20 Agustus 2016

opini musri nauli : Salah bujang dan gadis


Sebagai anak remaja, Bujang dan Gadis (dibaca Lelaki dan perempuan belum berkeluarga) mempunyai tatanan social sehingga tidak boleh menimbulkan fitnah. Fitnah “bujang dan gadis” tidak sesuai dengan seloko “salah liek. salah pandang’. Bahasa ini kemudian disebut sebagai “sumbang” dalam pergaulan. Sumbang ini kemudian dapat menjadi “sumbang penglihatan, sumbang pendengaran”, sumbang kedudukan.

Di tengah masyarakat di Jambi, aturan terhadap “bujang dan gadis” sangat ketat. Dari kesusilaan terhadap “bujang dan gadis” dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Salah Bujang dan gadis

Salah bujang dan gadis dikategorikan apabila “Salah bujang dan gadis”. Sang Bujang dan gadis.

Sang Bujang telah membawa sang Gadis kerumah orang tua sang Bujang. “Sumbang” kata tetangga.
Sudah melompat tanah yang sepenggal. Melompat kato yang selangkah adalah Seloko untuk menentukan kesalahan dari  Sang Bujang dan gadis.

Sanksinya “Kambing sekok. Beras 20. 2 kayu kain. Dan harus dikawini”.

Sang Gadis “tidak dibenarkan” dibawa sang Bujang kerumahnya sebelum dilaksanakan perkawinan.

Dengan sistem perkawinan matrilineal, maka Sang lelaki yang yang harus kerumah sang perempuan.

Prosesnya cukup panjang. Dimulai dari “sisik siang”, “tunang”, duduk betunang”, mengantar sirih, mengembang tando, mengantar serah, dan “betunak”.

Sehingga tidak melewati proses menimbulkan “sumbang” (fitnah kepada keduanya), maka kemudian dijatuhi sanksi adat. Keduanya harus dinikahkan untuk menghindarkan fitnah kepada sang perempuan.

Bersalah Bujang dengan Gadis

Sang bujang dan sang perempuan. Melakukan perbuatan yang tidak sepantasnya di negeri sehingga menimbulkan kehebohan.

Seloko ini dapat dilihat “Tebulah beruas. Ubilah berisi”.

Sanksinya “kambing sekok. beras 20. selemak-semanis-seasin-segaram. Kain 4 kayu”.

Mengenai proses pernikahan sesuai dengan syariat agama. Sehingga sang lelaki harus mengawinkan perempuan.

Salah Bujang dan Gadis

Kesalahan ini tidak sesuai dengan seloko “Duduk mengintai gelap. Tegak mengintai sunyi[1] di Marga Sungai Tenang. Atau Di Marga Pelepat disebut seloko ”berunding tempat sepi. Duduk di tempat lain[2].

Perginya kedua pasangan dan duduk di tempat gelap merupakan pelanggaran di kampung. Sehingga keduanya kemudian ditanya. Apakah hendak melanjutkan hubungan lebih jauha tau tidak. Apabila hubungan hendak serius, maka perkawinan dapat dilangsungkan. Sedangkan apabila sang perempuan tidak hendak melanjutkan hubungan serius, maka perkawinan tidak bisa dilakukan.

Namun sanksi adat tetap dijatuhi ”kambing sekok. Beras 20”. Namun apabila dirasakan cukup berat, maka denda ”kambing” bisa digantikan 2 ekok ayam. Yang penting ”kakinya 4”. 4 kaki diibaratkan 2 ekor ayam pengganti satu kambing[3].

Bersalahnya Bujang. Gadis Dak mau

Cara ini dilakukan sang Bujang namun sang Gadis tidak mau diperlakukan tidak sepantasnya.

Dengan cara yang dilakukan oleh Sang Bujang, membuat sang gadis ”berteriak” atau membuat sang gadis menangis.

Sanksinya adalah ”kambing sekok. Beras 20. kain 2 kayu”. Dan Sang Gadis tidak boleh dikawini oleh sang Bujang.

Salah Gadis. Bujang Dak Mau

Peristiwa ini mengingatkan kisah Nabi Yusuf yang hendak digoda seorang wanita bernama ”Zulaikha”.

Dengan ketampanan Nabi Yusuf, seorang perempuan menggoda Yusuf dan menutup pintu-pintu dengan berkata ”Marilah kesini Yusuf[4]”.

Ketika Nabi Yusuf tidak mau menuruti kehendak Zulaikha”, maka Zulaikha menyebarkan berita ”Nabi Yusuf menggodanya”.

Islam kemudian menerangkan peristiwa dengan melihat peristiwa sebenarnya. Dengan melihat baju Nabi Yusuf yang koyak di belakang, maka Zulaikhalah yang menggoda Nabi Yusuf.

Dalam peristiwa ini kemudian disebut ”gadis dihutang” dengan seloko ”pekik terpingkal. Tekejar telah”.

Sanksinya adalah ”kambing sekok. Beras 20”. Dan sang Gadis tidak boleh dikawini.

Melihat berbagai seloko untuk menentukan kesalahan dalam kesusilaan, maka Hukum adat menempatkan perempuan begitu mulia. Kehormatan perempuan yang dijaga adat untuk menghindarkan fitnah dan timbullah syak wasangka kepada perempuan.

Bahkan hendak bertamupun, apabila tidak ada lelaki, maka tidak dibenarkan masuk dan hanya berdiri di bawah panggung rumah sembari menunggu lelaki datang untuk menyambut tamu. Seloko ini ditandai dengan ” Sebaris bendul dimuko. Itu cio jopakai. Sebaris bendul di tengah. Itu larang pantang[5].

Begitu juga hendak mandi di Sungai. Selain tempat yang terpisah antara lelaki dan perempuan, maka lelaki baru boleh turun setelah harilah terang. Tidak dibenarkan ketika perempuan masih di sungai, lelaki hendak ke sungai. ”Tepian nan bepaga baso. Jamban nan bepandang mato”.

Rasa penghormatan  dan  menjaga kecantikan sang perempuan itu ditunjukkan dengan seloko ”Cantiknyo alang kepalang. Bak bidadari turun dari surgo.  Mukonya bak bulan penuh. Pipih bagai pauh dilayang. Alis mata bak semut beriring. Bibir tipis bak jeruk diiris. Katup mulut bak delima merekah. Rambut hitam bergelombang. Betisnya bagai jelipung tumbuh. Tumitnya bagai dusun tunggal. Hidungnya mancung bak bungkal bawang merah. Kulitnya kuning langsat. Pinggangnya ramping bak biola cino.




[1] Marga Sungai Tenang
[2] Marga Pelepat, Zulkifli, Desa Senamat, 15 Agustus 2016
[3] Zulkifli, Desa Senamat, 15 Agustus 2016
[4] Surat Yusuf ayat 23
[5] Buku Pedoman Adat Bungo, Lembaga Adat Melayu Jambi, 2004