21 Februari 2017

opini musri nauli : Dr Helmi – Akademisi Tulen dari Kampus




Ketika mendapatkan kabar Dr Helmi menjadi Dekan Fakultas Hukum UNJA maka teringat kenangan 13 tahun yang lalu. Seorang mahasiswa angkatan 90-an Fakultas Hukum UNJA yang baru selesai ujian skripsi.

Suasana heboh pada saat itu bukan karena adanya mahasiswa Fakultas Hukum yang “teng” selesai kuliah sesuai waktunya, tapi suasana “kisruh” adanya pergantian kurikulum dan mengakibatkan mahasiswa yang telat kemudian harus menyesuaikan beberapa matakuliah. Sehingga terdapat “mahasiswa” yang mengalami keterlambatan menyelesaikan mata kuliah karena harus mengambil matakuliah. Saya kemudian masuk dari barisannya.

Di saat bersamaan, saya kemudian mulai aktif  di jalanan. Suasana “heroic” menjelang kejatuhan Soeharto lebih “menggembirakan” daripada mengikuti kuliah. Apalagi bacaan kiri yang menginspirasi, teori-teori social yang menarik perhatian hingga “suasana jalanan” yang membuat saya larut dan tenggelam dalam hiruk-pikuk aksi-aksi di berbagai kota di Jawa.  Belum lagi “hipnotis” buku “Sekolah itu Candu” yang membuat ada semangat untuk membakar ijazah dan belajar dari lapangan. Praktis, pergumulan saya di kampus mengikuti kuliah tanpa mengikuti perkembangan di kampus. Hampir 3 tahun suasana heroic itu saya rasakan dan sedikit melupakan untuk menyelesaikan kuliah.

Menjelang akhir “batas waktu” kuliah, saya dan beberapa orang dikumpulkan oleh Dekan Fakultas Hukum, Prof. Rozali Abdullah. Kami diperingatkan dengan “tenggang waktu” untuk menyelesaikan skripsi. Selain itu sebagai “Bapak”, Prof Rozali mempertanyakan, apa kesulitan sehingga belum dapat menyelesaikan studi.

Atas anjuran dari orang tua saya dan ditambah sikap “ngemong” Prof Rozali, saya kemudian menyiapkan waktu 3 bulan untuk melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi. 2 minggu menjelang tenggat waktu, skripsi kemudian diselesaikan dan dipertahankan di ujian skripsi.

Setelah itu Praktis kemudian saya lebih banyak terlibat kegiatan diluar kampus. TIdak ada lagi halangan waktu mengurusi kampus membuat saya kemudian membenamkan di tengah masyarakat.

Di berbagai komunitas, saya bertemu dengan Fauzi Syam yang membidani PSHK-ODA, sebuah LSM yang konsentrasi kajian terhadap otonomi daerah. Tema yang cukup hangat dan dikuasai oleh teman-teman kampus. Interaksi dengan Fauzi Syam, Sudirman dan Helmi kemudian membuat saya lebih nyaman. Selain langsung bertemu “Mentor’ Fauzi Syam dan Sudirman sebagai Dosen yang mengasuh saya waktu kuliah, paska Fauzi Syam dan Sudirman yang kemudian memilih masuk birokrat kemudian digantikan Helmi membuat interaksi semakin sering didalam berbagai pertemuan.

Dalam interaksi baik sesame mahasiswa maupun diluar kampus, pemikiran Dr. Helmi sangat runut, sistematis dan jernih. Khas akademisi yang ketat berpihak kepada dalil-dalil hukum.

Berseberangan dengan saya yang memilih berada di lapisan masyarakat dan kritis memandang hukum. Dari ranah ini tidak menghilangkan sikap seorang teman baik dalam interaksi menghargai pemikiran maupun sebagai teman kuliah.

Pertarungan pemikiran saya dengan Dr. Helmi pernah dimuat media massa local Jambi Ekspress tanggal 4 Mei 2006 memuat opini ‘PENANGANAN PELAKU KAYU ILLEGAL. Waktu itu saya mengkritik pemikiran Dr. Helmi yang masih menempatkan “barang bukti” dalam kasus illegal logging harus dirampas oleh Negara.

Padahal terlepas dari semangat UU Kehutanan yang berkeinginan untuk merampas barang bukti dalam kasus illegal logging, saya mengutip putusan No. 021/PUU –III/2005 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 terhadap UUD Tahun 1945.

Didalam putusanya, MK menyatakan bahwa berdasarkan pasal 103 KUHP, penerapan pasal 78 ayat (15) haruslah tetap merujuk kepada ketentuan pasal 39 ayat (1). MK menyatakan bahwa perampasan hak milik pemohon serta merta bertentangan dengan pasal 28 J ayat (2) UUD 1945. perampasan hak milik dari pihak ketiga yang beritikad baik (ter goeder trouw, gadd faith) tetap harus dilindungi.

Dengan demikian maka Barang bukti selain milik terdakwa atau menjadi milik ketiga, maka terhadap barang bukti tidak dapat dilakukan perampasan. Selain bertentangan dengan makna hak milik yang harus dilindungi hukum juga barang bukti milik pihak ketiga tidak dapat dirampas disebabkan karena perbuatan terdakwa. Atau dengan kata lain, tidak dibenarkan merampas barang bukti milik seseorang terhadap kesalahan orang lain.

Tulisan ini kemudian dimuat diharian yang sama berjudul “Barang Bukti dalam perkara Pidana Kehutanan - Tanggapan Terhadap Helmi, SH yang dimuat beberapa waktu kemudian.

Menjelang akhir 2008-an, saya kemudian mendapatkan kabar, Helmi kemudian meneruskan sekolah di Unpad hingga Doktor. Disertasinya dibidang hukum administrasi Lingkungan membuat saya dapat memahami pikiran Negara didalam melihat Lingkungan.

Setelah itu, jenjang demi jenjang diraih. Baik dimulai dari Ketua Jurusan Hukum Administrasi Negara hingga menjadi Pembantu Dekan. Dan terakhir kemudian Dekan. Sebuah pencapaian tidak hanya diraih terhadap Dr. Helmi. Tapi membuka prestasi baru. Dipimpin pertama kali Dekan Hukum Unja seorang bergelar Doktor. Sebuah usia yang terlalu tua untuk Fakultas Hukum UNJA yang sudah berdiri sejak tahun 1963.

Berbanding terbalik dengan kehidupan saya yang masih “tenggelam” di kampong untuk belajar hukum. Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan. Dr. Helmi adalah akademisi dari kampus. Tapi saya cuma “tukang catat” dari kampong. Perumpamaan antara langit dan bumi. Antara David vs Goliath.

Terakhir pertemuan saya dengan Dr. Helmi ketika saya menceritakan kasus Lippo Plaza dalam sessi diskusi di kampus Fakultas Hukum. Waktu itu Dr. Helmi masih menjadi PD 1 Fakultas Hukum.

Namun berbeda dengan perdebatan-perdebatan sebelumnya. Sebagai sesame panelis, justru Dr. Helmi memaparkan kekeliruan terhadap izin Lippo Plaza. Sebuah kekayaan pengetahuan yang memperkaya saya membaca kasus Lippo Plaza.

Diluar pembicaraan resmi, hingga sekarang, panggilan sesame teman waktu kuliah tidak bisa dihilangkan. Dengan memanggil nama kecil saya, saya merasakan “suasana waktu kuliah’. Praktis tidak ada sekat pembatas baik setelah menjadi Doktor hingga menjadi Dekan. Semoga suasana ini tidak hilang bersamaan dengan berbagai atribut yang akan dipakainya. Interaksi personal tidak menghilangkan sikap kritis didalam mendiskusikan walaupun dengan perbedaan yang cukup tajam. Dari ranah ini kemudian diakhiri dengan tawa bersama. Khas anak kuliahan yang sering membully dosen killer yang pelit memberikan nilai.

Belum lagi tradisi berpakaian “belel”, suka bercelana jeans dan tidak ketinggalan rokok sampoerna.

Saya menunggu kiprah Dr. Helmi dalam belantara hukum. Menjadi “obor” dan tempat “bertanya ketika gelap. Menjadi “suluh” menerangi gelapnya rimba belantara.