16 Januari 2017

opini musri nauli : Bumi Datar - Bumi Bulat - Bumi Datar



Akhir-akhir ini kita kemudian “dikejutkan” pengetahuan yang sudah diajarkan dari bangku sekolah dasar kemudian “dipersalahkan”. Entah darimana “sebabnya”, tiba-tiba issu ini kemudian menggelinding.

Secara sekilas saya memperhatikan video youtube yang memuat penjelasan berapi-api menjelaskan bumi datar. Dan sampai saya kemudian menyadari, bagaimana seseorang yang menjelaskan bumi datar sebagai pemikiran yang berangkat dari penjelasan yang terpotong-potong, tidak dibantu ilmu pengetahuan dan tentu saja tidak mau menggali ilmu pengetahuan dari segi lain.

Secara teoritik, sudah banyak penjelasan tentang ilmu pengetahuan bumi berbentuk bulat. Tulisan ini akan melihat dari alam sebagai ilmu pengetahuan dari sudut pandang nalar dan logika berfikir.

Pertama. Saya tidak mengajak melihat bentuk bumi dari udara. Karena science ini pasti banyak ditolak. Tapi saya mau mengajak berfikir sederhana. Bagaimana putaran bumi sehingga kita mengenal Siang (matahari yang menyinari bumi) dan malam hari (ketika bulan terlihat jelas). Dari sinilah kita kemudian mengetahui, pasti ada sesuatu yang sudah dipikirkan 2500[1] tahun yang lalu. Dan pengetahuan itu kemudian semakin matang ketika abad 14-an[2].

Kedua. Apabila bumi ini datar, maka bisa dipastikan, kita bisa melihat kapal berlayar hingga sampai ke tempat tujuan tanpa kemudian kapal hanya bisa dilihat cuma cerobong asapnya.

Ketiga. Mengapa kita enggan melihat catatan “Itsing” dari Tiongkok yang kemudian mampir di Pantai Timur Sumatera atau catatan pelayaran pelaut Sulawesi hingga ke Madagascar (Afrika). Catatan perjalanan mereka dari abad VI – VIII m.

Dalam catatan disebutkan “angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah angin dari timur sehingga membawa pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India, Persia maupun Ottaman Turki. Sedangkan “angin mati  adalah angin dari barat ke arah timur. Putaran masing-masingnya dikenal 6 bulan. Membawa hasil rempah-rempah kemudian datang membawa sutera, tekstil, mesiu, emas dan keramik.

Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dengan merujuk kepada negeri-negeri di Timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” kemudian merujuk kepada negeri-negeri seperti Tiongkok, India, Persia dan Ottaman Turki.

Negeri diatas matahari kemudian dikenal sebagai arah timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” sebagai arah barat.

Istilah “angin hidup” dan “angin mati” juga sering disebut sebagai arah mata angin.

Di tengah masyarakat, menunjuk arah matahari dikenal dengan istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Matahari hidup adalah arah timur. Sedangkan matahari mati adalah arah barat.

Pengetahuan local tentang sungai juga ditandai dengan istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan toman[3]”. Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[4].

Perjalanan keliling dunia kemudian mampir di Pantai Timur Sumatera telah dituliskan.

Di Jambi sendiri, dikenal istilah kata “Zabag[5]. Budihardjo didalam Buku “Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi : Studi Pada masa Kolonial”, menyebutkan erat dinamisnya hubungan antara kota-kota hulu, seperti Padang Roco, Muara Tebo, Muara Bungo, Muara Tembesi, Muara Bulian, Jambi, Muara Jambi, Muara Zabag, Kuala Tungkal, Perairan Riau, Selat Malak, Jawa, Asia Timur dan Asia selatan. Kebutuhan hulu-hilir dilaksanakan dengan barter seperti kain sutera, keramik, tekstil China atau India yang kemudian diganti dengan rempah-rempah seperti kayu wangi. Pada tahun 1550-an hingga akhir abad 17, Perdagangan mulai ke komoditi lada.

Berita Arab[6] juga menyebut nama “Zabag” yang identik dengan “Muara Zabag”. A.B Lapian, menyebutkan Jambi termasuk Muara Sabak, Kuala Tungkal merupakan daerah “the favored commersial coast”. Bahkan Elizabeth Locher-Scholten menyebutkan tahun 1616 Jambi sudah menjadi pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh. Muara Sabak kemudian menjadi Ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Sedangkan Kuala Tungkal menjadi Ibukota Kabupaten Tanjung  Jabung Barat, Jambi.

Keempat. Mengenal bumi apakah datar atau bumi bulat dapat diketahui dari bola dunia (globe). Dalam masa pramodern, catatan perjalanan dikumpulkan oleh Al Idrisi[7]. Ilustrasi peta ini kemudian diletakkan ilustrasi Kitab Nuzhat al-Mushtaq miliknya, (Opus Geographicum). Al-Idrisi menginspirasi pakar geografi Islam lainnya seperti Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Piri Reis dan Barbary Corsairs. Petanya juga menginspirasi Christopher Columbus dan Vasco Da Gama pada 4 abad kemudian.

Dengan “koresprodensi”nya, Alfred Russel Wallace bertemu “gagasan” dengan Charles Darwin berhasil memetakan tentang “keunikan” burung tropis dan kupu-kupu. Keduanya kemudian berhasil melahirkan Teori evolusi. Namun kemudian dipelintir oleh sebagian kalangan yang kemudian “menghina” menjadi “manusia berasal dari monyet”.

Wallace kemudian berhasil membuktikan bumi bulat di atas sungai Bedford, Inggeris tahun 1870. Nama Alfred Russel Wallace dikenal di Maluku Utara.

So. Jadi mengapa kita mau berfikir tentang bumi datar yang sudah dipikirkan 2500 tahun yang lalu,  Sedangkan ilmu geografi sudah menjawabnya. Belum lagi catatan perjalanan berbagai petualang dunia yang bisa membantu kita menjawab bentuk bumi.



[1] Aristoteles mengeluarkan argumentasi dimulai dari Kapal yang muncul dan tenggelam di horizon (batas terjauh dan bisa teramati). Argumentasi ini kemudian diikuti Archimedes. Ptolemeus kemudian dapat menentukan posisi matahari, bumi dan bulan. Sejak itu, debat tentang bentuk bumi tidak pernah lagi dibahas sejak Yunani Kuno.
[2] Bahkan Nicolas Copernicus kemudian berhasil menyebutkan Matahari sebagai pusat tata surya (Heliocentrism). Menggeser teori sebelumnya yang menganggap Bumi sebagai pusat tata surya (Geocentrism). Menggeser teori sebelumnya yang didukung kaum agamawan. Copernicus kemudian didukung oleh Galileo Galilea.
[3] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[4] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
[5]Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi- studi pada masa Kolonial” menerangkan “Sungai Batanghari kemudian mengilir hingga Muara Zabag dari hulu Tanjung Samalindu
[6] Catatan Bani Ummayah (661-680 masehi), jalur rempah-rempah tidak ingin tergantung dai bangsa China yang mengimpor dari Muara Jambi (Kerajaan Melayu Tuo) dan Muara Sabak sebagai jalur Kerajaan Sriwijaya. Dan kemudian pada abad ke 7 Raja Jambi yang bermukim di Muara Sabak yang bernama Kalitawarman (sebagian lagi menyebutkan “Sri Maharaja Luki Tawarman) kemudian masuk Islam yang menganut mazhab ahlul Sunnah Wal Jamaah.
[7] Abu Abdullah Muhammad al-Idrisi al-Qurtubi al-Hasani al-Sabti atau Al-Idrisi (1100 – 1165 atau 1166)adalah pakar geografi, kartografi, mesirologi, dan pengembara yang tinggal di Sisilia, tepatnya di istana Raja Roger II