05 Februari 2017

opini musri nauli : KONSEP PEMIKIRAN DALAM ISLAM



Ketika ayat pertama “Iqra” diturunkan, maka makna harfiahnya “bacalah” tidak serta merta ditafsirkan “sekedar” membaca.

Kata iqro’ dalam bahasa Arab adalah berbentuk fi’lul Amr /kata perintah/ affirmative dari kata qoro’a –yaqro’u-iqro’-qiroatan. Iqra’ adalah fi’il amar (kalimat perintah). “Bacalah”. Kata “bacalah” kemudian “perintah” untuk membaca.
Konsepsi “iqra” kemudian harus dimaknai dengan “akal (aqli)”. Iqra’ dari kata “qara’a” yang kemudian menghimpun. Dengan merujuk “menghimpun” maka ketika membaca tidak sekdar membaca, tapi kemudian menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti baik teks tertulis maupun tidak.

Dengan membaca maka kemudian belajar, membuka wawasan, mengembangkan gagasan, membuka tabir rahasianya, meluas cakrawara berfikir dan menemukan kebenaran.

Dengan Iqra’, maka kemudian Al Qur’an meletakkan pengetahuan dan melibatkan akal dan kalbu untuk memahaminya. Sehingga setiap petunjuk, perintah, ajaran yang terkandung didalam Al Qur’an dapat dipahami bagi mereka yang berfikir.

Dalam kerangka fiqh Islam, kebabasan mengemukakan pendapat biasa disebut ‎dengan istilah hurriyyah al-ra’y (menurut etimologis berarti kebebasan berpendapat ‎yang juga berarti kebebasan berbicara).

Hurriyyah al-ra’y kemudian memperketat pemikiran ‎yang matang, mendalam dan sungguh-sungguh. Quraish Shihab menyebutkan Al-din Al-nashihah (keberagaman adalah nasehat). Nurcholish Madjid menyebutkan Kebutuhan berkumpul dengan sesame (le desire d’etre ensemble). Ibnu Khaldum menyebutkan  Manusia pada dasarnya adalah makhluks social (al-nas madaniyun bi al-thabi’I)

Itulah materi dasar didalam Pendidikan dasar HMI (Basic Training HMI). Materi itulah yang kemudian membuka cakrawala berfikir dan kemudian “memaksa” saya membuka semua pemikiran tokoh-tokoh yang mempengaruhi dunia.

Sehingga tidak salah kemudian dalam berbagai dimensi saya bisa “menari-nari” pemikiran antara Marx namun kemudian membenturkan dengan H. Misbach. Dalam tarik menarik pemikiran, saya kemudian “mentertawakan” konsep usang Marx ketika saya sodorkan konsep “Madilog” Tan Malaka.

Dalam melihat konsitusi, saya kemudian menganggumi pemikiran KH. Wahid Hasyim, Hatta yang meletakkan konsep dalam percaturan konstitusi. Makna pasal 33 yang membicarakan konsepsi sosialis berangkat dari larangan Islam menumpuk harta (Surat Al Humazah ayat 1-4), larangan memakan harta orang lain (surat Al Baqarah ayat 188). Sehingga tidak salah kemudian saya menjadikan Islam sebagai agama yang membela orang yang tertindas/Musdatafi’in (surat Al Qashash ayat 5 dan 6). Saya kemudian mengagumi M. Natsir, tokoh Masyumi yang dilarang Soekarno untuk menghadiri pertemuan sosialisme Internasional.

Dari cakrawala yang telah dibuka, maka saya kemudian melihat perdebatan sengit antara Soekarno dan M. Natsir didalam konsep Negara dan Agama. Atau perdebatan klasik antara M. Natsir dengan Syahrir. Dan perdebatan Agus Salim dengan Belanda yang hendak datang ke Indonesia.

Dengan sosok dan pemikiran tokoh-tokoh Islam, saya kemudian menemukan relasi antara islam dan perkembangan dunia. Bagaimana mereka meletakkan konsep pemikirna di dalam islam didalam menjawab berbagai pemikiran tokoh-tokoh dunia.

Lalu ketika saya menemukan cakrawala yang diterima di basic training kemudian HMI harus dipersalahkan dalam berbagai kasus hukum dan tarik menari politik.

Suka atau tidak suka, pemikiran Islam juga menjadi wacana yang kuat di dalam HMI.
Tipe seperti Nurcholish Majid, Dawan Rajadjo, Kuntowidjojo, Djohan Effendi atau Yudi Latif, Anies Baswedan, Airlangga Pribadi menjadi rujukan dan salah satu panutan didalam meletakkan pemikiran di Islam. Suasana pemikiran terus hidup dan menjadi kajian dalam diskusi-diskusi kecil dan rutin diselenggarakan.

Namun pilihan kemudian seperti yang dilakukan Akbar Tanjung, Anas Urbaningrum, Jusuf Kalla masuk ke dunia politik juga tidak dapat dihindarkan. Resiko masuk ke dunia politik adalah sebuah pilihan yang kemudian dapat lihat dari jejak rekamnya. Waktu yang menjawabnya apakah “resiko” masuk dunia politik kemudian berakhir “happy ending” atau kemudian berakhir karir politiknya.

Namun kemudian “menuduh” HMI sebagai kader yang menciptakan koruptor justru akan bertentangan dengan logika itu sendiri. Proses hukum terhadap Anas Urbaningrum justru disaat Pimpinan KPK justru berasal dari kader HMI (Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Abraham Samad). Dari posisi inilah kemudian harus obyektif sehingga proses hukum terhadap Anas Urbaningrum adalah proses hukum dimana menurut Seloko Jambi “tangan mencincang. Bahu memikul”.

Selain itu yang sering dilupakan adalah ketika masih banyak kader-kader HMI yang masih “membawa spidol, poster” berkeliling kampong membangkitkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Pematangan materi yang meletakkan Islam sebagai Islam sebagai agama yang membela orang yang tertindas/Musdatafi’in begitu mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari.

Tokoh seperti Munir merupakan salah satu inspirasi yang tetap berdiri di barisan orang tertindas (Musdatafi’in). Mereka terus bekerja diruang sunyi, jauh dari hiruk pikuk politik, polemic keagamaan. Mereka terus mengulurkan tangan dan tidka pernah membicarakan agama yang ditolong. Mereka terinspirasi dari pemikiran Ali Syari’ati. Mereka tidak terjebak dalam taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis.

Milad, HMI.