05 Maret 2017

opini musri nauli : Majapahit Minangkabau



Didalam cerita-cerita rakyat, pengakuan yang berasal dari Jawa atau Mataram dapat dijumpai di Dusun Pulau Tengah[1], Dusun Renah Pelaan. Bahkan cerita ini begitu hidup di Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan.


Pulau Tengah termasuk kedalam Pungguk Enam didalam Marga Sungai Tengah. Didalam Pungguk Enam terdapat Koto Teguh, Koto Renah dan Pulau Tengah. Desa Pulau Tengah kemudian masuk menjadi Kecamatan Jangkat , Merangin.

Sedangkan Dusun Renah Pelaan termasuk kedalam Pungguk Sembilan, Marga Sungai Tenang. Marga Sungai Tenang kemudian masuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang dan kemudian menjadi Kecamatan Jangkat Timur.

Sungai Tenang adalah nama Marga yang termasuk kedalam Luak XVI. Luak XVI terdiri dari Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan.

Cerita ini melengkapi pengakuan yang berasal dari Pagaruyung ataupun dari Tuanku Regen Indrapura turun ke Serampas kemudian ke Sungai Tenang. Nama Sutan Gerembung merupakan anak dari Sutan Gelumang yang bermukim di Muko-muko. Cerita ini kemudian dilengkapi dari Dusun Renah Pelaan yang mengaku keturunan dari Siti Berek. Siti Berek merupakan adik dari Sutan Gerembung dari “Serampas”.

Cerita tentang Pagaruyung dan Mataram kemudian bermula dengan  Cerita Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak kemudian istri Raden Wijaya. Sedangkan Dara Jingga kemudian kawin dengan Mauliwarma. Cerita ini dapat ditemukan di Pararaton sebagaimana dilukiskan “Akara Sapuluh Dina teka kang andon saking Malayu oleh putri roro. Kang Sawiji ginawe bini-haji denira Raden Wijaya, aran Dara Petak. Kang atuha aran Dara Jingga, alaki Dewa, apuputra ratu ring Melayu aran Tuhan Janaka, kasir-kasir cri Mardadewa, bhiseka sira aji Mantrolot. (Sesudah pengusiran tentara Tartar), datanglah tentara ekspedisi ke Melayu, membawa dua orang putri, Yang satu dijadikan istri/permaisuri Raden Wijaya bernama Dara Petak. Yang tua bernama Dara Jingga. Ia kawin dengan Mauliwarma Dewa dan menurunkan Raja di Tanah Melayu bernama Tuhan Janaka, bergelar Sri Marmadewa, mengambil abhiseka Aji Mantrolot)[2].

Dara Jingga dikenal sebagai nama Puti Paraweswari. Sedangkan Dara Petak dikenal Puti Indraswari. Keduanya adalah Putri dari Raja Tri Buwana Raja Mauliwarmadewa atau dikenal juga dengan nama Akarendrawan yang didalam Tembo disebut “Tuanku Raja Muda.

Mauliwarma dan Dara Jingga kemudian melahirkan Adityawarman yang kemudian dikenal sebagai Raja Kerajaan Melayu Minangkabau berkedudukan di Pagaruyung.

Didalam Tembo disebutkan wilayah Kerajaan Melayu Minangkabau seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai Pagu, Batanghari, Bengkulu, Batak bahkan hingga ke Negeri Sembilan di Semenjung Malaya[3].

Raja Adityawarman lahir tahun 1295 m dan kemudian dididik di Majapahit. Sekembali dari Majapahit kemudian menjadi Raja di Kerajaan Bunga Setangkai. Pusat kerajaan semula di Sungai Tarab dipindahkan ke Nagari Ulak Tanjung di kaki bukit patah yang kemudian dikenal dengan nama Pagaruyung.

Di Jambi sendiri, Seloko seperti  Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Minangkabau.

Sedangkan cerita Penyebutan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau[4]” atau “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[5]” mengingatkan sejarah Minangkabau yang didalam Tambonya selalu menyebutkan “Datuk Perpatih Nan Sebatang[6], sebagai “nenek moyang” dari Minangkabau. 

Jejak Adityawarman dapat ditemukan didalam berbagai prasasti yang dituliskan didalam bahasa Sansekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno atau Jawa Kuno. Prasasti yang memuat puji-pujian keagungan dan kebijaksanaan Adityawarman sebagai Raja yang menguasai pengetahuan dibidang keagamaan, Pemerintahan dan kesusastraan[7].


[1] Disebut Pulau Tengah karena pemukiman terletak di Tengah Pulau. Dikelilingi Sungai Mentenang dan Sungai Metung. Sungai Mentenang kemudian dikenal sebagai Sungai Tenang.
[2] Slameet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah leluhur Majapahit, Penerbit Inti Idayu Press, Jakarta, 1983, Hal 176
[3] De Joselin De Jong, Minangkabau and Negeri Sembilan : Sociopolitical Strukture in Indonesia, Penerbit Bhatara, Jakarta, 1960, hal. 110 - 111
[4]  Cerita ini hidup di Marga Sumay
[5] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[6] Amir Sjarifoedin MINANGKABAU – DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL, PT. Gria Media Prima, Jakarta, 2014, Hal 66.
[7] Budi Istiawan, Selintas Prasasti dari Melayu Kuno, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, 2006.