10 Februari 2017

opini musri nauli : JAWABAN MANTAN UNTUK SANG MANTAN



Karena mbak Emmy memulai dengna kata “mantan”, maka sesama mantan Direktur, saya ingin menjawab kegundahan Mbak Emmy.

O, ya. Saya harus panggil Mbak. Selain memang panggilan yang saya kenal di Walhi sejak tahun 1998. Panggilan Mbak adalah panggilan hormat kepada yang lebih tua.
Hampir setiap orang memanggil Emmy Hafid di Walhi biasa dikenal Mbak. Saya kurang ingat mulai kapan istilah itu digunakan. Tapi yang pasti saya masih memanggil Mbak Jul (Julia Kalmirah), Mbak Ovi (Farah Sofa), Mbak Bimbi (Arimbi HP)  atau Mbak Yaya (Nur Hidayati).

Begitu juga Bang Imam (Imam Masfardi), Bang Chalid (Chalid Muhammad), Bang Dana (Ramadhana Lubis), Bang Fendi (Effendi Panjaitan), Bang Dickson (Dickson Aritonang). Atau Mas Joko, Mas Jamet, Mas Winoto. Cuma Nurkholish kami biasa memanggil Cak Choli. Atau Cak Chairil. Keseluruhan nama-nama itulah yang saya kenal ketika saya memasuki Walhi tahun 1998. Tentu saja tidak mungkin saya uraikan daftar yang kemudian saya tuliskan.

Sekarang panggilan Mbak, mas, Abang relative kurang dipakai. Setiap orang kemudian dipanggil “Ketua”. Mau Perempuan atau lelaki. Saya juga kurang ingat istilah “Ketua” mulai digunakan.

Mengapa saya menyapa Mbak Emmy dengan teman-temannya. Itu sekedar cerita bagaimana saya mengikuti proses Walhi sejak tahun 1998 hingga sekarang.

Apabila menilik tahun 1998, artinya Mbak Emmy masih periode pertama sebagai Direktur Walhi (1996-1999). Dan Mbak Emmy kemudian terpilih di Banjarmasin tahun 1999. Hingga digantikan Longgena Ginting tahun 2002.

Dengan demikian, maka saya mengikuti proses di Walhi dari periode Mbak Emmy hingga kini. Baik memegang jabatan di orgnisasi, atau cuma tukang catat hingga  3 bulan yang lalu, Saya masih berada di barisan Abetnego Tarigan dan 6 bulan masih di barisan Yaya (Nur Hidayati). Sedangkan periode sebelumnya baik dipimpin Chalid Muhammad, Longgena Ginting saya berkesempatan menjadi Dewan Daerah (lembaga parlemen di Walhi).

Saya termasuk orang yang beruntung mengikuti proses demokrasi di Walhi. Dan rasa itulah kemudian ingin memberikan tanggapan terhadap kegundahan Mbak Emmy.

Waduh. Kok romantic begini, Ya.. Semoga tidak ada yang mengkritik saya, baper karena mantan..

Mbak Emmy. Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jam terbang Mbak Emmy. Saya lahir di Jambi, sekolah, kerja di Jambi. Hampir praktis cuma Jambi yang saya ketahui.

Tapi di Walhi, saya berkesempatan mengikuti proses politik yang demokratis. Tidak ada kekuasaan absolut. Berbeda dengan organisasi lain, Eksekutif Nasional tidak dapat mengintervensi daerah. Baik strategi advokasi, desain kerja, management dan organisasi.

Begitu otonomnya daerah, maka Eksekutif Nasional cuma sekedar “Chief administrasi’. Bahkan dalam guyonan di internal Walhi, Eksekutif Nasional “cuma” sekedar mengumpulkan peserta untuk mendesain kampanye dan strategi advokasi. Kalo bahasa di Jambi lebih tepat sebagai “dubalang”. Memegang gong kecil untuk mengumpulkan rapat di tengah dusun. Setelah rakyat kumpul, maka forum rapat kemudian diserahkan kepada orang kampong itu sendiri.

Begitu juga berdaulatnya anggota. Lihatlah. Didalam statute, Eksekutif baik eksekutif Nasional maupun Eksekutif Daerah tidak mempunyai suara sedikitpun didalam pemilihan. Baik pemilihan Direktur Eksekutif Nasional Walhi maupun Direktur Eksekutif daerah. Sampai sekarang egaliter di Walhi tetap terjaga. Dan kupikir pasti Mbak Emmy mengetahuinya.

Namun pesan yang hendak saya sampaikan bukan berkaitan dengan issu reklamasi. Tapi sikap egaliter yang saya rasakan 4 tahun terakhir. Tanpa mengenyampingkan periode Mbak Emmy, Ginting, Bang Chalid atau Ketua Berry yang kebetulan saya tidak terlibat day to day, tapi di periode Abetnego, Suasana egaliter dan menghormati daerah begitu kentara. Saya masih ingat persis, ketua Nego selalu mengatakan “apapun keputusan daerah, kami di Nasional akan mengikuti. Karena teman2 daerah yang paling tahu kondisi sebenarnya. Saya tidak akan ke daerah apabila pintu tidak kalian buka”. Dan konsistensi ini terus dilanjutkan oleh Ketua Yaya.

Dalam persoalan kebakaran tahun 2013, 2014 dan 2015, Ketua Nego menyerahkan bagaimana desain advokasi yang dilakukan daerah. Kalau mbak Emmy mau membaca berita tentang kebakaran tahun 2015, berita-berita yang kemudian dimuat headline media massa terkemuka justru menampilkan berbagai Walhi daerah. Dan itu sampaik sekarang tradisi ini masih dirawat.

Nah. Dengan demikian mengenai reklamasi, maka didalam debat internal baik di WA, diskusi rutin maupun forum-forum keorganisasian, kami bersepakat terhadap langkah yang hendak diambil Walhi Jakarta. Baik terhadap materi mengenai reklamasi, upaya hukum maupun berbagai pernik mengenai reklamasi di Jakarta.

Dan sebagai organisasi yang disiplin, kami kemudian satu barisan untuk mendukung Walhi Jakarta. Dengan demikian, maka saya bisa memastikan hanya Walhi Jakarta yang paling mengetahui mengenai reklamasi. Support akan diberikan untuk Walhi Jakarta.

Saya kok masih mikir, bagaimana alam yang berdekatan dengan rakyat, kita kemudian mengeluarkan teori-teori yang “sok jago”. Apabila Mbak Emmy mau sejenak melihat dasar pemikiran yang dilakukan rakyat memperjuangkan kepentingannya, maka unsur essensial yang tetap tidak saya terima adalah KLHS. Bagaimana mungkin, proses AMDAL ataupun izin lingkungan yang dibuat didalam reklamasi kemudian  menabrak berbagai peraturan. Tentu saja Pemerintah Jakarta akan berkilah dengan berbagai argumentasinya. Yang saya tahu melalui youtube atau pemberitaan resmi.

Tapi persoalan lingkungan hidup tidak serta merta dengan pendekatan scientic biasa. Dibutuhkan upaya alam mengembalikan fungsinya (didalam UU Lingkungan Hidup disebutkan sebagai daya dukung dan daya tampung). Makna ini sering disebut ditengah masyarakat, “Beri waktu alam untuk bernafas”.

Dalam periode Longgena Ginting, slogan “moratorium logging” adalah bentuk perpaduan antara scientic dengan pengetahuan local. Dan itu kemudian menjadi inspirasi baik didalam program pemerintah maupun kampanye di sector hutan.

Mengapa saya tegaskan demikian. Beranjak dari cara-cara yang saya lakukan, maka saya mempercaya, kekuatan Walhi di barisan rakyat. Kita boleh berbeda pengetahuan mengenai alam. Mengenai hutan. Mengenai konservasi. Mengenai hutan lindung, Mengenai gambut ataupun mengenai air dan laut.

Tapi saya kemudian memilih dibarisan rakyat. Karena saya percaya. Rakyatlah yang paling mengetahui tentang alamnya. Termasuk gejala-gejala, upaya yang akan dilakukan atau apapun mengenai alam itu sendiri.

Dan saya kemudian teringat perkataan Anwar Sadat (Direktur Walhi Sumsel). “Mandat Walhi adalah mandate rakyat. Organisasi tidak boleh melawan mandate itu”

Masih ingat ketika issu REDD. Issu seksi yang hampir semua pihak bersikukuh dan bertahan itulah konsep yang paling baik. Namun saya termasuk orang yang percaya. Alam telah diatur didalam sistem itu sendiri. Maka rakyatlah pemegang kedaulatan terhadap issu itu sendiri.

Nah. kalo ini pasti panjang. Tapi saya sampaikan, Konsep ini gagal. Berbagai tempat yang dijadikan project REDD kemudian tidak jelas ceritanya. Dan saya bisa memahami kemudian, program REDD kemudian tidak dilanjutkan lagi oleh Jokowi.

Dan yang paling memalukan adalah berbagai pihak kemudian tidak malu mengakuinya kegagalan dengan konsep ini. Bahkan sekarang ramai-ramai malah  menawarkan issu baru yang justru asing di tengah masyarakat.

Dan sejak itu, saya kemudian mulai tidak percaya lagi dengan teori bualan dari akademisi yang sok tahu. Saya kemudian menggunakan akal saya yang sederhana untuk memotret dari sudut pengetahuan rakyat. Hampir setiap fenomena yang terjadi, rakyat bisa menjelaskan dengan runut.

Dan ketika Mbak Emmy menyampaikan pandangannya tentang Reklamasi, maka saya membutuhkan beberapa kali bolak-balik untuk memahami alur pikiran Mbak Emmy. Dan saya kemudian melihat dari sudut pandang sederhana. Posisi (standing) mempengaruhi cara berfikir dan pilihan taktis. Saya menghormati berbagai teman-teman mengambil pilihan paska dari Walhi. Karena kita sudah terlatih dewasa untuk berbeda pandangan.

Namun standing Walhi yang tetap berpihak kepada masyarakat terpinggirkan, merebut keadilan ekologi, melawan ketimpangan adalah sedikit mandate dari dokumen resmi dan pandangan politik Walhi.

Dan mbak Emmy bisa lihat. Bagaimana tetap kritisnya Walhi dengan Pemerintahan Jokowi. Baik standing yang kemudian berpihak dalam issu seperti reklamasi, gambut, karst ataupun issu lain yang tetap mengedepankan rakyat sebagai pemegang kedaulatan pengambil keputusan.

Oya, Mbak Emmy. Ada teman saya bilang. “Setiap masa ada orangnya. Setiap orang ada masanya”. Tantangan Walhi berbeda dengan periode-periode sebelumnya. Pintu-pintu birokrasi sudah terbuka. Dan itu kesempatan merupakan tarung gagasan. Dan Walhi periode Nego dan Yaya harus mempunyai konsep untuk mengikuti tarung gagasan.

Konsep “bentang alam”, kawasan ekologi genting, keadilan iklim (climate justice), restorasi Indonesia, Pulihkan Indonesia atau wilayah kelola rakyat bukanlah kreasi Walhi. Tapi didapatkan, digali dari pergumulan di lapangan bersama rakyat. Dan sampai sekarang saya masih percaya, hanya rakyat yang mampu menjawab persoalan alam itu sendiri. Termasuk bagaimana rakyat yang terkena dampak akibat reklamasi yang paling mengetahuinya, melakukan pilihan dan tentu saja upaya apapun yang bisa dilakukan untuk memulihkan ekosistem disana.

Dan pilihan Walhi berada di barisan rakyat telah membuktikan. Konsep yang diusung rakyat merupakan konsep yang paling sesuai dengan alam Indonesia.

Kalo mbak Emmy mau jalan2 lagi turun ke lapangan, Maka saya akan menunjukkan rasa malunya saya bagaimana melihat alam.  Bagaimana mereka menandai alam. Baik memasuki musim tanam, musim hujan ataupun memasuki musim kemarau.

Atau ketika bicara gempa bumi dan cara mereka melewati bencana. Istilah Walhi “Berkawan dengan bencana.

Oya, Tentu saja ke lapangan sambil minum kopi. Kopi giling bukan kopi gunting,

Mbak Emmy., saya tersentak dengan kalimat Iwan Fals “Negara kepulauan kok membangun Pulau”. Kalimat itu menyentak saya. Dan mengingatkan saya agar selalu berada di lapangan. Karena dari sana suara mereka mempunyai makna.

Sebelum menutup cerita saya, Kalo ada waktu mampirlah ke Tegal Parang Utara. Disana banyak anak muda menunggu cerita Mbak Emmy.

Oya. Ada Salam dari Ketua Yaya. Katanya “Semoga Mbak Emmy tetap kritis. Sekritis yang kukenal”.