15 Oktober 2016

opini musri nauli : HAK PREOGRATIF YANG PROFESIONAL



Jumat lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Ignasisus Jonan (Jonan) dan Achandra Tahar (Archandra) sebagai Menteri dan Wakil Menteri ESDM. Sebagai pemegang hak preogratif,  Jokowi mempunyai hak untuk mengangkat dan memberhentikan Menteri. Hak ini melekat kepada Jokowi sebagai Presiden berdasarkan konstitusi.

Dalam praktek ketatanegaraan, hak preogratif diberikan kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan untuk melakukan sesuatu bertujuan agar Pemerintahan dapat membangun kesejahteraan bagi rakyat. Mahfud menyebutkan “tanpa memerlukan persetujuan lembaga lain”.

Dalam sistem Pemerintahan Republik, konstitusi kemudian menempatkan Presiden selain sebagai Kepala Pemerintahan juga bertindak sebagai Kepala Negara. Hak preogratif sebagai Kepala Negera melekat seperti “mengangkat duta, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisi dan  memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan”.

Hak ini kemudian tetap dipertahankan dengan menambahkan kontrol dari berbagai lembaga lain. Seperti ” mengangkat duta dengan memperhatikan pertimbangan DPR,
memberi grasi dan rehabilitasi, memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.

Berbagai polemik terhadap ”hak preogratif” Presiden sering mewarnai wacana diskusi publik. Penonaktifan Jenderal Bimantoro sebagai Kapolri di masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menimbulkan persoalan konstitusional. Gusdur menganggap pemberhentian Jenderal Bimantoro merupakan hak preograrif berdasarkan UU No. 28 tahun 1997. Sedangkan parlemen menganggap Gusdur harus merujuk kepada TAP MPR No. VI/MPR/2000 yang mengatur tentang ”Pengangkatan dan pemberhentian Kapolri” harus memerlukan persetujuan DPR.

Dunia politik dan hukum kemudian ”geger” ketika Yusril Ihza Mahendra (Yusril) ditetapkan oleh Jaksa Agung Hendarman Soepandji. Yusril kemudian ”mempersoalkan” Jaksa Agung yang tidak dilantik kembali sebagai anggota Kabinet SBY jidil II.

MK kemudian memberikan tafsiran terhadap Jaksa Agung yang menjadi bagian dari anggota kabinet Menteri sehingga terhadap Hendarman Soepandji haruslah diangkat lagi sebagai Jaksa Agung.

Secara terpisah hak preogratif Presiden Jokowi mengenai pengangkatan dan pemberhentian selain sudah ditegaskan didalam konstitusi, Namun publik mempunyai kontrol dan mengetahui ”rekam jejak” dari Menteri yang diangkat maupun diberhentikan.

Dengan semangat ”aura” hasil pilpres 2014, Jokowi ”meyakinkan publik” dengan pengangkatan nama-nama Menteri yang disodorkan. Pada komposisi anggota kabinet periode pertama, masuknya nama Puan Maharani tidak terlepas dari kritik yang mempertanyakan ”rekam jejak” dan kemampuan di Kementerian. Namun nyaris tidak terdengar suara apapun dari Jokowi baik terhadap kinerja maupun kemampuan Puan didalam struktur Kementerian yang dipimpinnya. Puan masih ”aman” dari pergantian kabinet.

Memasuki periode kedua, terpentalnya ”Andi Widjajanto” teman Jokowi di tim pemenangan Pilpres 2014. Tidak ada satupun penjelasan yang diterima publik selain ”bisik-bisik politik”, Andi Widjajanto  ”dianggap” menutup pintu terhadap jaringan politik. Yang namanya ”bisik-bisik politik” tentu saja sulit dibuktikan kebenarannya.

Periode ini kemudian juga membuat ”Andrianof Chaniago” berkemas-kemas. Salah satu teman Jokowi dari Walikota Solo. Sama seperti Andi Widjajanto, Andrianof Chaniago juga tidak mendapatkan informasi yang cukup terhadap ”dipinggirkannya” Andrianof Chaniago.

Pada periode ini kemudian masuk ”Rizal Ramli” untuk mengimbangi kinerja ”Susi Pudjiastuti” yang ”moncer” dari awal pemerintahan Jokowi. Wiranto kemudian juga diajak dalam struktur di kabinet Jokowi.

Periode ketiga kemudian ”mengepret” Rizal Ramli dari kabinet, Anies Baswedan dan Jonan. Ketiga orang ini dianggap berprestasi sehingga publik kemudian tidak mendapatkan informasi yang cukup. Sudirman Said kemudian mengikuti jejak ketiga rekan-rekannya. Jokowi ”menyimpan” nama-nama Menteri yang diberhentikan sehingga kemudian menimbulkan ”spekulasi” yang berkembang di tengah masyarakat.

Masuknya Achandra Tahar menggantikan “Sudirman Said” ternyata menciptakan sejarah. Achandra Tahar merupakan Menteri yang paling singkat memegang jabatan di Kementerian ESDM. Belum seumur jagung (20 hari).

Polemik Achandra Tahar merupakan “skandal” paling memalukan. Achandra Tahar memiliki paspor ganda (Amerika dan Indonesia) sehingga persyaratan sebagai Menteri gugur secara konstitusional.

Setelah “beres” urusan kewarganegaraan, Jokowi kemudian memanggil Achandra Tahar untuk membantu Jonan yang sempat terpental di ESDM. Keduanya dianggap “mampu” membawa nakhoda Indonesia sebagai “Negara sumber” sumber energy dan pertambangan dalam memasuki kancah global.

Dari berbagai peristiwa “hiruk pikuk” pengangkatan dan pemberhentian Menteri, Jokowi memberikan “kredit point” terhadap Kementerian yang dipegang oleh Susi Pudjiastuti di KKP, Siti Nurbaya di KLHK. Keduanya “dianggap” berhasil membawa kementerian menjadi perhatian Jokowi. Susi begitu “moncer” didalam mengelola kelautan sehingga Kementerian KKP begitu mendominasi pemberitaan nasional. Susi membuktikan “kedigdayan” sebagai “penguasa maritime. Visi maritime yang menjadi Jokowi diperhitungkan dalam kancah Asia-Pasifik.

Sedangkan Siti Nurbaya yang bertugas “mendandani” Kementerian Kehutanan dan KLH (dua kementerian yang sebelumnya terpisah) dianggap Jokowi cukup berhasil. Sehingga “background” Siti sebagai “administrator dan perencanaan ulung” diperlukan untuk menata dan pangkal “keruwetan” sector sumber daya alam.

Berbeda dengan Andi Widjojanto dan Andrianof Chaniago yang tidak mendapatkan informasi yang cukup dalam proses pemberhentiannya. Pemberhentian Anies Baswedan dan Rizal Ramli sudah memberikan “atensi” Jokowi keduanya. Terlepas keduanya mau ikut bertarung di Pilkada Jakarta, ambisi politik dari keduanya tentu saja akan mengganggu irama cabinet. Menteri sebagai Pembantu Presiden harus “seirama” dengan nafas dengan gerak Presiden. Jokowi tidak berharap adanya “agenda tersembunyi” didalam menata pemerintahan. Sebuah upaya Jokowi membangun pemerintahan yang bersih dan diterima public.

Namun terhadap Puan Maharani yang tidak terdengar agenda dan program kerjanya, saya masih berkeyakinan. Posisinya relative aman untuk menghindarkan hiruk pikuk politik. Sebagai pemegang “trah” Soekarno, Jokowi paham tentang kepemimpinan mitologi Jawa.

Jokowi “memerankan” sikap sopan santun. Menjaga emosi partai pendukung yang telah mengusungnya baik dari Walikota, Gubernur maupun Presiden.

Jokowi mengutamakan “rukun”. Ungkapan “rukun” sering disampaikan dalam dunia pewayangan. “negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.

Gaya kepemimpinan Jokowi yang cerdik ”meminggirkan” ambisi politik” dari anggota kabinetnya ”diramu” dengan gaya kepemimpinan Jawa didalam menyelesaikan berbagai persoalan merupakan kesempatan kita untuk mengukur kinerja Menteri yang profesional. Publik berkesempatan untuk menilai dan memberikan point baik didalam pengangkatan maupun pemberhentian Menteri. Dari ranah ini, kita kemudian belajar didalam melihat pola relasi politik dan hubungan emosional ditambah ”cara pandang” Jokowi didalam menata negara.

Sebuah upaya pembelajaran dari Jokowi setelah sebelumnya publik hanya melihat ranah Menteri sebagai ”kelompok elite’, tersembunyi, dikuasai segelintir kekuasaan dan jauh dari akses informasi publik untuk mengetahuinya.