08 Maret 2017

opini musri nauli : HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL

Bid’ah, kafir, haram. Itu teriakan dari penghuni bumi datar ketika saya “mempersoalkan” hari perempuan internasional.


Saya kemudian tertawa ngakak. Penghuni bumi datar kok mempersoalkan agenda penghuni bumi bulat. Hayo. Kok usil banget mengurusi cerita dari bumi bulat. Bukankah bumi datar cuma dihuni 7 juta orang. Lha, kami penghuni bumi bulat mencapai 7 milyar. Hayo. Udah, ah. Cerita lain.
Hari ini, seluruh perempuan dunia sedang merayakan agendanya. Mereka berbaris, mengorganisir demo bahkan mempersiapkan tuntutannya. Lha. Itu agenda perempuan kok.

Tentu saja setiap komunitas menghadirkan perempuan tangguh melewati pertempuan merebut sumber daya alam. 9 Perempuan Rembang yang selalu membuat bulu kuduk saya merinding. Atau “konsistensi” Mama Aleta yang suaranya sampai ke Barack Obama. Atau cerita dari perempuan Seluma yang mengepung masjid untuk melindung pejuang Seluma ketika “penyerbuan” aparat keamanan hendak menangkapnya.

Tentu saja banyak perempuan-perempuan yang sering “menjewer” pemimpin perlawanan ketika para lelaki “hendak bermain mata’ dengan penguasa. Bahkan dengan kepalaku sendiri, ketika aparat hendak memuntahkan pelurunya, ibu-ibu kemudian memasang pagar betis dan menyediakan badannya untuk melindungi mahasiswa yang hendak ditembak.

Di tangan perempuan, aku kemudian tersadar dan kemudian tetap memilih mengurusi “orang kecil”, ketika sempat tarik menarik hendak memasuki partai politik paska reformasi. Sebuah ujaran yang masih tetap kukenang dan kemudian tetap memilih tinggal di kota kecil dan enggan berada di kota besar.

Dalam interaksi berbagai kalangan, aku kemudian menemukan akar persoalan terhadap urusan perempuan. Pola pikir yang masih menempatkan perempuan sebagai subkoordinat dari lelaki yang kemudian sering mengeluarkan perumpamaan “perempuan cuma urusan di kasur, di dapur dan disumur”. Sebuah fakta yang masih terjadi di alam modern ini.

Namun akhir-akhir ini entah mengapa urusan perempuan kemudian ditempatkan sebagai “penyebab” dari kejahatan sexual. Dengan alasan “perempuan sebagai penggoda” kemudian dimaklumi sebagai alasan pelaku sebagai penyebab terjadinya kejahatan sexual. Bahkan empati dalam proses hukum sulit diraih.

Pertanyaan demi pertanyaan yang hendak digali perempuan sebagai korban menjadi “luka” yang terus menerus ditoreh air garam ketika sang perempuan harus menceritakan cerita yang sama berulang-ulang. Dan empati itu hingga sekarang menjadi banyolan dari setiap peristiwa yang menimpa perempuan.

Bahkan anggota yang terhormat DPRD Jambi pernah mengusulkan “tes keperawanan” sebelum masuk sekolah. Sebuah pemikiran yang sungguh “ajaib” di tengah zaman modern.

Di kalangan kelas menengah, perempuan kemudian ditempatkan sebagai “obyek” dari urusan pakaian. Paradigma lelaki kemudian menempatkan “perempuan” harus berpakaian dan kemudian sibuk mengurusi urusan tubuh perempuan.

Dan disaat hari perempuan internasional inilah perlawanan terhadap pemikiran lelaki harus disudahi. Perlawanan terus menerus kita lakukan agar perempuan ditempatkan sebagai makhluk mulia. Ciptaan sang Kuasa yang keindahannya kemudian membuat dunia menjadi bermakna.

Selamat Hari Perempuan Internasional. Hayo kita lawan para lelaki yang masih berfikir kolot memandang perempuan.