04 September 2016

opini musri nauli : Polaroon


Polaroon” demikian disebut Nathaniel Courthope, komandan dua Kapal, Swan dan Defence, 23 Desember 1616 m[1]. Courthope kemudian dikenal sebagai “pejuang” yang mempertahankan Pulau Rum dari serangan Belanda. Kisah “heroic” ini kemudian membuat Inggeris dan Belanda sepakat menukar “Polaroon” dengan Manhattan di Negara bagian Amerika.

Polaroon” atau “Pulau Run” atau “Pulau Rum” adalah “ambisi Kerajaan Eropa awal Abad XVI. Kedatangan Portugis tahun 1512 m yang membawa “cerita” pala dapat digunakan sebagai obat yang menewaskan 38 ribu orang di London awal abad XVI.

Pertarungan Portugis, Spanyol, Inggeris dan terakhir Belanda membuat “pala” lebih dicari dari “emas” di Hindia Belanda. Dengan “sejumput” pala rela ditukar “segenggam emas” di pasar gelap Eropa, membuat Kerajaan Portugis, Spanyol kemudian Inggeris dan Belanda “mempersiapkan kongsi dagang untuk menjelajahi Timur Indonesia.

Dengan khasiat “pala” yang membuat harga membumbung di Eropa, persiapan “jalur” sutra rempah-rempah menjadi impian dan mengembalikan kejayaan Eropa setelah perang panjang memasuki awal abad XVI.

Namun cerita “pala” di tengah daratan Eropa kemudian tenggelam dengan hiruk-pikuk peradaban.

Dengan mengusung “khasiat” Pala, Polaroom menjadi tarik menarik dan cerita pelayaran paling mengerikan dalam sejarah maritime Eropa. Cerita Pala kemudian “memasuki” masa suram dan menjadi sebuah titik dari peta-peta dunia.

Dengan menggunakan “feri” Pelni menyeberang dari Ternata selama 20 menit, cerita Pala kemudian “sepi” dari Pelabuhan penyeberangan Rum-Tidore. Secara sekilas tidak pernah tersisa dari “pelabuhan” paling diimpikan bangsa Eropa.

Pelabuhan kecil dan sepi dari “Rum-Tidore” hanya menyisakan “rasa” tidak berbekas.

Tidore “ketinggalan” gemerlap dari Ternate yang sudah “mempersiapkan” sebagai kota pelabuhan. Pelabuhan Ternate melayani rute kapal menuju ke pulau-pulau sekitarnya seperti Halmahare, Bacan, Morotai, Ambon, Bitung dan Manado. Namun pelabuhan Rum cuma “sekedar” tempat perlintasan yang luput dari sejarah peradaban. Berbeda dengan Ternate yang “mempersiapkan” pelabuhan sebagai “central” untuk menuju berbagai pulau-pulau yang dapat dilayari dengan rute yang rutin setiap hari.

Dengan “keisolasian”, Pelabuhan Rum-Tidore, praktis aktivitas masyarakat menjadi daerah sunyi di malam hari. Bahkan sarana pendukung seperti penginapan “tidak mendukung” sebagai sector pariwisata.

Namun di tengah “kesunyikan” peradaban pala dan cengkeh, sebuah perkampungan yang beranjak naik bukit setelah menyusuri laut Maluku selama 30 menit, terdapat perkampungan “Kalaodi”. Sebuah peradaban yang kemudian mengajarkan “makna” hutan.

Menurut tutur masyarakat, “Kalaodi” berarti “orang yang punya amanat”. Seorang “titisan dari langit” yang menjalankan tugas untuk “membenahi negeri”. Makna ini serupa dengan “Fora Madiahi”. Fora Madiahi  adalah perkampungan tua di Ternate.

Dola mempunyai arti “jalan potong, Kampung Dola kemudian disebut “jalan potong” karena membelah jalur yang menuju ke Kampung Dola. Kola merupakan “selempang” yang terdapat pakaian adat. Kola masuk ke Kalaodi kemudian menjadi bagian dari Kalaodi. Sedangkan Galili disebut sebagai “pelindung”. Sebagai “pelindung” Galili kemudian dikenal sebagai “sumber mata air” yang menjaga air untuk satu kepulauan Tidore[2]. Sedangkan “Suom” merupakan nama pohon yang terdapat di Suom. Pohon ini adalah satu-satunya yang hidup dan terdapat di Suom.

Kalaodi merupakan “soa”. Soa setingkat Desa. Kalaodi terdiri dari Dola, Kola, Golili dan Suom.

Kalaodi berbatasan dengan Dola, Kola, Golili dan Suom. Dengan Kola berbatasan alam yang ditandai dengan “Kali dilang”. Dola dengan Galili ditandai dengan Kali Dutu. Dan Galili dengan Suom ditandai dengan Gunung. Kesemuanya berbatasan dengan tanda-tanda masih dapat dilihat hingga sekarang.

Sedangkan batas Kalaodi dengan desa-desa sekitarnya yaitu dengan Desa Gurabunga yang ditandai dengan Kalo Fura. Dengan Desa Jaya yang ditandai dengan Kali Ake oti. Dengan Desa Fobaharu yang ditandai dengan Sungai Ake Oti. Desa Talaga ditandai dengan jurang yang disebut “muso bulo” dan jurang “luku celeng”. Dan Desa Duora yang ditandai dengan “kali Ake dolah”

Kalaodi “dikenal” sebagai masyarakat yang menanama Pala dan Cengkeh. Bahkan “peradaban” menanam Pala dan Cengkeh inilah yang kemudian dituliskan oleh Kapten Swan, Nathaniel Courthope “Pulau itu sudah bisa tercium sebelum terlihat. Dari jarak sepuluh mili lebih ke laut, suatu aroma menggelayut dan jauh sebelum Gunung mirip topi pemain kriket terlihat di cakrawala, Anda tahu sedang mendekati daratan”

Dahulu, Soa Kalaodi dipimpin seorang pemangku yang kemudian disebut “Himo-himo”. Himo-himo terpisah dari Kerajaan Tidore. Kalaodi kemudian menjadi Kelurahan Kalaodi dan termasuk kedalam Kota Tidore.

Didalam mengatur pengelolaan hutan, masyarakat Kalaodi menata hutan dengan “melarang membuka hutan bamboo”. Hutan Bambu tidak boleh dibuka berfungi sebagai penyangga menjaga asupan air. Hutan bamboo sebagai “penyangga asupan” air Kepulauan Tidore sehingga Kepulauan Tidore mempunyai “cadangan” air tanah. Bambu juga ditanami daerah-daerah curam, jurang dan terjal.

Cerita ini begitu hidup sehingga “kekuatan masyarakat” menjaga hutan bamboo selain sebagai penyangga air maka memberikan “rasa aman” ketersediaan air untuk Kepulauan Tidore.

Bambu boleh digunakan untuk segala kebutuhan seperti membangun rumah, kebutuhan teknologi di kampong. Namun hutan bamboo tidak boleh dibuka untuk ditanami pala atau cengkeh. Begitu juga makam-makam keramat yang merupakan “puyang” dari masyarakat Kalaodi.

Selain itu tidak dibenarkan untuk menebang pohon durian, tanaman pala dan cengkeh. Pala dan cengkeh yang mati akan digantikan dengan bibit yang baru. Setiap pelanggaran, maka diharuskan menanam kembali. Pelanggaran ini disebut “”bobato”. Dalam ujaran disebut “Hutu mongolo Some sagarunga mangan. Iso To Mabanga. Soho sejaras Mangan’. Kelaut dimakan Buaya. Ke darat dimakan Gunung.

Nilai ini juga dikenal dalam Seloko Jambi “Plali”. “Bebapak pada harimau. Berinduk pada Gajah. Berkambing pada Kijang. Berayam pada Kuawo”. Atau “begantung idak betali”.

Dalam pengaturan hutan adat, maka masyarakat kemudian mengenal Hutan Kampung, hutan Pemuda dan hutan masjid. Setiap kampong didalam Kelurahan Kalaodi kemudian mengenal sistem pembagian.

Selain itu juga disiapkan areal pertanian yang mencukupi untuk kebutuhan di kampong.

Setiap orang kemudian menanam pala atau Cengkeh. Sedangkan Hutan Pemuda adalah hasil dari hutan pemuda digunakan untuk kebutuhan pemuda seperti kegiatan kepemudaan. Sedangkan hasil hutan masjid digunakan untuk pembangunan dan pembiayaan untuk masjid.

Hubungan antara masyarakat dengan tanaman tidak berkaitan dengan tanah. Masyarakat mempunyai hak terhadap “tanaman tumbuh” dan tidka mempunyai hak kepemilikan terhadap tanahnya. Selama “tanaman tumbuh” masih menghasilkan “maka pemilik tanaman” berhak untuk menikmati hasil.

Apabila “tanaman tumbuh” tidak dirawat dan tidak menghasilkan, maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hilang.

Masyarakat kemudian dibenarkan menanam pala atau cengkeh di “sela-sela” tanaman durian ataupun tanah yang masih kosong.

Sehingga tidak salah kemudian, di antara tanaman durian, tanaman pala ataupun tanaman cengkeh dengan kepemilikan “tanaman tumbuh” yang berbeda-beda. Namun masyarakat Kalaodi mengenal “siapa” pemilik tanaman tumbuh.

Dengan demikian, apabila pemilik “tanaman tumbuh” kemudian meninggalkan kampong halaman, maka “hak” terhadap tanah tidak melekat kepada pemilik tanaman tumbuh. Tidak ada kepemilikan terhadap tanah. Di Jambi dikenal seloko “harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawah”.

Masyarakat mengenal tradisi “Pacagoya’. Pacagoya bermakna Rasa hormat kepada Raja. Tradisi ini diadakan setelah panen padi. Selama 3 hari berturut-turut tidak ada aktivitas dan merayakan panen padi sebagai bentuk rasa syukur.

Mereka juga mengenal tradisi “Bebahi”. Bebahi biasa dikenal sebagai gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan di kampong.

Setiap “malam jumat” diadakan rapat untuk membahas permasalahan di Soa. Dengan diadakan setiap “malam jumat” berbagai masalah dapat diselesaikan. Dan masalah menjadi tidak berlarut-larut dan dicari jalan penyelesaiannya. Tradisi ini masih berlangsung dan rutin dilakukan.

Dengan menjaga tradisi, menghormati dan mengatur hutan, menanam “pala dan cengkeh”, masyarakat Kalaodi “menjaga peradaban” sejak 600 tahun yang lalu. Peradaban yang dibincangkan oleh Kerajaan Eropa dan tetap dirawat di tengah kemajuan zaman.




[1] Giles Milton, Pulau Run – Magnet Rempah-rempah Nusantara yang ditukar dengan Manhatan, Penerbit Pustaka Alvabet, 2015, Hal. 335
[2] Walhi Maluku Utara