23 Maret 2017

opini musri nauli : Guru dan Guru Besar



“Nauli. Buat tulisan 70 tahun usia Prof. Rozali”. Demikian kabar dari seberang telephone. Permintaan itu kemudian saya penuhi.

Itulah kenangan yang berkesan ketika Guru saya meminta (lebih tepat menyuruh) membuat opini tentang Prof. Rozali. Tulisan ini kemudian dimasukkan kedalam Bunga rampai Prof. Rozali Abdullah”. Guru besar sekaligus penguji utama saya ketika ujian skripsi 21 tahun yang lalu.

Interaksi saya dengan Prof. Elita Rahmi lebih sering ketika saya menjadi Direktur Walhi Jambi. Sebagai pengampu mata kuliah hukum lingkungan, oleh Prof. Elita, saya kemudian sering diminta mengisi “sesi” hukum lingkungan dan memberikan informasi tentang perkembangan lingkungan. Pertemuan semakin intentif ketika kebakaran tahun 2013 dan tahun 2015.

Pertemuan juga semakin sering ketika para penulis Jambi yang tergabung di Pelanta mengadakan pertemuan. Dan bersama dengan Pak Navarim Karim, Maizar Karim, Prof Elita Rahmi adalah sedikit Dosen Unja yang mau menulis di media local.

Mendapatkan kabar pelantikan dan pengukuhan sebagai Guru besar, ada haru yang menyesakkan dada. Persoalan lingkungna memantik perhatian beliau dan menjadi tema didalam orasi pengukuhan sebagai guru besar.

Terbayang kemudian tawaran pemikiran beliau yang menempatkan persoalan lingkungna begitu penting disaat bersamaan kampus “terjebak” dengan berbagai perangkat peraturan yang justru melanggengkan ataupun melindungi kepentingan pemodal.

Dengan suara kritis, Prof. Elita Rahmi kemudian menempatkan dan mengusulkan Pengadilan Lingkungan sebagai bagian dari Peradilan TUN. Sebuah tawaran yang unik di tengah kepengapan dan problema persoalan lingkungan hidup.

Tawaran pengadilan lingkungna hidup sudah menjadi wacana yang menguat di internal Walhi. Berbagai kasus-kasus lingkungan kemudian dibaca sebagai persoalan kesalahan dan pertanggungjawaban ataupun persoalan “perbuatan melawan hukum”. Sebuah asas yang kemudian mereduksi terhadap persoalan lingkungan hidup itu sendiri.

Dengan “lincah”, Prof. Elita kemudian menggagas gagasan besar yang fenomental dan akan menjadi kajian panjang didalam sistem hukum di Indonesia.

Saya kemudian menarik nafas lega, ketika persoalan lingkungan hidup menjadi perhatian dan menyampaikan di forum sidang senat terbuka.

Dan gagasan yang disampaikan oleh Prof Elita menjadi tanggungjawab pegiat lingkungan hidup didalam implementasi.

Terlepas dari pada semua itu, selain kekaguman saya kepada Prof. Elita yang rela berdiskusi dengan saya, rela memenuhi undangan Walhi Jambi di berbagai pertemuan ditengah jadwal yang padat antara mengajar, menguji maupun sebagai ketua Program Studi kenoktariatan, juga didasarkan “kerelaan” menulis di media local. Sebuah keteladanan yang tetap membumi ditengah kampus yang berdiri di menara gading.

Dengan berlandaskan kepada Pengadilan Lingkungan Hidup, maka penyampaian pidato pengukuhan memerlukan jalan panjang untuk mewujudkan gagasan. Dan saya bangga menjadi bagian dari penyaksi proses yang panjang.

Selamat, Prof Elita. Langkah sudah ditentukan. Mari kita memulai melangkah.