14 Februari 2017

opini musri nauli : MENELISIK KURSI GUBERNUR JAKARTA


Tidak henti-hentinya riuh gemuruh Pilkada Jakarta. Hampir praktis 6 bulan terakhir ini, degup jantung public “dipaksa” untuk mengikuti perkembangan. Mulai dari jalanan, ruang sidang, tempat-tempat keagamaan, pasar, kerumunan massa, ruang kopi bahkan istana. Saya bisa pastikan, Pilkada Jakarta adalah peristiwa paling heboh di nusantara. Bahkan mengalahkan “pilres” yang ketika sidang di MK, sedang berlangsung grand Film Akademi dangdut di sebuah televisi.

Pilkada Jakarta juga mengumpulkan orang. Dari organisasi “abal-abal, sponsor, organisasi keagamaan, barisan para mantan hingga para pemain lama yang sudah waktunya mengemong cucu. Semuanya ingin bersuara dan menumpang popular dengan blitz lampu yang terus menyala.

Pelan tapi pasti. Ruang sidang pengadilan yang seharusnya menjadi arena memperlihatkan bukti kemudian “dipindahkan” ke luar pengadilan. Kembali gemuruh suara terjadi.

Tidak cukup di ruang pengadilan, Gemuruh suara kemudian berpindah ke istana. Ketika istana mengeluarkan keputusan, perdebatan berpindah. Di ruang akademisi yang saling bersilang pendapat.

Dari berbagai pendapat yang telah mengemuka, berbagai tafsiran terhadap peristiwa pengangkatan kembali Ahok menimbulkan polemic. Menggunakan pasal yang sama namun menimbulkan perbedaan makna. Dan akhirnya saya juga harus menuliskannya. Selain membantu “memperkeruh” juga melihat dari sudut pandang yang lain.

Pertama. Para ahli menggunakan penafsiran gramatikal. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar, keseluruhan pakar yang memberikan tanggapannya baik Denny Indrayana, Mahfud bahkan Refly Harunpun tidak begitu “ketat-ketat amat”. Dalam berbagai pandangannya, mereka melompat-lompat antara penafsiran gramatika melompat-lompat ke penafsiran historis, penafsiran sistematis. Pokoknya seru.

Kedua. Para ahli melihat dari sudut pandang yang berbeda. Antara yang “bertahan” dengan penafsiran gramatikal” ataupun dari penafsiran yang lain.

Ketiga. Keinginan untuk tetap mempertahankan kursi Gubernur atau harus “memberhentikan”.

Dari berbagai wacana, saya tertarik yang disampaikan dari standing (posisi) yang disampaikan oleh Erdianto Effendi  (EE) yang dimuat di Riau Pos dan kemudian dipublish di FB.

Entah beberapa kali saya harus membolak-balik membaca tulisan agar standing dan argumentasi yang disampaikan tidak keliru kemudian saya tanggapi. Dan ketika saya menemukan ruang yang dilewatkan oleh (EE), maka saya kemudian ingin urun rembug sehingga dapat memperkaya untuk membaca tulisan dari EE.

Pertama. Dari berbagai analisa yang dipaparkan, titik tekan yang disampaikan oleh EE tentang kategori tindak pidana berat atau ringan.

Saya harus sampaikan apresiasi kepada EE yang tetap konsisten meletakkan tindak pidana pasal 156 A KUHP tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berat sehingga argumentasi EE kemudian mendukung pendapat dari Refli Harun.

Kedua. Terhadap makna “paling singkat 5 tahun” sebenarnya makna gramatikal yang sudah tuntas baik diulas berbagai pakar maupun dari EE sendiri.

Dalam kesempatan ini, saya tidak mempunyai preferensi untuk memaknai makna pasal 83 UU Pemda.

Namun terhadap argumentasi yang menolak menafsirkan “paling singkat 5 tahun” sehingga kursi Gubernur Jakarta tidak diberikan kepada Ahok yang menggelitik saya untuk menimbrunginya.

Dari berbagai argumentasi yang disampaikan oleh EE, ada beberapa persoalan yang menggelitik bagi saya. Persoalan itu didasarkan kepada makna “paling singkat 5 tahun”.

Merujuk kepada makna gramatikal, ketika kasus pembunuhan atau kasus berat lainnya didalam KUHP sebagaimana dicontohkan oleh EE maka  menimbulkan konsekwensi hukum. Apakah kemudian tidak bisa dilakukan diberhentikan ?. Maka menggunakan makna gramatikal “tidak bisa diberhentikan’.

Namun hukum tidak saja berkaitan dengan asas kepastian hukum (Rechtmatigrecht). Tapi juga mengedepankan kemanfaataan hukum (Doelmatigrecht)

Terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana berat sebagaimana diatur didalam KUHP dan kemudian ditahan, maka roda pemerintahan kemudian tidak berjalan. Dari ranah ini, maka terhadap pelaku dapat dilakukan “pemberhentian sementara’.

Bahkan walaupun “ancamannya diatas 5 tahun” sebagaimana disyaratkan PP No. 72 tahun 2005, namun ketika Kepala Desapun yang diduga bahkan didakwa melakukan tindak pidana dibawah 5 tahun, - misalnya penggelapan - namun kemudian ditahan, maka proses “pemberhentian” juga tetap dilakukan. Walaupun dengna argumentasi yang berbeda digunakan.

Sementara itu kekeliruan menempatkan penggabungan pasal 156 KUHP dan pasal 156 A KUHP yang kemudian menghitung 5 tahun dan kemudian ditambah 4 tahun adalah penempatan yang kurang pas.

Didalam melakukan penilaian terhadap terdakwa didalam proses apakah “diberhentikan atau tidak”, dalam praktek yang digunakan adalah ancaman yang paling tinggi. Bukan kumulatif. Bukan menggabungkan antara pasal 156 KUHP ditambah pasal 156 A KUHP.

Selain itu juga dalam praktek pemidanaan, pada prinsipnya Indonesia tidak mengenal Kumulatif. Didalam pasal 63 ayat (1) KUHP ditegaskan untuk menerapkan yang paling berat. Uraian ini lebih jelas kemudian dijelaskan didalam pasal 63 KUHP dan pasal 64 KUHP. Hanya didalam pasal 65 KUHP. Itupun didalam tindak pidana yang berbeda genus kemudian ditambah sepertiga.

Menilik dakwaan terhadap Ahok, maka dakwaan masih dalam genus yang sama. “Kejahatan terhadap Ketertiban umum”. Sehingga kumulatif menggabungkan 4 tahun kemudian 5 tahun tidak bisa diterapkan sebagaiman diatur didalam KUHP (Pasal 63 ayat (1) KUH)

Ketiga. Walaupun standing yang digunakan oleh EE berangkat dari pasal 56 KUHAP (kewajiban mendampingi tersangka) dan pasal 21 dan pasal 23 KUHAP (tentang ditahannya), namun didalam paparannya kemudian tidak meletakkan proses penahanan sebagai alas untuk “memberhentikan’.

Padahal apabila kita menggunakan pasal 56 KUHAP disandingkan dengan pasal 21 dan pasal 23 KUHAP, maka ketika Ahok “tidak ditahan”, terhadap perbuatannya kemudian tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berat. Sehingga standing ini justru memperkuat “tidak perlu dilakukan pemberhentian kepada Ahok”.

Mengikuti jejak yang telah saya sampaikan, maka saya kemudian meyakini, proses pemberhentian terhadap Ahok tidak dapat dilakukan.

Terlepas dari itu semuanya, tanpa lagi memperhitungkan terhadap paparan saya tentang “Ahok  dapat diberhentikan atau tidak”, saya meyakini proses yang kemudian bergulir ke Mahkamah Agung.

Dengan menempatkan “fatwa hukum” kepada MA, maka lagi-lagi “bola panas” dipindahkan Jokowi. Dan apapun fatwa hukum yang diberikan oleh MA bukanlah keputusan mengikat secara hukum.

Namun saya berkeyakinan, fatwa hukum dapat membantu memahami kasus ini secara jernih.