19 Februari 2017

opini musri nauli : Jambi dan Sungai



Suatu Pengantar[2]
Musri Nauli[3]

Membicarakan Jambi tidak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi, Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air Hitam, Sub DAS Airdikit, Sub DAS Banyulincir. Namun ada juga menyebutkan Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.

Aliran Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya dapat dilayari sepanjang 3.224 km dengan lebar 50-65 meter. Kedalaman alur pelayaran antara 1-10 meter. Sekitar 95 % ekspor Jambi setiap tahunnya diangkut melalui Sungai Batanghari. Disamping itu, bahan bakar minyak. Disamping itu, bahan bakar minyak, bahan kebutuhan dan muatan umum lainnya diangkut dan didatangkan ke Jambi melalui Sungai Batanghari.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat.

DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay, Marga IX Koto, Marga VII Koto dan Marga Tungkal Ulu.

Hulu Sungai Batanghari juga berasal dari TNKS. Bermuara ke Batang Tembesi, ke Batang Merangin, ke Batang Bungo bahkan juga mengairi batang tebo.

Muara Sungai dari TNKS terdapat Margo Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Datuk Nan Tigo, Marga Bukit Bulan (Sarolangun) dan Seluruh Marga di Bangko. Termasuk juga mengairi sungai di Marga Batin III Ulu, Marga Pelepat (Bungo).  

Hulu Sungai Batanghari juga berasal dari di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Marga Air Hitam dan Kawasan Orang Rimba di Makekal merupakan kehidupan masyarakat yang hulu sungai berasal dari Taman Nasional Bukit 12.

Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.

Ada juga menyebutkan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat.

Sungai kemudian dikenal dengna dialek “batang’. Sehingga Sungai Batanghari kemudian dikenal dengan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat. Dan itu terpatri di “terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jatiyang bernamakan ”Sepucuk Jambi sembilan lurah”.

Keberadaan masyarakat dengan sungai baik dilihat dari pendekatan ekonomi, politik, hukum dan social budaya.

Sungai adalah penanda, batas dan identitas sebagai keberadaan masyarakat di Jambi. Dengan sungai kemudian menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu dusun dengna dusun yang lain.

Sebagai identitas, Sungai Batanghari telah dicatat oleh F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar[4], didalam bukunya De Jambi, menulis “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. Belum lagi berbagai laporan Pemerintahan Belanda.

Berdasarkan peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, Wilayah Jambi kemudian dibagi menjadi Marga[5], Batin dan Mendapo.

Di Jambi sendiri, penetapan Marga berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor Buitengewestten (I.G.O.B) tahun 1937[6]. Ada juga menyebutkan berdasarkan Ordonasi Desa 1906.

Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi.

Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo.

Marga terletak di hulu Sungai Batanghari. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar dalam karya klasiknya “De Djambi” menuliskannya ““di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman).

Seperti Margo Batin Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.
Marga (margo) menjadi identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan hukum territorial[7]
Selain Margo juga dikenal Batin[8]. Seperti Batin II Ulu, III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan Batin XIV.
Batin kemudian terletak di daerah perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga tidak salah kemudian, batin merupakan suku penghulu atau pendatang.

Selain Marga dan Batin, di Kerinci dikenal Mendapo. Ulu Rozok “Kitab Tanjung Tanah” menyebutkan “Konfederasi kampong yang disebut mendapo yang pada umumnya terdiri atas sejumlah kampung yang berasal dari satu kampung induk masih tetap menjadi kesatuan pemerintahan yang terbesar di Kerinci.

Setelah kita mengenal sedikit mengenai Marga, Batin dan Mendapo, maka terhadap masing-masing persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap) maka kemudian mengenal nama-nama sungai.

Di  Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Narso, Sungai Keradak dan Sungai Tangkui dikenal masyarakat. Sedangkan penghubung antara Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Keradak dan Sungai Tangkui. Baik Sungai Tangkui kecil dan Sungai Tangkui[9].

Di Marga Sungai Tenang dikenal “anak Batang Tembesi” seperti Sungai Kandis, Sungai Lembatang, Sungai Matang Duo[10].

Keduanya kemudian bertemu di Batang Tembesi yang kemudian bermuara di Muara Tembesi dan menjadi Batang Hari.

Di Marga Sumay dikenal “anak Batang Sumay” seperti Sungai Rambutan, Sungai Karang[11] atau Sungai Menggatal di Simarantihan Talang Mamak[12].

Di Marga Pelepat selain dikenal Batang Pelepat juga dikenal Batang Senamat[13]. Sedangkan  Batang Jujuhan dikenal di Marga Jujuhan[14]

Begitu juga di Suku anak Dalam menyebutkan “Dari Sungai Bulian bernama Lubuk Talang, Belukar Pinang, ke Rimbo Bulian, Penantian Sago, Sungai Rengas, Payo rotan duduk, Pulau Selaman, meniti pematang Bayas, Pematang Salak, Sungai Kuro Betino, Pematang Gambir, Ulu Sungai Rengas, Sungai Pematung Bedarah, Bukit Tembesu, Jebak dan Sungai Rengas Ii, Muara Pelajo Bujang, Hutan Sago, Tanggeris Jangga, Sungai Pandan, Bakal Ruyung, Ibul Genting, Tayas Bungkuk, Serdan, Patal, Mengala, Sei Badak, Sei Lalan Lubuk Udang, Lubuk Tadau, Merkandang, Bayas Gantung, Kendi, Danau Masuli, Mendak, Penukal, Sei Hantu dan Lubuk Belang, Kesemuanya ini di sebut tanah watas Suku Anak Dalam dari cucu Raden Nagasari.

Sehingga bertempat tinggal di Sungai Bahar, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Bulian / Semak, Sungai Sekisak (Si Lisak), Sungai Sekamis, Sungai Burung Hantu (Sungai Pemayung), Sungai Penerokan dan Sungai Merkanding.

Begitu juga dengan Kelompok Pengendum yang tidak dapat dilepaskan dari Sungai Kejasung (baik Kejasung Besar maupun Kejasung Kecil), Sungai Makekal (Makekal Ulu dan Makelal Hilir)[15]. Pengendum tidak dapat dilepaskan dari kisah heroic dan kemudian difilmkan dengan judul “Butet”. Film yang mengisahkan guru pendamping SAD di Bukit 12. Butet juga meraih Penghargaan Roman Magsaysay Award 2014

Penghormatan terhadap sungai ditandai dengan menjaga yang ditandai dengan istilah “Kepala sauk”. “Kepala sauk” tidak boleh dibuka yang dikenal sebagai “pantang larang”. Sehingga yang dilanggar mendapatkan sanksi “sanksi Guling Batang berupa Kambing sekok, beras 20 gantang, kelapa, selemak semanis[16].

Bahkan Sultan Thaha Saifuddin berhasil menyerbu markas Belanda di Muaro Kumpeh. Pasukan Belanda dan dibawah pimpinan Mayor Van Langen kemudian dikalahkan. Walaupun Belanda didukung oleh 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858[17].

Sungai Kumpeh juga merupakan Sungai yang menghubungkan antara Marga Kumpeh Hilir, Marga Kumpeh Ulu dan Marga Jebus[18].

Belanda juga menggunakan Sungai Batanghari kemudian mengejar Sultan Thaha dan kemudian mengepung sehingga Sultan Thaha Saifuddin  tertembak tahun 1904[19].

Sungai adalah identitas dan penanda. Didalam penyebutan nama-nama tempat dan kewilayahan (tata ruang) yang biasa disebut “Tembo[20]” sering diungkapkan seperti “dari ulu sungai..”. Atau “Melayang sungai.. “. Kata-kata “dari” sungai..” adalah penanda batas wilayah. Sedangkan “melayang” diartikan sebagai “menyeberang” sungai. Sehingga nama sungai disebutkan maka sungai yang disebutkan termasuk kedalam wilayah dusun yang disebutkan didalam tembo.

Sungai sebagai identitas dan penunjuk arah, Arah matahari hidup ditandai dengan istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan toman[21]. Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[22].

Sebagai identitas, jalur sungai merupakan jalur migrasi masyarakat yang kemudian melintasi berbagai lintasan Propinsi. Misalnya Orang Sungai Ipuh mengaku sebagai “keturunan Serampas”. Puyang mereka berasal dari Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh[23]. Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak[24]’.

Dalam hubungan kekerabatan, Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan dalam Marga 5 Koto. Marga 5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo, Tras Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi tempat dan bernama Penarik.

Sebagai pendatang, Orang Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[25]. Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam Dan Suka Rajo.

Cerita rakyat (Tembo) yang terdapat di Marga Sumay yang mengaku berasal dari keturunan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau”. Berakit kulim bertimbo lokar[26] menuju batang sumay, dan selama satu bulan mengarungi sungai bulan hingga ke lubuk sungai bulan,dan dinamakanlah daerah lubuk yang disinggahi tersebut dengan dusun muaro bulan dan sungai tersebut dengan sungai bulan karena datuk patih menyusuri sungai tersebut selama 1 bulan untuk menuju ke desa pemayungan(sekarang)[27]

Sebagai identitas, Penamaan Sungai juga ditandai dengan nama tempat Desa. Seperti Sungai Pinang, SUngai Arang, Sungai Kerjan, Sungai Mengkuang, Sungai Binjai (Bungo), Sungai Keruh, Sungai Rambai, Sungai Jernih (Tebo), Sungai Rengas, Sungai Terap, Sungai Aur, Sungai Bungur,  Sungai Bahar, Sungai Gelam, Sungai Bertam (Muara Jambi), Sungai Manau, Sungai Lisai[28], Sungai Putih (Bangko)

Sungai merupakan “urat nadi” perekonomian. Merupakan jalur perdagangan yang digunakan hingga akhir tahun 1990-an sebelum illegal logging marak dengan kemudian menyebabkan pendangkalan Sungai Batanghari.

Selain itu pergeseran kebijakan orde baru yang memindahkan jalur sungai ke jalan raya dalam distribusi ekonomi menyebabkan pergeseran pola perpindahan penduduk dari Sungai menjadi bermukim di pinggir Jalan.

“Jejak” Sungai masih dilihat dengan menyusuri perjalanan sungai Batanghari. Setiap desa yang berada di pinggir sungai terdapat dusun-dusun tua yang ditandai dengan rumah-rumah panggung.

Melihat rangkaian yang telah diuraikan maka terbukti sungai merupakan “identitas” dan “jalur ekonomi” dan menghubungkan antara desa satu dengan desa lain maupun antara satu marga dengan marga yang lain. 





[1] Disampaikan pada Diskusi “Sungai dan Sejarah Sumatera – Perspektif Sejarah, Arkeologi dan Lingkungan”, Jambi , 20 Februari 2017
[2] Saya hanya punya background Ilmu hukum. Tetapi tematik sungai menarik perhatian saya ketika saya menggali sejarah keberadaan masyarakat yang selalu menyebutkan kewilayahan (tata ruang) dengan sungai. Dan itu membuat saya kemudian menggali dan melihat kontur dari kehidupan masyarakat.  Namun belum dilakukan lebih dalam penggalian terhadap hubungan sungai dengna keberadaan masyarakat. Oleh karena itu saya hanya berani memberikan subjudul dengan kata “Suatu Pengantar”
[3] Advokat, tinggal di Jambi
[4] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
[5] Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[6]   Budihardjo, Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi, 2001
[7] Sebagai factor pertumbuhan persekutuan hukum  (rechtsgemeenshap) sebagai faktor territorial, maka masyarakat Melayu Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk. Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan, melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka dengan pendatang. Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa
[8] Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap” disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun.  Sedangkan Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk pembagian Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada 12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo, Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap, Tambon Arang dan Bedaro Rampak. Begitu juga Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo.  Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
[9] Pertemuan di Desa Muara Air Duo, Sarolangun, 23 Maret 2013
[10] Pertemuan di Desa Tanjung Alam, Merangin, 19 Juni2 1011
[11] Pertemuan di Desa Pemayungan, Tebo, 26 Desember 2012
[12] Pertemuan di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, Tebo, 1 Oktober 2016
[13] Pertemuan di Desa Senamat, 19 Agustus 2016
[14] Pertemuan di Desa Rantau Panjang, 26 Agustus 2016
[15] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA - Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi – Laporan Orang Rimba – KOPER HAM, 2006. Laporan ini telah disampaikan ke KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM kemudian telah memuat 12 Pelanggaran HAM di Bukit 12.
[16] Peraturan Desa di Marga Batin Pengambang, 28 Juli 2013
[17] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
[18] Marga Jebus kemudian tertinggal menjadi Desa Jebus dan termasuk kedalam Kecamatan Kumpeh Hiilir
[19] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907), hlm.135
[20] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
[21] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[22] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
[23] Ibid.
[24] Saya menafsirkan orang lembak sebagai padanan kata “Lembah’. Atau orang yang berada di lembah. Atau orang yang tinggal di daerah bawah.
[25] “MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan penghormatan terhadap Raja di Muko-muko. Istilah ini sering ditemukan di berbagai desa didalam Marga Sungai Tenang.
[26] “Berakit” artinya naik rakit
[27] Wawancara Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[28]Khusus Sungai Lisai adalah dusun yang terletak di Pungguk 9 Marga Sungai Tenang, Bangko. Namun karena akses yang cukup jauh dengna Muara Madras maka kemudian dimasukkan ke Kecamatan Pinang Belapis, Lebong, Bengkulu.