08 September 2016

opini musri nauli : Marga Jujuhan


Marga Jujuhan dikenal sebagai Marga yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Barat. Didalam Tembo Propinsi Jambi, “berjenjang dari Sialang Belantak Besi, lepas dari Durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Semelidu menuju Berajo Nan Seberang”.
Nama-nama tempat seperti “Sialang belantak besi”, “Durian takuk Rajo”, “Tanjung Samalidu” dikenal didalam Marga VII Koto.

Jujuhan adalah nama tempat di Sungai Sarot  yang merupakan akar yang berjalin-jalin. Sungai Sarot kemudian dikenal sebagai “anak sungai yang menyongsong induk”. Makna “anak sungai menyongsong induk” adalah pertemuan anak Sungai dengan alur hulu Sungai Batanghari dari Damasraya. Sehingga “anak sungai menyongsong induk” kemudian diartikan sebagai pertemuan anak sungai dengan “membelah” Sungai Batanghari dan kemudian “mengilir” ke Sungai Batanghari (mengikuti alur sungai Batanghari).  

Pertemuan antara anak Sungai Sarot dengan Sungai Batanghari dari Hulu Damasraya kemudian dikenal “Jumpa”. Namun dialek kemudian menjadi “Jumbak”. Tempat ini kemudian dapat dilihat di Dusun Jumbak

Tempat ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja Pagaruyung.

Didalam tutur di masyarakat[1], dikenal “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah”. Tutur ini kemudian menjadi slogan dan symbol Propinsi Jambi dan menjadi “Semangat pemersatu” aliran-aliran Sungai. Sungai-sungai besar biasa disebut “batang”. Sehingga Sembilan “batang” yaitu Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Pelepat, Batang Tabir, Batang Asai dan Batang Merangin. Pertemuan seluruh “batang” kemudian “Mengilir” sungai Batanghari yang panjang kemudian “ke laut lepas” yang disebut “laut lepas” yang kemudian dikenal Laut China Selatan di muka Pulau Berhala.

Sejarah “Puyang” berasal dari tutur yang dikenal “Raja gagak hitam. Raja Gagak kemudian mempunyai keturunan yang dikenal Tapak Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak Kudung”.

Marga Jujuhan berbatasan langsung dengan Propinsi Sumbar yang ditandai dengan tembo “Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur gading, Talang pembesun (di Rimbo Bujang). Juga berbatasan dengan Marga VII Koto, Marga Tanah Sepenggal dan Batin II Pelayang. Batin II Pelayang sering juga disebut Marga Batin II Babeko.  

Marga Jujuhan berpusat di Rantau Ikil.

Marga Jujuhan terdiri Dusun Jumbak, Dusun Pulau Batu, Dusun Rantau Ikil. Setiap Dusun dipimpin seorang Rio.

Kata “Jumbak” berasal dari kata “jumpa”. Perjumpaan atau pertemuan antara Sungai Sarot dengan Sungai Batanghari.

Jumbak terdiri dari Dusun Rantau Panjang, Jumbak, Tepian Danto, Aur Gading, Talang Tembesun.

Disebut sebagai “Pulau Batu” disebabkan di pulau adanya batu. Daerah ini kemudian dikenal sebagai tempat “Depati Sumarangen”.

Pulau Batu terdiri dari kampong Lubuk Tenam, Bukit Sari, Sari Mulya.

Rantau Ikil terdiri dari kampong Sirih Sekapur, Ujung Tanjung, Pulau Jelmu, Dusun Baru Balai Panjang dan Tanjung Belit.  Sirih Sekapur  semula bernama Sri Sungai Kaper.

Marga Jujuhan dipimpin oleh Pesirah. Dan setiap Dusun kemudian dipimpin oleh Rio.

Dusun Jumbak dikenal Rio Petinggi dan Rio Agung. Sedangkan Pulau Batu dipimpin oleh Depati.

Tempat untuk menyelesaikan persoalan yang disbut Balairung.

Struktur adat ditandai dengan Banjar.  Istilah Banjar menunjuk kepada berbarisnya rumah-rumah yang terdiri dari 2 rumah atau 3 rumah.

Kemudian diikuti kampong, Batin dan Negeri.

Di berbagai tempat biasa disebut “kampong betuo, datuk bebatin dan Raja negeri”. Maknanya adalah setiap putusan baik putusan tuo kampong, datuk batin dan Raja negeri” harus diikuti oleh masyarakat berdasarkan tingkatannya.

Hak Raja menerapkan sanksi terhadap kesalahan seperti Jari patah, tulang sekehendak, daging sesayat, darah setitik dan ayam sehebo.

Jari patah adalah penganiayaan yang menyebabkan persendian terkilir. Tulang sekehendak adalah patah tulang.

Sedangkan daging sesayat adalah penganiayaan menyebabkan luka parah. Dan darah setitik adalah penganiayaan yang menyebabkan luka yang menyembur.

Selain itu juga dikenal kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat adalah istilah lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali tidak boleh dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”, diambil dengan menggunakan kayu yang panjang.

Selain itu terhadap kesalahan kesusilaan yang membuat gempar dikampung seperti Memetik bunga setangkai, Mandi di pancuran gading, Menikam bumi dan Mencacak telur.

Memetik bunga setangkai adalah mengganggu adik perempuan istri atau keluarga istri. Mandi di pancuran gading adalah mengganggu istri orang lain lain. Menikam bumi adalah melakukan perbuatan zinah terhadap Ibu kandung dan mencacak telur adalah berbuat kesusilaan terhadap anak perempuan kandung.

Kesemuanya harus diselesaikan di tingkat Negeri atau di tingkat Raja. Tidak dapat diselesaikan di tingkat nenek mamak atau di tingkat Datuk.

Setiap sanksi adat dikenal “sekok ayam. beras segantang. Asam segaram dan kain sekayu”, kambing sekok, beras 10 gantang, asam segaram.   kain  4 kayu dan “Jawi sekok, beras 100 gantang, asam segaram.  kain 6 kayu.

Namun terhadap kesalahan seperti Memetika bunga setangkai, mandi di pancuran gading, menikam bumi dan mencacak telur selain dijatuhi sanksi seperti “Jawi sekok, beras 100 gantang, asam segaram.  kain 6 kayu” juga dijatuhi hukuman lukah.

Lukah adalah alat menangkap ikan berupa bamboo atau rotan yang di mukanya terdapat lobang sehingga ikan masuk kedalam perangkap lukah.

Kedua pelanggar kemudian dimasukkan kedalam lukah dan kemudian dibuang kedalam sungai.

Jawi adalah penamaan untuk sapi. Terhadap sanksi Jawi cuma dikenal di Marga Jujuhan. Di marga lain, hanya mengenal “kerbau sekok” sebagai bentuk sanksi tertinggi.

Dalam prosesi adat, dikenal “sirih sekapur” dan Pisau yang gagangnya  harus menghadap nenek Mamak. Penempatan gagang pisau dihadapan nenek mamak sebagai tanda bakti dan bersedia melaksanakan putusan nenek mamak.

Selain itu juga dikenal prosesi yang biasa disebut “tepung tawar”.

Sirih sekapur dan tepung tawar adalah proses sebagai tanda bakti dari masyarakat terhadap penghormatan masyarakat terhadap hukum adat.

Salah penempatan gagang pisau mempunyai konsekwensi. Gagang pisau di hadapan sang pengadu ataupun sang pengantar,  “membuktikan” sang pengantar tidak bersedia untuk melaksanakan putusan nenek mamak.

Setiap perselisihan adat kemudian mempertemukan kedua belah yang dipimpin oleh nenek mamak.

Prosesi ini masih berlaku dan dihormati masyarakat didalam Marga Jujuhan.

Marga Jujuhan kemudian menjadi Kecamatan Jujuhan dan kemudian berkembang menjadi Kecamatan Jujuhan dan kecamatan Jujuhan Ilir.

Kecamatan Jujuhan terdiri dari Desa Baru Balai Panjang, Desa Jumbak, Desa Jelmu, Rantau Ikil, Desa Rantau Panjang, Desa Sirih Sekapur, Desa Siri Sekapur Perkembangan, Desa Talang Pemesun (Pamesun),  Desa Tanjung Belit dan Desa Ujung Tanjung

Kecamatan Jujuhan Ilir terdiri dari Desa Aur Gading, Desa Bukit Sari, Desa Kuamang, Desa Lubuk Tenam, Desa Pulau Batu, Desa Sari Mulya dan Desa Tepian Danto.




[1] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016