01 Maret 2017

opini musri nauli : RUDIANSYAH YANG KUKENAL



Usai PDLH VI Walhi Jambi dengan terpilihnya Hardi Yudha, Oscar dan Joy sebagai Dewan Daerah dan Rudiansyah (Rudi) Sebagai Direktur Walhi Jambi 2017-2021. Sebuah proses panjang setelah PDLH yang semula diadakan akhir November namun baru bisa dilaksanakan akhir Februari 2017.


Terpilihnya Rudi mengingatkan kenangan kecil saya ketika bertemu Rudi di Tebing Tinggi. Waktu itu saya mengajak Rudi agar mau meninggalkan kampong dan membantu Walhi Jambi pada masa periode ke 2 Masa Feri Irawan.

Sebagai sesame anggota Wanala Elang Gunung (Kelompok Pecinta Alam), saya mengenal rudi sebagai orang yang kalem, gesit namun menghindarkan konflik secara terbuka. Menghormati senior namun kukuh memegang prinsip. Prinsip yang disampaikan dengan gaya kalem, lembut bahkan dengan suara yang mengajak memahami prinsipnya.

Setelah memasuki Walhi Jambi tahun 2015, kemampuan Rudi kemudian diuji ketika membawa rombongan Walhi Jambi menghadiri pertemuan Nasional Walhi tahun 2007 dengan membawa rombongan 7 bis. Kemampuannya mengorganisir dan bersama rombongan menghadiri acara membawa kesan mendalam bagi saya. Saya meyakini Rudi akan memegang tanggungjawab besar untuk agenda selanjutnya.

Setelah terpilihnya Arif Munandar tahun 2008, Advokasi menolak izin HTI di Bangko semakin intensif. Hampir praktis selama 3 tahun lebih “tenggelam” di lapangan untuk memperkuat masyarakat. Bersama-sama dengan berbagai jaringan, izin HTI kemudian ditolak.

Namun kenangan di lapangan justru memberikan pelajaran baru. Rudi kemudian praktis mempersiapkan masyarakat untuk mengusung model hutan Desa seluas 49.508 ha. Bersama-sama dengan PMKM (Poros Masyarakat Kehutanan Merangin) kemudian mendapatkan 17 Hutan Desa.

Ketika wacana hutan desa kemudian menjadi polemic, dari suara Rudi saya kemudian meneguhkan pendirian. Dengan kalem dia berujar “Kita yang paling tahu kondisi di lapangan dan apa yang dibutuhkan masyarakat. Mimpi masyarakat sederhana. Wilayah kelola mereka jangan diganggu’. Sebuah ujaran yang kemudian menginspirasi saya untuk melihat keadaan dari lapangan.

Pelan tapi pasti, ketika PDLH Walhi V tahun 2011, berbagai teman-teman kemudian mendesak Rudi untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Selain mempertimbangkan keluarga Arif Munandar yang akan menetap di Kalimantan, jam terbang dan kemampuan managerial Rudi memenuhi persyaratan untuk menakhodai Walhi Jambi. Namun dengan halus kemudian Rudi menolak dengna alasan “belum siap’. Sebuah ujaran yang kemudian disambar Arif  “Tidak ada kata siap untuk di Walhi”. Rudi hanya tersenyum dan kemudian mengeloyor tanpa beban.

Ketika Tahun 2012, Arif kemudian mengundurkan diri dengan urusan Keluarga, Rudi kemudian ditunjuk sebagai Pjs Walhi sembari menunggu pelaksanaan PDLH Luarbiasa. Dengan dibantu Dewan Daerah mengawal Walhi Jambi, proses melaksanakan PDLH Luarbiasa kemudian dipersiapkan.

Waktu itu, sekali lagi teman-teman meminta Rudi untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Namun dengan alasan berbeda, “baru berkeluarga”, Rudi enggan untuk melaksanakannya.

Suasana politik kemudian berubah. Didalam pertemuan di Bandara Jakarta, saya, Arif dan Bucek (Ketua Dewan Daerah) merumuskan “siapa yang akan menjadi Direktur Walhi Jambi”. Mengingat Arif yang sudah mengundurkan diri, saya kemudian meminta kepada Bucek untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Namun waktu itu Bucek tidak bersedia. Selain baru mengembangkan lembaga Baru G-Cinde, Bucek kemudian memilih menetap untuk bersedia di lapangan. Keenganan Bucek kemudian menjadi rumit. Arif sudah mundur. Rudi dan Bucek tidak bersedia. Waduh. Kok malah “gendang” malah berbalik ke saya.

Padahal waktu itu, saya praktis sudah meninggalkan dunia LSM 10 tahun lebih. Sebuah pilihan setelah reformasi. Saya menetapkan menekuni dunia pengacara. Selain kewajiban sebagai kepala rumah tangga, beban ekonomi membuat saya tidak mungkin lagi menetap di dunia LSM. Belum lagi tantangan dunia LSM bagi saya tidak sebesar tantangan saya menekuni dunia hukum.

Teman-teman “mendesak” dengan alasan saya yang pernah mendirikan Walhi Jambi maka saya kemudian diminta tanggungjawab untuk menjaga Walhi. Waduh. Kok jadi ribet begini. “Enak betul. Ketika ada masalah yang besar. malah saya kemudian diminta untuk mengawalnya”. Kamipun bersepakat untuk menjaga proses ini hingga PDLH Luarbiasa yang diadakan September 2012.

Strategi ini tidak mungkin disampaikan secara luas. Saya kemudian memanggil Rudi untuk meminta dia “mengurusi Walhi”. Dengan tegas saya sampaikan, “dunia hukum sudah terlalu asyik bagi saya. Maka dunia itu tidak mungkin saya tinggalkan. Dan saya meminta Rudi untuk mengurusi program, manager, keuangan”. Sedangkan saya kemudian memilih untuk mengurusi advokasi dan jaringan. Pokoknya saya tegaskan. “aku meminta ente yang mengurusi Walhi”. Dengan tegas rudi kemudian meminta “Kalo aku diminta untuk mengurusi Walhi, aku mohon jangan diganggu kesepakatan yang sudah kita tentukan. “OK. Klir’. Kamipun bersalaman.

Setelah terpilih tahun 2012, maka struktur Walhi Jambi kemudian berubah. Dari pendekatan issu menjadi pendekatan Regional. Walhi Jambi kemudian menggunakan struktur Region Hulu, Region Tengah dan Region Hilir. Setiap region kemudian dipimpin seorang manager. Manager bertanggungjawab terhadap program, kampanye, advokasi dan pengorganisasian di setiap region. Di tangan manager kemudian harus menguasai lapangan, medan tempur dan wilayahnya masing-masing. Selain itu tidak dikenal “deputi”. Masing-masing region kemudian berkonsentrasi dengan agenda regionnya masing-masing.

Secara tidak langsung kemudian memacu masing-masing region untuk menunjukkan kinerjanya. Kalo istilah di Dewan Daerah, masing-masing region kemudian membuktikan “Championnya”.. Hee. he.. he..

Struktur ini kemudian ramping dan mudah akselerasi dengan beban pekerjaan advokasi yang melingkupi wilayah Jambi.

Selain itu juga mengurangi beban yang menumpuk pada Direktur. Sehingga memudahkan saya tetap menekuni dunia hukum sembari bisa kongkow2 disana-sini.

Hubungan personal dan kemudian hubungan kerja dengan Rudi membuat saya tenang menjalankan tugas sebagai Direktur Walhi. Kalo istilah teman di Jakarta sembari seloroh berkelakar “Lu. Curang. Pekerjaan lu bagi-bagi dengan anak buah lu. Terus lu ngapaian ?”. Ha.. ha.. Ha..

Cara ini juga sering disampaikan oleh Ketua Abetnego. Kalo mekanisme dan sistem sudah berjalan, tugas Direktur tuh seharian cuma terima tamu, menghadiri undangan, kongkow-kongkow dan baca Koran.

Saya kemudian sering geli ketika ada Direktur yang terlibat didalam keuangan, harus mempersiapkan planning bahkan harus mempersiapkan berbagai laporan. Ah. Mungkin karena saya yang malas atau sistem yang sudah berjalan. Namun 4 tahun di Walhi, saya tidak pernah berurusan dengan keuangan Eknas Walhi.

Didalam rapat-rapat internal staf Walhi Jambi, Rudi lebih banyak menjadi fasilitator untuk memimpin agenda-agenda. Baik mengejar laporan yang sempat tertunda, keuangna yang belum beres, mempersiapkan bahan audit untuk Dewan daerah dan audit eksternal hingga bertemu dengna jaringan membicarakan program.

Selain itu, kedisplinan mengatur anggaran bersama-sama dengan manager kantor membuat pembukuan menjadi rapi, mudah dikontrol dan transparan. Sehingga saya kemudian meyakini. Membangun organisasi yang sehat dimulai dari transparansi dan akuntabilitas. Sebuah pencapaian yang tidak bisa dihindari untuk memasuki zaman modern.

Sehingga tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan. Rudi adalah “the real Direktur’. Sementara saya sering mengumpamakan sebagai “tukang teken surat”.

Perbedaan karakter gaya kepemimpinan juga terjadi di internal Walhi. Karakter saya yang tegas bahkan cenderung keras berbeda dengan karakter Rudi yang kalem, santai walaupun tetap menjaga prinsip.

Entah beberapa kali masyarakat yang datang kemudian saya usir ketika saya tidak menemukan dasar hukum alas haknya terhadap tanah. Cara ini kemudian “ditegur” dan diperbaiki mekanisme oleh Rudi. Kami kemudian menyepakati, sebelum masyarakat bertemu dengna saya, teman-teman region yang mempersiapkan bahan-bahan untuk membantu masyarakat. Hasil “olahan” dari teman-teman kemudian didiskusikana dengan saya.. Saya kemudian menyadari “gaya kepemimpinan” saya ternyata mempengaruhi saya didalam melihat model kepemimpinan yang tetap kalem didalam menyampaikan gagasan.

Namun gaya ini sering “offside” saya lakukan. Secara naluriah, karena saya memang dilahirkan “Selalu memimpin”, baik karena sebagai anak tertua, tidak pernah menjadi staf bahkan selalu memimpin organisasi membuat saya “kurang merasakan diperlakukan sebagai anak buah”. Apalagi dengan gaya meledak-ledak sehingga yang mendengar sering keliru memahami maksud yang saya sampaikan.

Dari Rudi saya kemudian belajar dan menemukan pesan. Agar mempertimbangkan perasaan orang lain.  Dan istri saya selalu mengingatkan agar lebih sabar dan tidak cepat naik darah. Saya tidak tahu. Apakah pesan dari Rudi mewakili teman-teman atau pesan dari istri saya sering dikeluhkan Rudi ketika sering menyampaikan uneg-unegnya kepada istri saya.

Ketika hutan desa “dirambah” oleh orang yang mengaku organisasi tertentu dengan memasang symbol-simbol di pohon, darah saya mendidih. Tanpa control kemudian saya meminta agar perlawanan kepada organisasi ditujukan. Tapi dengan kalem, Rudi kemudian meminta saya menemui Abetnego sebagai pimpinan tertinggi Walhi untuk menyelesaikan di tingkat nasional. Saya kemudian menyadari bahwa cara yang saya gunakan harus ditempatkan pada medan tertentu.

Namun berbeda dengan kematian Indra Pelani. Dengan lantang kemudian Rudi “menggertak” kepada jaringan internasional agar mencabut dukungan organisasi kepada perusahaan. Saya kemudian kaget dengan sikap keras Rudi. Dan konon, berbagai pertemuan digelar untuk memenuhi “gertakan” Rudi. Dan Rudi kemudian piawai memainkan medan advokasi sehingga saya lebih mudah mengkonsolidasikan advokasi menjadi keras.

Hubungan personal dan hubungan kerja dengan Rudi tidak menghilangkan sikap Rudi yang selalu menempatkan diri sebagai “loyalis” kepada pimpinan. Berbagai “kesalahan” yang sering saya buat, selalu diperbaiki baik dengan menjelaskan dengan baik kepada berbagai jaringan, kepada staf hingga memperbaiki pola komunikasi.

Ketika bulan Februari 2016, saya kemudian memanggil Rudi. Waktu itu saya meminta Rudi untuk maju menjadi Direktur Walhi Jambi. Pertimbangan saya, sudah cukup 4 tahun saya “tenggelam” dengan rutinitas di dunia LSM. Selain dunia pengacara yang sempat terganggu baik kurang focus ataupun tersitanya waktu untuk keluarga, akselerasi dunia diluar lebih mengembangkan diri saya secara personal. Kami tidak ada pilihan. Rudi harus menerima tantangan itu. Dan saya dengan tegas katakana “Ente tidak boleh egois. Ente juga harus memikirkan kehidupan aku”. Kami kemudian mengucapkan “bismillah” dengan pilihan itu. 

Hingga akhir Februari 2017 setelah berlarur-larutnya PDLH Walhi, Rudiansyah kemudian terpilih. Dengan kematangan personal di Walhi 12 tahun lebih, berinteraksi dengan berbagai jaringan hingga kekaleman cara memimpin, maka saya kemudian membayangkan. Inilah Wajah Baru Walhi Jambi.

Selamat bertugas, Rud.