Anak cigak dalam perahu. Nak beiyo takut tehutang. Nak beidak oranglah tahu”.

Terhadap pelanggaran yang tidak mau dibayar maka dikenal “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau[14]

Di Marga Sungai Tenang dikenal “Plali”. Seloko Bapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.

Namun apabila kemudian ”sang kena denda” meminta maaf dan mau membayar denda, maka harus dilakukan upacara adat untuk menyelesaikannya.

Karena ”Raja tidak boleh menolak sembah. Teluk dak boleh nolak limpahan kapar

Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga Tabir Ilir, Marga Sumay dan Marga Jujuhan  tahun 1934 menjadi “onderafdeeling” Muara Bungo[15]. “Onderafdeeling” dikepalai oleh seorang “Controleur (Kontrolur). Onderafdeeling terdiri dari district yang dikepalai oleh Demang. Distrik terdiri atas onderdistrik yang dikepalai asisten Demang. Onderdistrik terdiri dari Marga yang dikepalai oleh Pesirah atau Depati[16].

Marg VII Koto kemudian menjadi Kecamatan VII Koto dan kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo.

Desa-desa didalam Kecamatan VII Koto adalah Desa Dusun Baru, Desa Kuamang, Desa Muara Niro, Desa Muara Tabun, Desa Pucuk Jambi, Desa Sungai Abang, Desa Tabun, Desa Teluk Lancang dan Desa Teluk Kayu Putih.

Sedangkan Desa didalam Kecamatan VII Koto Ilir adalah Desa Balai Rajo, Desa Cermin Alam, Desa Paseban, Desa Karang, Desa Teluk Kepayang Pulau Indah dan Desa Pasir Mayang.




[1] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016. Cikman, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari.
[2] Kerajaan Tanah Pilih merupakan Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live as Brothers : Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas Hawaii Press, Hal. 260
[3] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[4] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[5] Pertemuan di Rumah Pak Saiful. Dihadiri Ismail (mantan Kades Cermin Alam), Syargawi (mantan Sekdes Sungai Abang), Anwar (Ketua Lembaga Adat Kecamatan VII Koto dan Cucu Pesirah), dan Saiful.
[6] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[7] Syargawi dan Saiful, Rumah Saiful, 26 Agustus 2016
[8] H. Datoek Toeh, Tambo Alam Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukit Tinggi, 1930
[9] Barbara W Andaya, Cash Cropping and Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18 th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[10] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera 
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 
2008, Hal. 43
[11] Samson, Desa Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[12] Secara lengkap akan dituliskan dalam catatan terpisah
[13] Khatib Karim, mantan Ketua Lembaga Adat  Kecamatan Sumay, 22 Maret 2013 dan Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, 17 Maret 2013
[14] Langau adalah “lalat hijau”
[15] Tideman, Djambi, Kolonial Instituut Amsterdam, 1938, Hal. 283
[16] Ibrahmi Alfian, Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sumatera Selatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, Hal. 58