02 Februari 2017

opini musri nauli : KORUPSI DI DESA




Beberapa waktu yang lalu, KPK dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengadakan pertemuan dan kemudian sepakat untuk mengawasi dana bergulir di Desa.


Pengawasan dana bergulir di Desa cukup besar. Menurut Menteri Desa dan PDTT, tahun 2016 meningkat Rp 60 trilyun dari Rp 20,8 trilyun tahun 2015. Dan akan terus ditingkatkan menjadi Rp 120 trilyun tahun 2017 hingga tahun 2019 sebesar Rp 111,8 trilyun.

Dengan dana bergulir ke Desa dan dibagikan untuk 74.910 desa maka setiap desa mendapatkan dana desa sekitar Rp800 juta rupiah plus Alokasi Dana Desanya antara Rp200 juta sampai Rp3 miliar.
Perkembangan ini merupakan pidato yang disampaikan Jokowi didepan parlemen pertengahan tahun 2016 yang menyebutkan transfer untuk daerah sebesar Rp 782,2 triliun. Penyaluran dana ke Desa merupakan mandate dari UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Dengan dana bergulir sebesar itu ke Desa diharapkan pembangunan dan berputarnya uang sampai ke desa dapat tercapai. Sehingga uang yang berputar di Desa kemudian menyebabkan dapat menyerap tenaga kerja sekaligus akan “menghentikan” minat masyarakat pindah ke Kota.

Namun terhadap dana yang besar ke Desa memerlukan control dan mekanisme keuangna sehingga dapat memenuhi standar keuangan.

Sehingga didalam pertemuan antara KPK-Kemendes PDTT disiapkan aplikasi sistem keuangan desa.

Sistem selain dapat melakukan pengaturan terhadap penggunaan dana yang telah bergulir ke Desa juga dapat digunakan sebagai bahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Namun sistem aplikasi yang berjaringan internet kemudian menimbulkan permasalahan di lapangan.

Dengan jumlah Desa 74 ribu yang tersebar di berbagai pelosok nusantara, maka aplikasi  berjaringan internet mengakibatkan kemudian kesulitan untuk diterapkan.

Padahal dari 74 ribu desa, baru 8 ribu desa yang memiliki akses sinyal komunikasi. Desa ataupun kelurahan yang memiliki akses komunikasi terdapat di sekitar ataupun dekat dengan Ibukota Kecamatan.

Jangankan akses sinyal komunikasi. Masih ada 12 ribu desa yang belum dialiri listrik. Sehingga hanya 8 ribu  Desa ataupun paling banter 12 ribu Desa yang dapat menggunakan aplikasi sistem keuangan Desa. Atau hanya sekitar 10 % dari jumlah desa di nusantara.

Itu baru dari kesiapan sarana dan prasarana untuk aplikasi penggunaan sistem keuangan desa.

Dari segi penggunaan aplikasi juga menimbulkan permasalahan. Belum lagi sistem aplikasi yang memuat perkembangan baru yang masih asing di Kepala Desa.

Tanpa mengenyampingkan terhadap kemampuan Kepala Desa yang “melek” teknologi, penggunaan laptop masih menjadi kendala. Belum lagi program-program computer seperti “word”, Excel” ataupun sistem keuangna yang memerlukan keterampilan sendiri.

Dari berbagai pertemuan dengan Kepala Desa yang jauh dari pusat kabupaten ataupun kecamatan, persoalan aplikasi sistem keuangan Desa adalah pengetahuan yang baru.

Dari Percakapan sekilas, mereka sudah pasrah dan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mempelajari berbagai perkembangan seperti penggunaan laptop, menggunakan program word ataupun excel apalagi penggunaan aplikasi sistem keuangan Desa.

Oleh karena itu mekanisme pertanggungjawaban keuangan tidak dapat dipergunakan dengan baik akan menyebabkan persoalan di muka hukum. Sehingga peran pendamping desa mutlak diperlukan.

Padahal jumlah pendamping Desa 19.131 orang (6.529 Pendamping Lokal Desa (PLD), 10.990 orang Pendamping Desa (PDP dan PDTI) serta 1.612 orang Tenaga Ahli Kabupaten). Dengan ketersediaan cuma seperempat dari jumlah Desa di Indonesia tentu saja akan menimbulkan persoalan didalam menerapkan aplikasi sistem keuangna Desa.

Selain itu masih banyak paradigma yang masih keliru melihat persoalan penggunaan aplikasi sistem keuangna Desa.

Paradigma yang masih kuat di pikiran Kepala Desa yang menganggap selama uang tidak digunakan untuk kepentingna pribadi maka tidak dapat dikategorikan melakukan korupsi.

Padahal paradigma ini mesti diluruskan. Selain tidak menerima suap, tidak mengambil “sesuatu” dari dana yang bergulir, laporan keuangna yang tidak memenuhi standar keuangan yang baik dapat dikategorikan sebagai korupsi. Termasuk laporan keuangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Pemahaman ini menjadi tanggungjawab Negara baik Pemerintah melalui aparatur di tingkat Desa maupun Pemerintah daerah. Termasuk pendamping Desa yang mesti meluruskan pemahaman yang keliru.

Sehingga tidak salah kemudian dibutuhkan “ketekunan” luar biasa dari pendamping Desa untuk membantu Kepala Desa menjalankan aplikasi sistem keuangan sehingga Kepala Desa dapat diselamatkan dari tuduhan korupsi.

Tentu saja kita berharap agar Kepala Desa dapat diselamatkan dari tuduhan korupsi. Baik karena tuduhan korupsi karena menerima suap ataupun mengambil sesuatu dari dana yang bergulir.

Namun yang utama adalah menyelamatkan Kepala Desa karena tuduhan korupsi karena ketidakmampuan ataupun ketidakmengertian didalam mengelola keuangna Desa.




Data dari berbagai sumber