01 Oktober 2016

opini musri nauli : Simarantihan : Peradaban yang ditinggalkan


Perjalanan ke Simarantihan merupakan perjalanan akhir dusun-dusun didalam Marga Sumay. Februari 2013, perjalanan menyusuri Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Sumay


Marga Sumay terdiri dari Dusun Tuo Sumay, Dusun Teluk, Dusun Langkap, Dusun Napal Putih, Dusun Muara Sekalo, Dusun Sungai Pinang, Dusun Semambu, Dusun Suo-suo, Dusun Pemayungan, Dusun Simarantihan, Dusun Batu Cuguk dan Dusun Koto Tinggi. Ada juga menyebutkan dusun yang termasuk kedalam Marga Sumay adalah Dusun Pemayungan, Dusun Semambu, Dusun Muara Sekalo, Dusun Suo-suo, Dusun Simarantihan, Dusun Teluk Singkawang, Dusun Teliti, Dusun Punti Kalo, Dusun Teluk Langkap, Dusun Tambung Arang dan Dusun Bedaro Rampak.

Sementara ditengah masyarakat dikenal Dusun Tuo Sumay sebagai Dusun Muko-muko, Dusun Pinang Kedap sebagai Dusun Muara Sekalo, Dusun Bukit Selasih sebagai Dusun Semambu dan Dusun Tanah Bedentum sebagai Dusun Pemayungan.

Didalam riset Walhi 2013, Marga Sumay berbatasan dengan Marga VII Koto dan Marga Petajin Ulu.

Sebagai Dusun yang termasuk kedalam Marga Sumay, perkembangan penduduk di Dusun Semerantihan sangat lambat. Hingga kedatangan saya kesana, jumlah Kepala Keluarganya masih berkisar 50 kk. Sehingga tidak salah kemudian Dusun Simarantihan masih tetap menjadi Dusun didalam Desa Suo-suo.

Dalam ikrar di tengah masyarakat[1], mereka lebih suka disebut Dusun Simarantihan Suku Talang Mamak.

Suku Talang Mamak mempunyai hubungan kekerabatan dan berasal dari Suku Talang Mamak di Datai yang termasuk kedalam Propinsi Riau.

Suku Talang Mamak berasal dari Sungai Gangsal yang terletak di Propinsi Riau. Wilayahnya sebagian termasuk kedalam Taman Nasional Bukit 30.

Sebagai masyarakat hukum adat, mereka menghormati hukum adat sebagaimana seloko “amanat tinggal di cucu. Pusaka tinggal di Anak”. Atau Pergi tinggalkan pesan. Mati tinggalkan amanat. Mati adat karena amanat. Mati anak karena manusia.

Mereka menyusuri Sungai Gangsal, terus ke Sungai Manggatal dan kemudian pindah ke Kemumu. Daerah kemumu inilah yang kemudian dijadikan Dusun Semerantihan hingga sekarang.

Batas wilayah Simarantihan dengan Desa Suo-suo ditandai dengan tembo “Kemumu di Sungai Manggatal’. Batas ini sesuai dengan tembo yang disampaikan di Desa Suo-suo[2]

Mereka dipimpin seorang patih yang bernama Serunai. Patih Serunai telah dilantik pada tahun 2014.

Mereka sangat menghormati wilayah didalam kawasan hutan yang ditandai dengan Sungai Kupang di Pemandian Gajah yang kemudian termasuk kedalam izin perusahaan PT. LAJ.

Selain itu juga, wilayah kemudian dimasukkan kedalam wilayah izin restorasi ekosistem PT. ABT. Biasa dikenal dengan blok I PT. ABT. Sedangkan Blok II adalah wilayah masyarakat Desa Pemayungan[3].

Dalam catatan berbagai sumber, Dusun Semerantihan masih termasuk kedalam masyarakat yang masih tergantung dan mengelola kawasan hutan. Wilayah Semerantihan langsung berbatasan dengan Taman Nasional Bukit 30 yang ditandai dengan “kuburan” di sepanjang Sungai Menggatal, Kedemitan yang terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan, Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin, Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo Lampau-lampau.

Nama tempat Sungai Kupang di Pemandian Gajah adalah nama tempat seluruh satwa di Bukit Tigapuluh sebagai tempat peminuman air. Sehingga tempat itu harus dilindungi sebagai wilayah konservasi untuk satwa.

Bukit Tambun Tulang terletak di anak Sungai Manggatal atau di Ulu Bukit Tambun Tulang.

Nama-nama tempat yang dihormati dan dilarang untuk dibuka termasuk kedalam kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Sehingga terbukti masyarakat mempunyai cara dan handal menjaga kawasan hutan sehingga tetap menjadi tutupan hutan yang baik (forest cover).

Bukit Tambun Tulang disebutkan sebagai batas wilayah Propinsi Jambi dengan Propinsi Riau.

Jalur ini dimulai dari Tanjung Samalidu, Durian Takuk Rajo, Sialang Belantak Besi yang terletak di Marga IX Koto, Salo Belarik, Bekal Bekuak terletak di Marga Sumay dan Bukit Tambon Arang yang terletak di Semerantihan.

Selain tempat dihormati, mereka juga menghormati Harimau yang dianggap sebagai saudara yang melindungi Desa. Beruang sebagai hewan peliharaan. Namun terhadap gajah, binantang ini sering dianggap merusak tanaman masyarakat.

Selain itu juga mereka menghormati pohon-pohon yang tidak boleh ditebang. Seperti pohon bulian, pohon durian, pohon duku, pohon macang dan pohon manggis, pohon sirih dan pohon gambir dan pohon rambutan.

Perkampungan Suku Talang Mamak bermukim di Tepi menggatal kemudian pindah ke Kemumu. Nama Tempat Kemumu menjadi pemukiman yang dihuni hingga sekarang[4].

Sebagai masyarakat yang menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal tatacara didalam mengelola sumber daya alam. Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo, Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai Pendanauan.

Suak adalah Sungai yang kecil diantaranya berisikan jenis ikan kelubar. Sedangkan Sungai adalah sungai yang deras yang berjeniskan ikan seperti Kelari, Seliman.

Lupak merupakan danau yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam.  Sedangkan pendanauan adalah genangan air berupa danau.

Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan  belukar adalah semak yang sudah lama ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol. Peninggalan dari “puyang’.

Sialang adalah pohon yang terdapat lebah untuk menghasilkan madu. Sedangkan pendulangan, pohon yang terdapat lebah namun pohonnya terdapat di hutan.

Manggis adalah tanaman yang ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di hutan.

Selain itu dikenal istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.

Mereka sudah mengenal tradisi “huma”. Prosesi dimulai dengan “mancah rimbo”. Mancah rimbo bertujuan memohon izin kepada penguasa rimbo agar dalam proses tidak menimbulkan masalah seperti kayu rebah mengenai masyarakat, api yang tidak merembet dan tidak ada gangguan dari penghuni rimbo.

Bahkan dalam tradisi “merun”, dikenal mantra. Dengan pembacaan mantra, maka api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.

Selain itu masyarakat mampu mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang ditandai dengan “akar bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh dibuka berdasarkan hukum adat. Cara ini sudah dikenal ratusan tahun yang lalu.  Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini telah dikenal sejak abad XVIII[5].

Prosesnya dimulai dari “mancah”, bakar, nugal, nuai. Waktu untuk mancah diperlukan 2 hari. Untuk bakar dilakukan sebulan. Sedangkan untuk “nuai” dilakukan pada malam hari. Setiap proses ini ditentukan oleh Dukun padi. Setiap proses dilakukan dengan cara bergotong royong yang dikenal dengan istilah “Beselang’.

Setelah dilakukan pembersihan, maka dalam proses nugal kemudian ditanami jenis padi. Padi dikenal ada tiga jenis. Yaitu Padi Tuo, Padi Seni dan Padi Pulut.[6]

Cara penanamannya adalah pada seni selalu diletakkan di sebelah kanan galangan huma. Sedangkan untuk padi pulut harus ditanami sebelah kiri galangan huma. Dan padi tuo harus diletakkan di tengah-tengah galangan huma. Alasan meletakkan padi Tuo di tengah-tengah galangan huma karena padi tuo sering juga disebutkan sebagai padi jantan.


Masyarakat mengenal tradisi “Sialang”. Baik didalam menetapkan pohon yang kemudian dihinggapi lebah dengan menghasilkan madu yang biasa disebut sialang, menentukan pengambilan lebah bahkan tradisi untuk menjaga pohon sialang tetap menghasilkan. Ada sekitar 50 pohon sialang di Dusun Simirantihan.

Bahkan mereka mengenal tatacara untuk menjaga pohon sialang agar tidak dicuri orang lain.

Selain itu penghormatan terhadap pohon sialang ditandai dengan ujaran seperti “sialang pendulangan’. Sialang pendulangan tidak semata-mata pelarangan penebangan pohon yang terdapat lebah (sialang) tapi juga dilarangnya membuka kawasan sekitar pohon sialang untuk ditebang. Areal yang tidak boleh dibuka sekita 300 meter persegi.

Setiap pengambilan hasil panen dari pohon sialang memerlukan tradisi yang dipimpin oleh seorang Dukun Sialang. Setiap proses dikenal dengan istilah Lantak dan Lais. Lantak adalah kayu yang ditancapkan ke pohon sebagai anak tangga. Sedangkan lais adalah rotan yang menjuntai dari sisi pohon menggantikan tali untuk menaiki dan sekaligus tempat bergantung.


Terhadap pelanggaran adat dikenal sanksi berupa ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis dan kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis.

Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting.

Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.

Selain itu dikenal Selendang matahari, timban tasik (piring) dan tongkat bumi (tombak). Setiap pelanggaran harus mencantumkan selendang matahari, timban tasik dan tongkat bumi.

Menurut jenjang adat, Bertangkap naik bertangga turun, proses penyelesaian dimulai dari keterangan dari masyarakat kepada Menti. Menti kemudian memberitahukan kepada Mangku. Kemudian Mangku memberitahukan kepada Patih dan Kepala Dusun. Ketiganya yaitu Patih, Mangku dan Kepala Dusun memanggil Debalang kepada yang dilaporkan menghadiri sidang adat. Didalam sidang adat kemudian dibicarakan pelanggaran terhadap masyarakat yang dituduhkan.

Dalam prosesi pelanggaran adat, maka proses ini didahului dengan Sirih Gambir sebagai tanda persetujuan untuk disidangkan dan mengikuti sanksi adat.

Ikrar Sirih gambir mengingatkan berbagai prosesi penyelesaian dan penghormatan hukum adat di Jambi sesuai dengan seloko “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang.

Setiap pelanggaran dimulai dari ayam sekok beras segantang selemak semanis, kambing sekok beras sepuluh gantang, selemak semanis hingga kerbau sekok, beras seratus gantang selemak semanis diselesaikan di Dusun Simarantihan. Namun apabila tidak dapat diselesaikan maka kemudian diserahkan kepada Batin. Batin kemudian diartikan diserahkan kepada proses hukum.





[1] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
 [2] Desa Suo-suo, 23 Maret 2013
[3] Catatan lengkap di Desa Pemayungan akan dituliskan secara terpisah
[4] Menurut Kepala Dusun, Fahmi, pemukiman dibangun di Kemumu merupakan proyek dari Dinas Sosial tahun 1984
[5] Hasil riset Walhi Jambi 2016
[6] Padi yang berupa mirip ketan