08 Januari 2017

opini musri nauli : PANDANGAN KONSTITUSI DALAM KASUS TANAH DI MENGGALA



Ada rasa haru ketika saya dihubungi oleh Sugianto (mas Gie) seorang Pendeta yang mendampingi masyarakat untuk mendampingi proses di persidangan Pengadilan Negeri Menggala. Menggala adalah nama Ibukota Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
Mas Gie didakwakan melanggar pasal 160 KUHP junto pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUHP, Pasal 170 ayat (1) KUHP dan Pasal 107 huruf a dan huruf c UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Secara sekilas, Pasal 160 KUHP dan pasal 107 UU No 39 Tahun 2014 pernah diuji di Mahkamah Konstitusi. MK terhadap pengajuan permohonan kemudian memberikan putusan yang berbeda.

Terhadap pasal 160 KUHP, MK kemudian menolak permohonan yang diajukan oleh Dr. Rizal Ramli. Sedangkan terhadap pasal 107 UU Perkebunan, Mahkamah Konstitusi justru mengabulkan permohonan yang diajukan oleh lembaga yang “concern” dengan petani sawit (SPKS, SW, API, SPI, Bina Desa dan FIELD).

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 7/PUU-VII/2009 terhadap pasal 160 KUHP menyatakan menolak permohonan terhadap pasal 160 KUHP. Namun didalam pertimbangannya disebutkan “Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil.

Didalam pertimbangan Pasal 160 KUHP, dengan rumusan sebagaimana telah dikutip di atas, sesuai dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka berdasarkan UUD 1945 yang menjunjung hak asasi manusia sebagai salah satu prinsip dalam negara hukum.  Sehingga tafsirannnya kemudian “Meskipun demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.

Terhadap pasal 160 KUHP sebagai Tindak pidana Formil dapat diartikan Yang dilarang adalah “menghasut” didepan umum dengan mengeluarkan kata-kata yang mengandung ajakan untuk melakukan kejahatan (Satochid, Hal 214)

Sepanjang sejarah diberlakukan Pasal 160 KUHP tersebut yang menjadi korban pemberlakuan ketentuan-ketentuan ini adalah para demonstran yang telah melakukan aksi unjuk rasa, maka ketentuan ini telah terbukti juga mengkebiri hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi yang digunakan oleh penguasa melalui tangan-tangan penegak hukum, baik ketika melakukan unjuk rasa atau juga dapat mengancam kebebasan pers dan lain sebagainya..

Dalam doktrin ilmu hukum pidana dikenal “tindak pidana formil dan tindak pidana materiil”. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan “ “Pada delik formil, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya pasal: 160 KUHP” tentang penghasutan, 209 KUHP tentang penyuapan, 242 KUHP tentang sumpah palsu, 362 KUHP tentang pencurian.

Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam pasal 362 KUHP, tindak pidana sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak, merasa terancam kehidupannya atau tidak.

Sedangkan delik material selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: pasal 187 KUHP tentang pembakaran dan sebagainya, 338 KUHP tentang pembunuhan, 378 KUHP tentang  penipuan, harus timbul akibat-akibat secara berurutan kebakaran, matinya si korban, pemberian sesuatu barang.”.

Pendapat yang tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh P.A.Lamintang “Delik formal ialah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan delik materil, delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.”

Pergeseran tindak pidana didalam pasal 160 KUHP semula dari “tindak pidana formil” menjadi “tindak pidana materiil” dianggap penting. Selain memastikan “menghasut” yang bertujuan untuk “membangkitkan hati orang supaya marah” (provocation) haruslah disampaikan dimuka umum juga dapat menggerakkan orang untuk berbuat terhadap “provokasi” yang disampaikan oleh sang penganjur.

Dengan merujuk kepada Putusan MK, maka terhadap “provokasi” kemudian harus dibuktikan dengan “terpenuhnya” provokasi dengan dibuktikan “menggerakkan orang lain”.
Berbeda dengan putusan terhadap Dr. Rizal Ramli, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan mengabulkan perkara terhadap pasal 107 UU Perkebunan.
Didalam putusannya Nomor 138/PUU- XII/2015 telah memutuskan yang amarnya antara lain : Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007.
Bahwa didalam pertimbangannya, MK mempertimbangkan “Bahwa Pasal 107 UU Perkebunan berbunyi, “Setiap orang secara tidak sah yang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; c. melakukan penebanga ntanaman dalam kawasa nperkebunan ;atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”;
Ketentuan dalam rumusan pasal a quo adalah ketentuan pidana yang diberlakukan terhadap perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 55 UU Perkebunan. Sementara itu, Pasal 55 UU Perkebunan,berdasarkan pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 7 di atas, telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan tersebut tidak diartikan tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007. Oleh karena itu, Pasal 107 UU Perkebunan a quo juga harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana halnya yang berlaku terhadap Pasal 55 UU Perkebunan, yaitu sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan Pasal 107 UU Perkebunan tidak diartikan tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007;
Bahwa makna pasal 107 UU No. 39 Tahun 2014 mempunyai relevansi makna terhadap putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010.
Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 telah memutuskan yang amarnya sebagai berikut ; (1) Mengabulkan permohonan para Pemohon, (2) Pasal 21 beserta Penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (3) Pasal 21 beserta Penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
Merujuk kepada pertimbangannya, MK menyatakan Bahwa pasal 21 junto pasal 47 UU Perkebunan mengatur tentang “diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) serta karena kelalaiannya melanggar Pasal 21, diancam dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun 6 (bulan) dan denda paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah), adalah berlebihan karena konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan dengan mengutamakan musyawarah sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960 maupun ketentuan-ketentuan lain sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960, tidak diselesaikan secara pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Dengan dicabutnya Pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan maka, tidak terdapat “means rea” atau “kehendak jahat” sehingga dengan demikian asas “geen straf zonder schul beginsel” atau “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea” tidak terbukti.
Mari kita tunggu persidangan terhadap Mas Gie.