05 Februari 2017

opini musri nauli : Ketika negara mengurusi ranjang


Hampir 7 tahun yang lalu, dunia hiburan (entertainment) dan dunia hukum diserbu berita tentang “energy” bangsa untuk Kasus heboh artis Arief Peterpan-Luna Maya. Kritik saya terhadap perkara ini kemudian sudah saya tuliskan “Mengintip Kamar”. Artis, 7 Agustus 2010.


Kritik saya dilandasi ketika tidak tepat Ariel “dipersalahkan” melakukan perbuatan “tidak senonoh” yang divideokan dan menjadi viral di berbagai dunia maya. Selain itu penggunaan UU Pornografi yang diberlakukan setelah perbuatan Ariel-Luna Maya menjadi asas “berlaku surut (retroaktif)” menjadi cacat formil.

Namun “kemuakkan” public terhadap perbuatan Ariel kemudian menghantarkan Ariel harus menanggung di penjara. Dan apapun putusan terhadap Ariel menimbulkan persoalan dimuka hukum. Baik didalam asas “retroaktif”, prosedur hukum acara dan prinsip keadilan terhadap Ariel.

Tanpa mengenyampingkan “urusan moral”, perbuatan yang dilakukan Ariel merupakan permasalahan yang serius dalam tataran praktek penegakkan hukum.

Ruang sepi” dan “urusan ranjang”, wilayah privat yang tidak menjadi urusan public kemudian menjadi gegap gempita dalam urusan public. Dari ranah inilah kemudian UU Pornografi memang menjadi masalah didalam penegakkan hukum.

Roda kemudian berputar. 7 tahun kemudian, tema ini kembali memantik wacana public. Seorang tokoh yang disebut tokoh agama kemudian dilaporkan telah melakukan “chatting” dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Percakapan dan gambar dalam wattapp dapat dikategorikan “tidak senonoh” dan tidak pantas dan dapat dijadikan dasar diterapkan UU Pornografi.

Menyikapi peristiwa diatas, maka UU Pornografi kembali memakan korban. Perbuatan yang masuk kedalam “urusan bilik” atau “urusan ranjang” dan menjadi domain wilayah privat. Namun  kembali “Negara” turun tangan mengurusinya. Sebuah esensi yang jauh dari pendekatan filosofi.

Tanpa bermaksud memasuki wilayah hukum, persoalan “klasik’ menimbulkan masalah. Apa urgensinya Negara “mengurusi ranjang” rakyatnya. Selama perbuatan yang dilakukan adalah “suka sama suka”, tidak ada keluarga yang mengadukan, maka Negara kemudian tidak bisa menggunakan perangkat besinya untuk mempersalahkan dan membawa kasus ini dimuka hukum.

Urusan kesusilaan kemudian “dipaksa” menjadi “urusan hukum” maka menimbulkan “ketidakadilan”. Dari ranah inilah, maka saya menolak diterapkannya UU Pornografi dalam peristiwa diatas. Baik terhadap kasus Ariel-Maya maupun kasus yang akan menimpa tokoh diatas. Sikap saya tidak berubah sejak 7 tahun yang lalu.

Namun tulisan kali ini tidak membicarakan dari pendekatan hukum. Baik dari penerapan norma maupun dari makna UU Pornografi yang bermasalah. Selain memang pembahasan ini sudah saya tuliskan 7 tahun yang lalu, tema ini akan berkesudahan dalam proses hukum yang kemudian menjerat Ariel-Luna Maya.

Namun “ketika” energy bangsa kemudian “dikerahkan” untuk digunakan menghabisi tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan pandangan Pemerintah. Cara dan model yang digunakan adalah cara-cara yang digunakan sebagaimana disampaikan oleh Niccolo Machiavelli (1469-15270, seorang ahli berkebangsaan Italia didalam buku yang terkenal “II Principe”. II Prinsip (Sang Penguasa) disebut sebagai buku “petunjuk untuk para dictator”. Tahun 1559 Gereja Katolik kemudian memasukkana dalam daftar Indeks sebagai buku yang dilarang dibaca dan diedarkan dalam komunitas gereja katolik.

Machiavelli menyebutkan “seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik, dusta digabung dengan kekejaman dan kekuatan. Cara ini kemudian menempatkan para dictator disebut “Makiavelis”.

Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia buku ini, M. Sastrapratedja dan Frans M. Parera (1991) menyebutkan “konon Napoleon, sang diktator Prancis itu, senantiasa menyelipkan buku Sang Penguasa di bawah bantal kepalanya, sama halnya dengan tingkah laku Hitler, Mussolini dan Stalin. Hanya Benito Mussolini salah seorang dari sedikit penguasa negara-negara modern yang secara terang-terangan di depan publik menyatakan kekagumannya atas ajaran Machiavelli. Para pemimpin lainnya tidak atau enggan berterus-terang”.

Ketika Negara mengurusi “ranjang” dari rakyatnya, maka disaat itulah kemudian hukum menemukan momentum. Hukum digunakan untuk menjerat dan menghabisi orang-orang yang berseberangan dengan Negara. Hukum kemudian menjadi tirani.

Selain itu, tema Negara mengurusi “ranjang” dari rakyatnya merupakan salah satu pemikiran dari Negara-negara sebelum abad XII di Eropa. Sering disebut masa kegelapan bangsa Eropa.

Para Raja kemudian “mengurusi” segala sesuatu yang berkaitan dengan rakyatnya. Mengurusi pakaian, mengurusi moral bahkan mengurusi segala aspek privat rakyatnya sendiri.

Tumbangnya kekuasaan absolute dan pertentangan antara Raja dan Gereja kemudian berhasil memisahkan urusan public dan urusan privat. Masa ini kemudian dikenal sebagai “Negara ketertiban. Sebagian menyebutkan sebagai “Negara penjaga malam”. Negara kemudian mengurusi “urusan public” di tengah pasar, di tengah Negara dan huruhara yang menyebabkan kehebohan di tengah masyarakat.  

Konsepsi ini kemudian ditinggalkan dan Negara tidak dibenarkan mengurusi yang berkaitan dengna privat. Di Indonesia kemudian diatur didalam UU berkaitan pidana dan ranah privat yang diatur didalam hukum Perdata/hukum dagang (Burgelijk van Wetboek).

Saya sering memberikan perumpamaan. Diluar rumah, Negara harus melindungi masyarakat dan diperlakukan tidak adil (ranah public). Namun Negara bertugas sampai dipintu rumah. Negara tidak boleh masuk ke rumah apalagi masuk apalagi sampai mengurus “ke bilik ranjang”. (wilayah privat).

Peristiwa diatas “terlepas” benar atau salah merupakan ranah moral dan kesusilaan. Dan Negara tidak dibenarkan membicarakan moral dan kesusilaan. Biarlah itu menjadi penilaian dari masyarakat baik terhadap kebenaran maupun ketidakbenaran itu sendiri.

Dan energy bangsa terlalu besar digunakan untuk mengurusi ranjang dari rakyatnya.

Padahal, masih banyak “dugaan” pelanggaran hukum yang dapat diproses untuk menjerat  Proses hukum baik “pelecehan bendera”, “pelecehan lambang Negara”, penghinaan agama tertentu, “penistaan mata uang” adalah berbagai proses hukum yang sedang bergulir. Dan semuanya disampaikan dimuka hukum dan menjadi ranah public untuk disikapi oleh Negara. Dan secara hukum, proses yang sedang bergulir juga menempatkan Negara yang harus melindungi masyarakat dari penghinaan dari sang Tokoh.

Sehingga menggunakan UU Pornografi selain melambangkan cara-cara yang digunakan “Makiavelis” juga digunakan oleh Raja-raja Eropa sebelum abad XII.

Apakah kita mau “seatback” dan hidup dalam dunia Eropa sebelum abad XII ?



Advokat, Tinggal di Jambi