09 Agustus 2016

opini musri nauli : Perkawinan yang dilarang





Didalam berbagai pranata adat, masih dikenal perkawinan yang dilarang. Di adat Batak selain tidak diperkenankan perkawinan sesama Marga (Mariboto), maka dikenal juga perkawinan yang dilarang dalam ikrar tertentu (Marpadan). Misalnya Hutabarat dan Silaban, Manullang dan Panjaitan dan seterusnya. Atau tidak boleh menikah anak perempuan dari Saudara perempuan dari Ayah (Berpariban).

Di Minangkabau juga dikenal perkawinan dilarang. Terutama perkawinan sesuku. Begitu juga dengan perkawinan yang dilarang “sasuku-saparuik”. Begitu juga perkawinan yang dilarang “sapasuan”.

Di Jambi, terutama di Marga Pelawan juga dikenal perkawinan yang dilarang[1]. Seperti perkawinan yang dilarang yang dikenal “Memutuskan (Mewali). Perkawinan ini adalah kedua sepasang pengantin berasal dari besan sama-sama laki-laki yang bersaudara.

Perkawinan dilarang disebabkan, para besan merupakan “memutuskan” dan bertindak sebagai wali.

Dengan demikian, maka “Adik perempuan kau”, atau “Anak sanak betino” dilarang menjadi penghalang perkawinan. Peraturan ini sangat ketat dan sangat dilarang. Marga Pangkalan Jambu juga mengenal perkawinan yang dilarang[2].

Fungsi Kepala Dusun yang kemudian memutuskan sehingga tidak bisa dilaksanakan perkawinan. Begitu pentingnya Kepala Dusun untuk “memastikan” proses perkawinan, maka Kepala Dusun dapat mengukur dan menilai dari derajat keluarga dari dusunnya. Sehingga tidak salah kemudian Kepala Dusun dikenal “Anak Jantan. Anak Betino”. Artinya, Kepala Dusun dapat bertindak sebagai “mengetahui” anak Jantan dan anak Betino” dari derajat keluarga dari masing-masing calon pengantin. Sehingga Kepala Dusun bertindak sebagai “filter” untuk menghindarkan terjadinya perkawinan yang dilarang.

Begitu juga perkawinan yang dilarang dimana hubungan antara kedua besan merupakan saudara sama-sama perempuan. Biasa dikenal dengan istilah “Purbo sikso”. Walaupun kemudian dilaksanakan perkawinan, maka dapat dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok. Beras 20, selemak semanis”.

Sanksi begitu tegas. Sehingga terhadap sanksi yang dijatuhkan ternyata tidak dibayar oleh keluarga besar (kalbu/guguk/kaum), maka terhadap seluruh prosesi perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Kepala Dusun begitu berfungsi sehingga prosesi perkawinan yang tidak dapat dilaksanakan dengan istilah “tidak diulur antar’. Terhadap proses perkawinan yang kemudian tidak dilaksanakan, maka prosesi perkawinan tidak dapat dilaksanakan di dusun.

Sedangkan di Marga Pangkalan Jambu juga mengenal dengan istilah “Purbo Pusako”. Dengan pengertian, kedua mempelai merupakan pembawa pusako dari kalbu.

Kalbu adalah Satu keturunan besar. Istilah Kalbu terdapat di berbagai Marga atau Batin di berbagai tempat di Jambi.

Di daerah Kotamadya Jambi selain kalbu juga mengenal “guguk’. Kalbu atau “Guguk”
mengingatkan sistem kekerabatan di Sumatera Barat. Sering disebut Kaum. Kaum dikenal di Muko-muko (Bengkulu), Kerinci dan dataran tinggi di Merangin.

Sedangkan terhadap perkawinan yang dibenarkan biasa dikenal “Anak Bako”. Anak bako adalah tali kerabat induk bako anak pisang adalah hubungan antara seorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-laki ibunya atau sebaliknya[3].

Menurut Zulyani Hidayah[4], Pihak pemberi lelaki (Sumando) bagi seorang anak disebut bako. Sedangkan pihak penerima lelaki disebut anak pisang. Ikatan kekerabatan secara adat antara pihak bako disebut pasumandan.  Chairul Anwar didalam bukunya “Menindjau Hukum Adat Minangkabau”, juga menyebutkannya“[5]. Begitu juga didalam buku “Hukum Kekerabatan Adat, Hilman Hadikusuma menyebutkannya[6].

Perkawinan demikian lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah mengawini kemenakan ayah. A.A Navis menyebutkannya “Perkawinan Ideal”. [7].

Dimuat di Jambi Pos Online, 11 Agustus 2016

http://www.jambipos-online.com/2016/08/perkawinan-yang-dilarang.html



[1] Zaini, Tokoh Adat Kecamatan Pelawan, Sarolangun, 5 Agustus 2016
[2] Zulkifli bergelar Datuk Rajo Nan Putih, Birun, Kecamatan Pangkalan Jambu, 7 Agustus 2016
[3] Sistem Kekerabatan dalam Masyarakat Pedesaan daerah Sumatera Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983, Hal. 88.
[4] Zulyani HIdaya, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Pustaka Obor, Jakarta,  2015, Hal. 260
[5] Chairul Anwar didalam bukunya “Menindjau Hukum Adat Minangkabau”, Penerbit Segara, Hal. 62-63 “
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, 1987, Hal. 77
[7] A. A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta, 1984, Hal. 194