02 Februari 2017

opini musri nauli : makna kata "dapat" dalam pandangan konstitusi


Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara No. 25/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya telah memutuskan kata “dapat” didalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999/UU No. 20 tahun 2001 Tentang Tindak korupsi (UU Tindak Pidana Korupsi). Kata “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tema yang paling menarik dan menyita para pemerhati anti korupsi. Baik dimulai dari pembahasan UU ini maupun didalam berbagai permohonan di MK.

UU Tindak Korupsi merupakan salah satu UU yang “cukup laris manis” diuji di MK bersama-sama dengan UU Pemilu, UU Ketenagakerjaan, UU Advokat, KUHP,  dan UU Pemerintahan Daerah. UU Tindak Pidana korupsi “telah diuji” baik dari norma, kewenangan maupun kewenangan mengadili. Bahkan MK pernah  menyatakan Pasal 53 UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan.

Putusan perkara No. 25/PUU-XIV/2016 menarik perhatian setelah sebelumnya, MK didalam putusan No. 003/PUU-III/2006 telah mempertimbangkan kata “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

Secara sekilas apabila perkara yang telah diputuskan oleh MK, maka para pemohon kemudian dinyatakan Permohonan tidak dapat diterima (niet Ontvan kelijk verklaard/NO). Sehingga ketika MK kemudian memeriksa permohonan terhadap pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak pidana Korupsi, 4 orang hakim MK telah memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

Dengan komposisi 9 orang hakim, 4 orang Hakim MK kemudian menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) maka terhadap pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam.

Dalam catatan penulis, dissenting opinion oleh 4 orang hakim di MK mengingatkan perbedaan mengenai hukuman mati dalam perkara putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007. Selain itu, tidak pernah adanya dissenting opinion yang begitu tajam.

Sedangkan didalam Perkara No. No. 25/PUU-XIV/2016, para pemohon tidak menggunakan alas uji didalam perkara ini yaitu pasal 28 D ayat  (1) Konstitusi namun menggunakan alas uji pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan pasal 28 I ayat (4) dan ayat (5) konstitusi.

Selain itu juga dengan hadirnya UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) membawa dampak penting dengan makna “korupsi”. “Kerugian Negara” akibat kesalahan administrasi tidak dapat dikategorikan “korupsi. Sehingga proses memeriksa “kerugian Negara” akibat kesalahan administrasi dilakukan di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Tata usaha Negara (Pasal 21 UU Administrasi Pemerintahan). Dengan demikian hukum pidana kemudian dijadikan senjata pamungkas (ultimum remedium).

Dengan demikian maka berlandaskan kepada UU Administrasi Pemerintahan, makna kata “dapat” sebagaimana didalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi menjadi bergeser.

Apabila sebelumnya didalam putusan MK Nomor 003/PUU-III/2006, makna “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi adalah perbuatan formal. Merujuk kepada pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, maka untuk membuktikan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi langsung membuktikan setiap unsur didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Sehingga pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi kemudian ditafsirkan sebagai “conditionally constitutional dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

Namun makna kata “dapat” didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi kemudian menjadi bergeser. Dengan merujuk ketentuan pasal 28 G ayat (1) Konstitusi dan Pasal 1 ayat (3) konstitusi, makna UU Administrasi Pemerintahan kemudian diberi ruang untuk diterapkan didalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.

Sehingga semula didalam putusan MK Nomor 003/PUU-III/2006 yang menyebutkan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil kemudian menjadi tindak pidana materiil.

Dengan demikian maka terhadap “tuduhan” korupsi haruslah dapat dihitung jumlahnya. MK kemudian menyebutkan “actual loss”.


Putusan MK kemudian menjadi sinkron dengan UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan UU No. 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi PBB Tentang Korupsi (UNCAC).
.